Piala Dunia 2018

Mengenal Fair Play Point yang Meloloskan Jepang dan Mengubur Mimpi Senegal

Satu kejadian bersejarah terjadi pada pertandingan terakhir Grup H Piala Dunia 2018. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Piala Dunia, nasib dua tim ditentukan melalui fair play point, yaitu Jepang dan Senegal. Jepang berhasil lolos karena memiliki fair play point yang lebih tinggi ketimbang Senegal, meski kedua tim mengumpulkan poin yang sama, memiliki selisih gol yang identik, serta sama-sama mencetak empat gol sepanjang babak grup berlangsung. Lalu, apakah sebenarnya fair play point tersebut?

Seputar fair play point

Sebelum masuk ke dalam pembahasan fair play point, ada baiknya kita lebih dulu membahas bagaimana urutan tiebreaker yang telah diatur oleh FIFA. Jika kedua tim memiliki poin yang sama, penentuan tim mana yang berada di posisi lebih tinggi diatur dalam urutan seperti ini:

  1. Selisih gol
  2. Jumlah gol
  3. Head to head
  4. Fair play point
  5. Undian

Nah, fair play point itu sendiri adalah jumlah poin yang didapatkan oleh satu tim berdasarkan kartu kuning dan kartu merah yang mereka terima di pertandingan dalam babak grup. Peraturan yang baru diimplementasikan FIFA dari tahun 2016 ini (berarti baru di Piala Konfederasi 2017 dan Piala Dunia 2018) sebenarnya cukup simpel. Tiap tim memulai dengan jumlah 0 poin ketika turnamen dimulai, dan poin tersebut akan dikurangi ketika tiap tim mendapatkan kartu kuning atau merah. Berikut ini adalah valuasi dari masing-masing kartu:

  • Minus(-) 1 poin untuk kartu kuning
  • Minus(-) 3 poin untuk kartu kuning kedua yang berujung pada kartu merah
  • Minus(-) 4 poin untuk kartu merah langsung

Poin tersebut akan diakumulasikan dan menjadi dasar untuk tiebreaker ketika babak grup berakhir.

 

Jepang datang ke Rusia

Mengapa Jepang lolos?

Baik Jepang maupun Senegal sama-sama meraih empat poin ketika semua pertandingan di Grup H berakhir, dua poin di bawah sang juara grup, Kolombia. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kedua tim ini memiliki selisih gol dan jumlah gol yang identik. Jepang dan Senegal memiliki selisih gol 0, dan sama-sama mencetak empat gol sepanjang Grup H berlangsung. Rekor pertemuan (head to head) kedua tim pun imbang, (Senegal dan Jepang bertemu di ronde kedua dan pertandingan berakhir seri dengan skor 2-2).

Untung bagi The Blue Samurai, mereka hanya mendapatkan total empat kartu kuning ketimbang Senegal yang meraih enam kartu kuning sepanjang tiga pertandingan di babak grup. Tak ada kartu merah yang didapatkan oleh kedua tim. Berdasarkan hal ini, fair play point yang didapatkan Jepang (-4) lebih tinggi ketimbang Senegal (-6), dan wakil Asia tersebut berhak untuk lolos ke babak selanjutnya.

 

kualitas Senegal

Pro dan kontra

Pelatih kepala Senegal, Aliou Cisse, tampak legowo menerima hasil ini.

“Ini adalah aturan yang ada dari permainan ini. Aturan ini telah dibuat dan diterapkan oleh FIFA, dan kami harus menghargai ini. Meskipun begitu, tentunya kami lebih suka untuk tersingkir dengan cara lain.”

Sikap Cisse tentunya patut dipuji, dan ia tampaknya sadar bahwa fair play point adalah sesuatu yang layak untuk dijadikan tiebreaker. Ada implementasi nyata dari nilai sebuah kartu, sebuah hukuman yang diberikan pada tim yang melakukan pelanggaran. Memang, pelanggaran adalah bagian dari permainan sepak bola, namun kerapkali dipandang sebelah mata. Kejadian yang menimpa Senegal dan Jepang menunjukkan bahwa pelanggaran dan kartu yang diberikan oleh wasit nilainya lebih dari sekadar larangan bermain.

Meskipun begitu, suara kontra mengenai fair play point ini tampak lebih banyak ketimbang yang pro.

Apa yang disebutkan oleh kedua jurnalis di atas tentu tak bisa dipungkiri. Bagaimanapun, karakteristik tiap wasit tentu berbeda-beda. Ada wasit yang begitu ringan tangan untuk memberikan kartu, dan ada pula yang sebaliknya. Meskipun ada peraturan yang tertulis dalam buku aturan FIFA, ditambah Piala Dunia 2018 ini juga sudah menggunakan VAR, keputusan terakhir tetap saja berada di tangan wasit yang bertugas di atas lapangan.