Suara Pembaca

Enigma Macan Kemayoran

Membandingkan prestasi Persija Jakarta musim 2019 dengan dua musim silam bagai membandingkan bumi dan langit.

Bagaimana tidak, Persija sebelum ditinggal pelatih Stefano Cugurra adalah salah satu tim yang ditakuti di Liga 1, dengan prestasi satu gelar juara GOJEK Liga 1 2018 dan Piala Presiden 2018, serta mampu bersaing di papan atas GOJEK Traveloka Liga 1 2017.

Sebaliknya di tahun ini, meskipun mereka baru menjalani sembilan laga, tapi baru mendapatkan 8 poin hasil lima kali seri, tiga kali kalah, serta baru satu kali merasakan nikmatnya kemenangan.

Terbaru, mereka harus rela berbagi poin dengan Bhayangkara Fc di kandang dengan skor 1-1. Alhasil Persija terpaksa harus berkutat di posisi dua terbawah liga sementara, hanya unggul dari Semen Padang yang belum meraih kemenangan.

Harus berkutat di zona degradasi tentu merupakan performa yang sangat mengecewakan bagi tim juara bertahan. Terlebih skuad Macan Kemayoran tidak berubah banyak dibandingkan musim lalu. Mereka bahkan mendapatkan sosok gelandang pengatur serangan dengan kualitas sekelas Bruno Matos yang tak ada di skuat musim lalu.

Satu-satunya kehilangan besar bagi mereka adalah ketika palang pintu Jaimerson harus angkat kaki, dan Steven Paulle yang didatangkan sebagai pengganti malah lebih sering berkutat dengan cedera. Namun tim ibu kota ini berhasil memulangkan bakat muda mereka yang sempat berkelana di Thailand, Ryuji Utomo, sehingga seharusnya alasan tersebut tidak dapat diterima.

Beberapa pengamat sepak bola menyebutkan bahwa perubahan stadion yang menjadi kandang Macan Kemayoran di tahun ini adalah faktor penyebab kemunduran tim ibu kota. Meskipun mengatasnamakan Jakarta, tapi dari empat laga kandang mereka hanya dua kali yang bermain langsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), sedangkan dua sisanya mereka jalani di Stadion Patriot Chandrabhaga, Bekasi.

Baca juga: SUGBK Bukan Rumah yang Nyaman Untuk Persija

Akan tetapi masalah tersebut juga berlangsung dari musim lalu. Total tim Macan Kemayoran hanya menjalani lima laga kandang di SUGBK. Selebihnya mereka harus bermigrasi ke Bekasi maupun Bogor untuk mendapatkan stadion sebagai homebase mereka.

Persija bahkan sempat harus menjalani laga kandang mereka di Stadion Sultan Agung Bantul, Yogyakarta, tapi tetap berhasil mendapatkan 11 kemenangan dari total 17 laga kandang, dengan prosentase kemenangan 64 persen. Mereka juga berhasil menorehkan catatan 80 persen kemenangan di SUGBK dari lima laga kandang musim lalu, sesuatu yang belum didapatkan di stadion yang sama musim ini.

Berdasarkan data tersebut, tentu sangat salah apabila kita menyimpulkan perubahan homebase menjadi persoalan utama tim Macan Kemayoran, karena toh musim lalu mereka berhasil melewati masalah yang sama. Mungkin apabila dicari kambing hitamnya, mental tandang mereka yang bermasalah.

Di musim lalu dari 17 laga tandang, mereka berhasil mencatat tujuh kemenangan dan empat hasil imbang. Dibandingkan dengan musim ini yang mencatatkan dua hasil imbang dan tiga kekalahan tanpa mengecap sekalipun kemenangan, tentu menunjukkan ada yang salah dengan mental tandang Macan Kemayoran.

Akan tetapi masalah mental tentu bukan sebuah pembenaran yang layak Macan Kemayoran lakukan. Ketika materi pemain tak jauh beda dengan musim lalu, harusnya masalah mental bisa diatasi Macan Kemayoran.

Apa lagi, mereka masih memiliki dua pemain veteran berpengalaman yang senantiasa membimbing para pemain muda, yakni Ismed Sofyan dan Bambang Pamungkas. Oleh karena itulah alasan mental harusnya tak boleh menghinggapi Macan Kemayoran.

Baca juga: Bambang Pamungkas, dari Getas, ke Eropa, dan Jakarta

Masih menjadi misteri memang, mengapa Persija Jakarta sebagai juara bertahan musim lalu malah tampil di bawah performa musim ini. Boleh dibilang, Macan Kemayoran adalah enigma terbesar di Shopee Liga 1 2019. Teka-teki terbesar yang tak bisa dipecahkan bahkan dengan dua pelatih berbeda.

Ya, tim ibu kota ini semenjak ditinggal Stefano Cugurra ke Bali United memang telah ditangani oleh pelatih besar, yaitu Ivan Kolev dengan label mantan pelatih timnas Indonesia dan duo Spanyol mantan asisten Luis Milla di timnas Indonesia, Julio Banuelos dan Eduardo Perez. Kedua pelatih dengan gaya permainan berbeda.

Apabila Ivan Kolev tampil dengan gaya bertahan pragmatis ala tim Asia tahun 2000-an dengan mengandalkan serangan balik cepat, duo Spanyol ini mengandalkan umpan pendek dan penguasaan bola yang lama dalam membangun serangan.

Bisa dibilang dua sosok nakhoda yang menangani Persija musim ini membawa dua hal yang bertolak belakang. Satu membawa pemahaman bertahan dengan serangan balik cepat yang pragmatis, satu lagi membawa strategi modern ala Spanyol dengan kombinasi penguasaan bola serta tusukan cepat dari sayap mereka.

Dari kedua hal tersebut, yang mana yang lebih baik? Jawabannya tidak ada. Ivan Kolev dengan pertahanan rapatnya memang lebih sedikit kebobolan, tetapi mereka juga kesulitan menembus pertahanan lawan dengan hanya mengandalkan trio Bruno Matos – Marko Simic – Riko Simanjuntak dalam serangan balik.

Baca juga: Roda Berputar Sangat Cepat untuk Riko Simanjuntak

Kepragmatisan strategi Ivan Kolev membuat Persija Jakarta di bawah asuhannya tidak memiliki serangan yang cukup variatif. Padahal mereka memiliki banyak sosok pembeda dalam diri Novri Setiawan, Heri Susanto, atau bahkan Bambang Pamungkas. Namun semua itu gagal dimanfaatkan oleh Ivan Kolev.

Duo juru taktik asal Spanyol pun tak jauh beda. Memang di awal kepemimpinan mereka, Persija sempat tampil menjanjikan dengan menumbangkan PSS Sleman di kandang. Permainan cantik dengan penguasaan bola yang lama membuat Persija lebih nyaman dilihat.

Namun kemenangan melawan PSS Sleman boleh dibilang hanya sebuah kebetulan, karena laga tersebut adalah laga perdana mereka di Liga 1. Para pelatih tentu masih mencoba membaca permainan apa yang akan ditampilkan duo Spanyol.

Akan tetapi setelah pertandingan tersebut, nampaklah lubang dari strategi duo Spanyol ini. Apabila di era Ivan Kolev mereka memiliki pertahanan yang kuat, di era ini pertahanan Persija begitu mudah ditembus. Terbukti bahkan sempat dijebol lima kali oleh PS TIRA-Persikabo dalam laga tandang. Sebuah catatan merah tentu bagi Persija yang di awal musim begitu kuat dalam bertahan.

Melihat hal ini tentu menimbulkan pertanyaan bagi kita semua. Dengan materi yang tak jauh beda dari musim lalu, mengapa dua nakhoda gagal mengangkat permainan Macan Kemayoran seperti musim lalu? Hal ini mungkin masih akan menjadi enigma yang sulit dipecahkan apabila duo Spanyol masih tetap bertahan beberapa pekan ke depan. 

Hanya masalahnya, seberapa lama Macan Kemayoran mampu bersabar memecahkan rasa penasaran terhadap enigma ini?

 

*Penulis merupakan seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang gemar menganalisis sepak bola Indonesia. Bisa dihubungi di ID LINE: achmzulfikar