Cerita

Mengapresiasi Mentalitas Bertanding Timnas U-19 Jepang

Ada banyak sekali topik menarik yang bisa dibicarakan dari perempat-final Piala Asia U-19, antara Indonesia melawan Jepang. Cerdasnya Takefusa Kubo, kualitas lapangan yang sangat baik karena tidak tergenang air hujan, dan bagaimana Timnas U-19 Jepang tetap serius bertanding sampai peluit panjang dibunyikan.

Poin terakhir itulah yang menyedot cukup banyak perhatian pencinta sepak bola Indonesia. Melihat bagaimana para pemain Jepang menyikapi keunggulan skor, adalah fenomena yang jarang terjadi di sepak bola Asia Tenggara. Betul, tidak hanya Indonesia, tapi Asia Tenggara.

Mentalitas mudah terjatuh dan minta bantuan rekan untuk bangun menjadi pemandangan lumrah di sepak bola Asia Tenggara. Kiper gemar mengulur waktu dengan berguling-guling memeluk bola, dan pemain outfield dengan beragam triknya untuk mengulur waktu, seperti pura-pura cedera atau berjalan santai saat digantikan pemain lain.

Baca juga: Mentalitas Mudah Jatuh dan Dibantu untuk Bangkit di Sepak Bola

Tujuan utamanya tentu saja mengulur waktu. Tujuan lain dengan alasan yang masuk akal adalah beristirahat dari kepungan lawan. Atau bisa juga, memancing emosi lawan yang frustrasi mencetak gol.

Memang tidak ada aturan yang melarang, dan tidak ada hukum yang mengharamkan, tapi “kebiasaan” itu tentunya bertentangan dengan hakikat sepak bola sebagai olahraga yang menjunjung tinggi sportifitas dan semangat.

Tak perlu jauh-jauh mencari contoh pemandangan buruk itu, seperti Neymar, David Luiz, atau Sergio Busquets. Di Piala AFF saja masih sering kita jumpai, apa lagi di liga-liga domestik Asia Tenggara.

Namun kita juga tak perlu jauh-jauh mencari contoh baiknya. Tak perlu mencari data statistik klub-klub atau timnas di Eropa, karena timnas Jepang saja sudah mengajari kita hal itu, bahkan di level junior.

budaya Jepang

Sepak bola sebagai olahraga, bukan drama

Timnas U-19 Jepang tampil sangat tenang di bawah tatapan puluhan ribu pasang mata suporter tuan rumah di perempat-final Piala Asia U-19. Tidak tampak adanya kepanikan para pemain, walau serangan silih berganti dilancarkan Indonesia dari kedua sisi.

Ketenangan menjadi salah satu kunci Jepang memenangkan pertandingan, dan sikap pemain Jepang di pertandingan memikat hati penonton Indonesia. Tidak ada kontak fisik berlebihan, tidak ada provokasi, tidak ada akting atau diving, dan tidak ada drama mengulur waktu. Berat rasanya membahas pertandingan semalam tanpa memberi apresiasi pada mentalitas Timnas U-19 Jepang.

Jepang memainkan sepak bola selayaknya pertandingan. Jepang bermain sepak bola, sesuai bagaimana olahraga ini seharusnya dimainkan di usia muda. Menang agar senang dan bisa dikenang, kalah untuk berbenah dan tidak perlu marah-marah.

Negara-negara Asia Tenggara perlu meniru mentalitas bermain Jepang. Tidak hanya timnas papan atasnya seperti Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Vietnam, tapi juga mencakup tim-tim medioker di Piala AFF seperti Timor Leste, Brunei Darussalam, dan Kamboja.

Mengapa Asia Tenggara? Karena bagian kecil dari benua Asia ini punya potensi besar di sepak bola, tapi kerap terhambat akibat faktor non-teknis yang salah satunya adalah mental bertanding. Lalu kenapa yang harus dicontoh Jepang? Karena Jepang adalah contoh konkret salah satu negara dari Asia yang bisa bersaing dengan sepak bola Eropa.

Lihatlah, ini baru di kategori U-19 dan para pemain Jepang sudah begitu dewasa dalam bersikap. Ketika ego dan temperamen tinggi para remaja bisa meledak sewaktu-waktu di kompetisi kelompok usia dini, para pemain Jepang bisa tetap menjaganya tidak keluar batas.

Salut!