Cerita

Sepak Bola Pun Butuh KPK

Topik KPK sedang ramai diperbincangkan khalayak dari berbagai kalangan. Sebagai lembaga yang paling diandalkan untuk mengusut kasus korupsi, revisi UU KPK yang menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) menganduk 15 titik lemah, dianggap tidak tepat diterapkan.

Keberadaan KPK memang krusial di negeri ini. Kehadirannya tidak hanya dibutuhkan di dunia politik saja, bahkan sepak bola pun juga membutuhkan campur tangan KPK.

Masih ingat Operasi Tangkap Tangan (OTT) Wali Kota Cilegon, Tubagus Imam Aryadi, yang turut menyeret Cilegon United dua tahun lalu? Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan KPK, ada indikasi pola korupsi baru dengan menggunakan klub sepak bola sebagai cara untuk menyembunyikan aliran dana uang haram.

Terkait kasus ini, CEO dan bendahara Cilegon United sempat diperiksa oleh KPK. Selain ditengarai sebagai modus operandi baru untuk menyembunyikan uang suap, kasus tangkap tangan oleh KPK terhadap Wali Kota Cilegon saat itu juga ditengarai mengancam kiprah Cilegon United yang sedang berjuang di babak 16 besar Liga 2.

Baca juga: Menjadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 Adalah Momentum

Sejak diberlakukannya keputusan pemerintah bahwa klub-klub sepak bola Indonesia tidak boleh lagi seenaknya menyusu kepada APBD pemerintah daerah, banyak klub-klub sepak bola di Tanah Air yang gulung tikar bahkan vakum sangat lama hingga saat ini.

Segelintir mampu bertahan dan segelintir lainnya terpaksa menjual lisensinya untuk dibeli dan diubah namanya menjadi tim baru yang lebih segar, muda, dan profesional. Apa yang kini terjadi dengan kesuksesan Bali United, Madura United, dan PS Tira-Persikabo beberapa contohnya.

Namun, di balik romantisme kesuksesan para klub pembeli lisensi itu, ada beberapa borok yang masih mengintai tim-tim sepak bola di Indonesia.

Rita Widyasari, Bupati Kukar. (Kredit: Kumparan)

Bupati Kutai tertangkap kasus gratifikasi, Mitra Kukar terancam

26 September 2017, sesaat setelah heboh kasus yang menimpa Wali Kota Cilegon, Bupati Kutai, Rita Widyasari, juga ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kasus gratifikasi. Rita, sang Bupati modis nan anggun itu, terindikasi menerima suap dari PT. Media Bangun Bersama terkait izin tambang di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Walau tak terlibat langsung terkait kasus korupsi yang menimpa kepala daerahnya, Mitra Kukar masih saja bisa menerima efek buruknya. Salah satu yang pasti, ada beberapa kebutuhan operasional tim berjuluk Naga Mekes itu yang (mungkin) masih mengandalkan sedikit sokongan dari pemerintah daerah selain dari sponsor.

Ditetapkannya Rita sebagai tersangka bisa menggoyang kenyamanan jajaran manajemen Naga Mekes, yang dulu termasuk salah satu tim di Indonesia yang memiliki kekuatan finansial cukup mapan. Bahkan, kerja sama dengan pemerintah sempat membuat tim yang bermarkas di Stadion Aji Imbut ini memiliki skuat dengan kualitas bintang lima di sepak bola Indonesia.

Baca juga: Sepak Bola, Medan Perang yang Terpinggir Melawan Arogansi Metropolitan

Korupsi dan sulitnya lepas dari pemerintah

Walau sudah tidak diperkenankan memakai anggaran langsung dari APBD, tetap ada beberapa celah yang bisa dimanfaatkan tim-tim tertentu di sepak bola Indonesia yang salah satunya menyasar kucuran dana dari pemerintah dengan cara yang tidak menyalahi aturan. Misalnya, memakai peran pejabat yang bercokol di posisi tertentu di pemerintahan

Dengan maraknya kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah, tentu ini bisa mengancam kiprah tim-tim yang sebagian besar nyawanya masih bergantung kepada kekuatan finansial dari pihak atau individu tertentu yang terikat dengan pemerintah daerah.

Di sini, tentu kita sedang tidak membicarakan tim seperti Persib Bandung atau Bali United yang memang sudah profesional dan mampu menghidupi diri mereka sendiri dengan mandiri. Tapi akui saja, di luar dua nama klub kaya tersebut, masih ada klub yang menggantungkan nyawa dengan kerja sama bersama pemerintah daerah dan pejabat-pejabat tertentu.

Inilah yang kemudian mengancam beberapa tim tentang keberlangsungan mereka untuk jangka waktu yang lama. Jangan dulu berbicara prestasi, karena untuk menggapai prestasi, tentu butuh profesionalitas dan kemandirian secara finansial yang mapan dan kontinu.

Salah satunya, tentu menggaet sponsor, berprestasi untuk mengundang investor, dan menyambut era sepak bola industri dengan gagah berani seperti laiknya tim-tim Eropa. Pertanyaannya, sanggup tidak?

Mengutip cuitan dari kawan sekaligus senior saya, Fajar Junaedi, selama klub sepak bola di Indonesia masih dikelola pejabat pemerintah di daerah, kejayaannya tak akan berlangsung lama.

 

*Artikel ini diunggah ulang dengan beberapa penyesuaian dari tulisan Isidorus Rio tentang korupsi kepala daerah dan efeknya pada klub sepak bola.