Mungkin banyak yang berpikir tokoh bangsa adalah mereka yang serius dan tidak punya waktu luang selain memikirkan perjuangan bangsa. Tanpa banyak yang tahu, ternyata para tokoh bangsa pejuang kemerdekaan punya banyak kisah yang bersingungan dengan sepak bola.
Dari mulai kisah persahabatan MH Thamrin bersama Otto Iskandar Dinata dengan klub kebanggaannya masing-masing yang kini bernama Persija Jakarta dan Persib Bandung, hingga kisah Ir. Soekarno yang menjadikan lapangan sepak bola sebagai panggung politiknya.
Bagi MH Thamrin yang lekat dengan sepak bola Jakarta dan Otto Iskandar Dinata yang kental dengan sepak bola Parahyangan, sepak bola dirasa tepat untuk dijadikan kendaraan menyebarkan semangat kebangsaan. Sepak bola menjadi wujud nyata semangat Kongres Pemuda Oktober 1928. Tokoh-tokoh bangsa kala itu menjadikan sepak bola sebagai sarana menumbuhkan semangat persatuan.
Dr. Soetomo, tokoh sentral Boedi Oetomo, melihat hal yang sama. Sepak bola bukan hanya melatih fisik tapi juga mental. Beliau melihat etos revolusioner dan etos nasionalisme dalam sepak bola.
Di Boedi Oetomo sepak bola bukan hanya olah raga. Klub-klub pribumi yang terbentuk adalah manifestasi dari etos revolusioner. Sepak bola menjadi jembatan penghubung yang mempermudah penyebaran semangat nasionalisme dan pengobar semangat perlawanan.
Lain lagi dengan yang dilakukan Ir. Soekarno. Bapak bangsa yang baru saja dibebaskan dari Penjara Sukamiskin pada Desember 1931 dan dilarang kembali berpolitik, hadir di partai puncak kompetisi PSSI yang digelar di lapangan Laan Travelli, Batavia, 16 Mei 1932.
Kehadirannya yang sekaligus melakukan tendangan pertama pertandingan VIJ, atau yang kini dikenal dengan Persija, menghadapi PSIM Yogyakarta, menyimpan pesan tersendiri. Seseorang yang dilarang berpolitik, muncul di hadapan orang banyak sekaligus menandai kembalinya sang tokoh utama pergerakan bangsa.
Mohammad Hatta tidak mau kalah dengan sejawatnya. Bung Hatta yang memang gemar bermain sepak bola, bahkan membuat klub sepak bolanya bersama Sutan Syahrir pada masa pengasingan mereka di Banda Neira.
Seraya pesan yang hendak dikirimkan, klub sepak bola mereka kemudia dinamakan “Hati Suci”. Hati Suci seolah pesan tegas kepada kolonial yang mengganggap mereka penuh dosa hingga harus disingkirkan.
Hati Suci bukanlah klub pertama yang dibuat Sutan Syahrir. Sebelumnya, ketika diasingkan ke Digul, Syahrir mendirikan klub yang bila diterjemahkan akan bernama “Jangan Biarkan Dirimu Kalah”.
Masih ada juga kisah Tan Malaka yang gemar bermain sepak bola tanpa alas kaki dan secara terang-terangan menyebut sepak bola adalah alat perjuangan.
Pertarungan para tokoh bangsa Indonesia
Bukan hanya sekali para tokoh bangsa benar-benar bermain sepak bola. Tercatat ada pertandingan Djago Kolot dan Jagoan Pejambon (lokasi gedung Volksraad), yang memepertemukan mereka di lapangan hijau.
Pertandingan Djago Kolot membagi dua tim, Elftal A dan Elftal B. Elftal A diisi oleh MH Thamrin sebagai penyerang beserta kawan-kawan, sedangkan Otto Iskandar Dinata yang berposisi sebagai pemain bertahan memperkuat Elftal B.
Bukan hanya kedua tokoh politik tersebut, masih ada tokoh lain yang terlibat di pertandingan ini. Pada Elftal A, Thamrim dibantu H. Dachlan Abdoellah yang berposisi pemain bertahan. H. Dachlan Abdoellah adalah seorang pejuang kemerdekaan dan diplomat Indonesia yang kemudian pernah diutus sebagai Duta Besar Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk Irak, Syria, dan Trans-Jordania.
Kemudian Elftal B terdapat nama Mr. K. Atmadja yang kelak menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI. Ada juga nama Parada Harahap yang merupakan pemimpin redaksi surat kabar Sinar Merdeka, serta Saeroen yang mendirikan koran harian Pemandangan.
Pertandingan Djago Kolot sendiri berlangsung saat jeda partai puncak kompetisi PSSI yang digelar di lapangan Laan Travelli, Batavia.
Pertandingan bertajuk Tim Gemuk melawan Tim Kurus ini berlangsung saat turun minum VIJ melawan PSIB, 4 Desember 1933. Tim Gemuk diperkuat MH Thamrim dan kawan-kawan, sedangkan Tim Kurus diisi Otto Iskandar Dinata dan kolega.