Timnas Indonesia kembali mengalami kekalahan dalam ajang kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia. Setelah dihancurkan Malaysia dan Thailand di Stadion Utama Gelora Bung Karno dalam dua pertandingan awal, Indonesia harus kembali menelan pil pahit tatkala bertandang ke Stadion Al Maktoum, Dubai, Kamis (10/10). Tim asuhan Simon McMenemy diluluh-lantahkan Uni Emirat Arab lima gol tanpa balas.
Dengan hasil ini, Indonesia berada di posisi juru kunci Grup G kualifikasi Piala Dunia 2022 dengan poin nol, hasil dari tiga kali bermain dengan tiga kekalahan, memasukkan bola sebanyak dua kali dan 11 kali kebobolan. Miris.
Terlahir menjadi pecundang
Kekalahan melawan Uni Emirat Arab semalam tentu membuat banyak pendukung timnas Indonesia kecewa dan geram, namun hasil tersebut juga seperti menunjukkan bahwa DNA Indonesia dalam sepak bola adalah untuk menjadi pecundang.
Pun hasil kemarin semakin mempertegas kita sebagai pendukung timnas Indonesia untuk tidak terlalu berharap (untuk menang), membiarkan kekecewaaan untuk terus ada, kemudian memaklumi kekecewaan dan kekalahan tersebut sebagai suatu kebiasaan yang sudah lumrah terjadi.
Tentu masih teringat memori keriuhan dan antusias rakyat Indonesia saat timnas Indonesia berlaga di Piala AFF 2010. Saat itu Cristian Gonzales dkk. seperti memberikan energi lewat penampilan apiknya, sehingga mereka bisa berlaga di laga final bertemu musuh bebuyutan, Malaysia. Namun tentu kita tahu sendiri bagaimana akhirnya.
Indonesia gagal juara, kalah 0-3 di Bukit Jalil. Meskipun berhasil membalas 2-1 di Gelora Bung Karno, Indonesia kalah agregat gol. Namun yang paling menyedihkan dari itu semua, Indonesia harus melihat Malaysia merayakan gelar juara di stadion keramat yang digagas oleh proklamator Indonesia, Soekarno.
Ya, Indonesia harus membiarkan musuh bebuyutan itu merayakan gelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Memang ada sedikit napas lega, saat melihat adik-adik timnas U-19 asuhan Indra Sjafri berhasil menjuarai Piala AFF U-19 tahun 2013, namun setelah itu, tak perlu dijabarkan lagi perjalanan Timnas Indonesia. Isinya memang selalu ihwal kekecewaan, kekalahan, dan kebobrokan federasi.
Timnas Indonesia seperti mengajarkan kita sebagai pendukungnya untuk tidak terlalu berharap terbang, untuk berjalan saja mereka sulit. Jangan berharap burung Garuda di dada itu untuk terbang, karena untuk berjalan pun ia masih terseok-seok.
Federasi yang semakin bobrok
Hal ini diperparah dengan bobroknya federasi, PSSI. Bukannya semakin membaik, namun PSSI sebagai induk sepak bola malah bertingkah semakin kacau tak karuan. Mulai dari hukuman dari FIFA, konflik internal, hingga bermasalahnya Ketua Umum PSSI. Dari Nurdin Halid hingga Joko Driyono yang harus mendekam di jeruji besi saat menjadi Ketua Umum.
Kehadiran Ratu Tisha sebagai sekjen perempuan pertama di organisasi tersebut, yang digadang-gadang sebagai sosok baru pembawa angin segar dalam sepak bola Indonesia, nyatanya tidak berpengaruh banyak terhadap kemajuan sepak bola Indonesia itu sendiri. Belum ada hasil signifikan, hasilnya masih tetap sama. Nol besar.
Apa lagi, dalam pencalonan Ketua Umum PSSI untuk periode 2019-2023, terdapat nama eks ketua umum yang dulu sangat bermasalah, La Nyalla Mattalitti. Beliau pernah menjadi tersangka kasus korupsi dugaan dana hibah saat menjabat Ketua Kadin Jawa Timur. Hal ini pula yang membuat La Nyalla dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Umum.
Baca juga: La Nyalla Mattalitti yang Penuh Kontroversi
Lalu bagaimana kita bisa berharap, jikalau dalam pencalonan ketua umumnya saja, masih ada saja nama seorang eks ketua umum yang dulunya tersangkut kasus hukum? Bagaimana kita bisa berharap Garuda untuk terbang, jika orang yang dulu mematahkan sayapnya kembali dicalonkan menjadi nakhoda?
Meskipun ada nama-nama lain dalam pencalonan Ketua Umum, tentu dengan adanya nama La Nyalla Mattalitti, membuat kita sangat khawatir terhadap federasi ini, kan?
Jangan berharap, pupuklah kecewa
Dengan keadaan seperti ini, maka jangan aneh, jika melihat antusiasme masyarakat Indonesia semakin menurun terhadap sepak bola Indonesia itu sendiri.
Maka jangan aneh jika tagar #TimnasDay tidak menggema di Twitter saat timnas bertanding. Maka jangan aneh pula, kalau tagar seperti #KosongkanGBK dan semacamnya, yang justru menggema saat tim Garuda bertanding. Karena kita sebagai pendukung timnas Indonesia sudah begitu lelah, melihat drama pesakitan dalam sepak bola Indonesia.
Melihat timnas yang begitu-begitu saja, melihat pengurus federasi yang itu-itu saja, serta melihat penyelenggaraan Liga di Indonesia yang amburadul. Tentunya akan menjadi kebiasaan yang ‘menyenangkan’ bagi kita sebagai pendukung sekaligus penikmat sepak bola Indonesia.
Maka romansa klasik dengan memberikan dukungan kepada timnas saat mereka kalah adalah sebuah penyesatan. Romansa klasik berupa quotes penyegar saat timnas Indonesia kalah adalah sebuah kebohongan.
Jika timnas Indonesia kalah dan bermain buruk, katakan saja buruk. Berikan saja kritik. Biar menjadi evaluasi. Tidak patut bagi kita untuk membohongi diri sendiri, bahwa timnas dan sepak bola Indonesia sedang baik-baik saja. Mereka sedang sakit, yang entah kapan bisa sembuh.
Pembenahan yang dicanangkan oleh PSSI hanyalah ilusi, maka wajar bagi kita sebagai pendukung timnas Indonesia untuk tidak terlalu berharap saat Yanto Basna dan kolega akan menjamu Vietnam, dalam laga selanjutnya di Gelora Bung Karno? Karena tentu, kita sudah tahu hasilnya, bukan?
*Penulis bisa ditemui di akun Twitter @ekidiansyah