Atmosfer sepak bola Jepang nyatanya sangat berbeda dengan Eropa, apa lagi Indonesia. Ada banyak hal yang membuat J-League menarik terutama bagi orang asing dari luar Jepang seperti Davide Uccheddu, penulis senior Football Tribe yang meninggalkan Italia sejak 14 tahun silam.
Dibanding Eropa, atmosfer sepak bola Jepang jauh lebih hangat, ramah dan bersahabat terlebih di sekitar stadion, tempat yang paling sakral untuk menyaksikan pertandingan sepak bola. Meski kini kita dapat menyaksikannya melalui gawai masing-masing, hadir secara jasmaniah di stadion memberikan kesan tersendiri.
Salah satu yang menarik di sekitar stadion yang selalu Davide datangi adalah banyaknya acara atau kegiatan yang dapat dilakukan sebelum dan/atau sesudah pertandingan dilaksanakan. Sebagai seorang fans Milan, Davide sendiri merasakan hal berbeda saat mengunjungi stadion di Eropa dan Asia, terlebih Jepang.
Kini Davide yang berdomisili di Sapporo tumbuh menjadi salah satu pendukung Consa, klub yang kini dibela oleh salah satu permata Asia Tenggara, Chanatip Songkrasin. Davide pun bercerita perbedaan signifikan kenapa atmosfer stadion-stadion di J-League menarik bagi para suporter asing, khususnya mereka yang berasal dari Eropa.
Davide muda menumpang bus khusus bersama puluhan suporter Il Diavolo Rossio menuju San Siro 3 jam lebih awal sebelum sepak mula. Biasanya di Eropa saat mendatangi pertandingan di stadion berskala besar, di atas 50.000 penonton, pengamanannya akan berlipat dan Anda disarankan datang lebih awal.
Kata ‘membosankan’ pun terlontar, karena tidak ada hal lain yang dapat dilakukan selain menunggu sepak-mula. Berbeda dengan di Jepang karena seawal apa pun Anda datang ke stadion tetap saja Anda akan disuguhkan atmosfer yang lebih ceria. Ada banyak kegiatan yang berlangsung di sekitar stadion seperti permainan untuk anak-anak dan lain sebagainya.
Baca juga: Hegemoni Sepak Bola Jepang di Era Heisei
Memang ada tenants makanan baik di Eropa maupun Jepang, namun yang membuat pengelolaan di J-League menarik karena adanya kolaborasi antara klub dan para pemilik tenants untuk memuaskan penonton. Misalnya dengan memberikan diskon dengan mengumpulkan stempel-stempel tertentu dan lain sebagainya.
Berbeda dengan di Eropa, kebanyakan tidak ada hubungan antara klub dengan para pemilik tenants makanan ini. Sampai-sampai di Jepang karena begitu baiknya servis yang dilakukan kedua belah pihak, ada orang yang berkali-kali datang dan makan di sekitar stadion meski tak ada pertandingan di hari tersebut.
Selain makanan di sekitar stadion, hal lain yang sama-sama dimiliki di Eropa namun jadi lebih menarik di Jepang adalah soal maskot. Awalnya Davide sedikit terkejut dan terganggu melihat maskot-maskot berbulu ini menari-nari di sekitar stadion, tapi dalam tradisi sepak bola Jepang, maskot klub dianggap sama pentingnya seperti seorang pemain.
Saking spesialnya kehadiran maskot klub di dalam pertandingan, baik untuk suporter anak-anak hingga dewasa, pihak J-League bahkan membuat kompetisi maskot terbaik per musimnya. Sebuah hal yang mungkin tak terpikirkan di sepak bola Eropa.
Tak hanya maskot, di dalam stadion alih-alih membacakan susunan sebelas pertama yang bertanding secara klasik yakni menyebutkan namanya satu per satu, di Jepang tak jarang klub menampilkan video unik berupa foto pemain dan nomor punggungnya di layar besar yang biasa berfungsi untuk menampilkan skor dan lain-lain.
Hal ini tak pernah ia saksikan di Italia, dan jelas membuat J-League menarik karena tentu suporter dapat mengenal wajah para pemain, dan para pemain pun senang karena semakin dikenal oleh publik. Sebab, kini sejatinya pesepak bola bukan sekadar atlet melainkan juga public figure.
Hal lain yang membekas di benak Davide adalah bagaimana para suporter bisa saling respek satu sama lain, meski berbeda tim yang dibela. Mereka mencintai sepak bola lebih dari apa pun namun tetap menjunjung tinggi indahnya persahabatan.
Mereka akan tetap bernyanyi sepanjang pertandingan, tak peduli menang atau kalah. Tak ada cemooh atau booing pada mereka yang bermain jelek, atau tim lawan sekalipun. Justru mereka selalu memberikan aplaus kepada seluruh pemain, baik tim yang mereka dukung atau tim lawan, yang sudah bekerja keras di lapangan.
Di luar lapangan budaya saling menghormati ini tak berhenti. Suatu ketika Davide pernah diajak ke acara yang digagas oleh sekelompok tim lawan Consadole. Jujur sebagai seorang Eropa, apa lagi Italia yang memiliki sentimen perkelahian antarkelompok suporter yang cukup tinggi, membuatnya takut dan sedikit curiga.
Baca juga: Vissel Kobe: Steak Wagyu Berlapis Tepung
Namun hal tersebut berubah saat ia melihat dua kelompok suporter yang minum-minum di meja yang sama di toko-toko di dekat stadion. Mereka yang menjadi rival dalam beberapa waktu ke belakang, luluh dalam semangat persaudaraan.
“Suporter sepak bola Jepang adalah harta karun paling berharga yang membuat J-League menarik di mata dunia.”
Beberapa sudut cerita Davide di atas sebenarnya tak jarang kita jumpai di sepak bola Indonesia, namun terkadang bagaimana caranya klub-klub profesional semakin mengemas bahwa pertandingan sepak bola tak hanya soal 2 x 45 menit.
Rasanya belum banyak stadion yang mampu memanjakan publik, baik para pendukung atau sekadar pengunjung, agar betah berada di sana. Hal ini tentu juga terkait dengan stigma negatif yang kerap dibawa kelompok suporter yang militan ke sekitar kawasan stadion.
Jadi ya, seharusnya kita jangan malu belajar kepada J-League, wong dulu mereka belajar menata liga sepak bola ke Indonesia. Bagaimana, Tribes. Setuju, ‘kan?
*Artikel ini disunting dan dialihbahasakan dari artikel asli yang disusun Davide Ucheddu. Pranala artikel asli dapat dilihat di sini.