Analisis

Apa yang Salah dengan Persija?

Berstatus tim juara liga, ekpektasi itu semakin tinggi. Dahaga puasa gelar selama 16 tahun serasa belum terhapus setelah musim lalu berhasil diakhiri. Harapan Persija Jakarta untuk terus trengginas dengan prestasi yang terus meningkat, melambung tinggi.

Jika tahun lalu gelar juara pra-musim, juara liga domestik, hingga prestasi yang cukup baik di kancah Asia didapatkan, tahun ini harapannya semua dapat dipertahankan. Bahkan untuk kancah Asia, melampaui capaian musim lalu menjadi tuntutan.

Serasa wajar, jika di keikutsertaan pertamanya wakil Indonesia berhasil lolos hingga semi-final zona ASEAN, dengan pengalaman yang didapat rasanya tidak berlebihan jika target menjadi lebih tinggi.

Sayang, harapan tinggal harapan. Sejauh ini Macan Kemayoran belum dapat memenuhi ekspektasi yang ada. Dua target yang dibebankan telah lepas begitu saja.

Baca juga: Ketergantungan Persija pada Bek Asing

Tidak bertaji di pra-musim, menjadi pecundang di kancah Asia

Persija hadir di Piala Presiden dengan misi memutus anggapan tidak ada yang bisa menjadi juara dua tahun berturut-turut. Mengawali langkah dari Grup D, klub ibu kota secara meyakinkan berhasil lolos dengan status juara grup dan produktifitas gol terbaik di fase ini.

Selanjutnya juara bertahan mendapat adangan klub promosi, Kalteng Putra. Secara hitung-hitungan di atas kertas, klub yang juga pernah memiliki julukan Si Jampang, unggul segalanya. Kalteng Putra seharusnya dapat dengan mudah disingkirkan untuk membuka jalan mempertahankan singgasana. Namun fakta di atas lapangan berkata lain. Persija harus tersingkir usai kalah melalui drama adu penalti.

Di pentas Asia nasib nahas Macan Kemayoran berlanjut. Sebelumnya besar harapan prestasi musim lalu dapat terlampaui dengan modal pengalaman yang telah dimiliki. Pada pertandingan pertama di SUGBK kala itu, sebuah koreografi gambaran dua orang menjajakan kaki di bulan lengkap dengan bendera Persija yang dikibarkan, seolah menjadi pesan bahwa kini percapaian Persija telah jauh lebih tinggi.

Baca juga: Ular Tangga Persija Menuju Gelar Juara

Sayang, Persija Jakarta dan pendukungnya yang terlanjur jemawa rasanya harus segera bersembunyi dalam gua. Dalam keikutsertaan kedua, Macan Kemayoran menjadi pecundang di kancah Asia. Meski masih menyisakan satu pertandingan, “Selamat Tinggal Asia” sudah harus lebih awal diucapkan.

Dari Grup G bersama Ceres Negros FC, Becamex Binh Duong, dan Shan United FC, Persija baru memetik satu kemenangan dari lima pertandingan. Sisanya, satu seri dan tiga kekalahan beruntun bahkan takluk di rumah sendiri.

Tidak ada lagi Macan yang garang. Tidak ada lagi Macan yang membuat semua mata Asia mengarah ke Jakarta. Setelah fenomenal di kedatangan pertama, kini Macan harus lebih awal undur diri.

Tim juara memang telah rusak sejak persiapan

Kabar mengejutkan dari Duren Tiga hadir di awal Februari. Dua sosok di balik kesuksesan Persija menyatakan pamit undur diri. Direktur Utama Persija, Gede Widiade, dan COO (Chief Operating Officer) Persija, Muhammad Rafli Perdana menyatakan bahwa per 1 Februari 2019 sudah tak berada di klub ibu kota.

Kabar ini tentu menjadi pukulan bagi publik sepak bola Jakarta. Bagaimanapun juga, GW dinggap orang yang membawa segala perubahan positif dalam klub ini. Dengan kehadirannya, Macan Kemayoran seolah dimanjakan. Semua permasalahan yang sebelumnya seringkali dihadapi dapat dengan mudah teratasi.

Kesulitan lapangan latihan, kendaraan operasional, kantor administrasi klub, hingga izin-izin mudah didapat dengan tangan dingin Gede Widiade. Masalah finansialpun dapat teratasi. Dengan pendekatan pengusaha asal Bali, sponsor seakan tanpa ragu meletakan uangnya.

Baca juga: Persija Jakarta, Mencari Rumah di Kota Sendiri

Sebelum pamitnya GW dan rekan-rekan, masalah lebih dulu hadir dari dalam tim itu sendiri. Beberapa pemain kunci yang sebenar-benarnya berjuang di lapangan membawa klub ini juara, gagal dipertahankan.

Mulai  dari Jaimerson, Gunawan Dwi Cahyo, hingga Vava Mario memutuskan hijrah. Semula Rohit Chand dan Sandy Sute juga seakan tidak akan kembali ke Jakarta. Namun cinta seolah memanggilnya ulang ke pelukan Macan Kemayoran.

Yang terparah, Stefano Cugurra tidak juga kembali usai liburan ke negara asalnya. Beberapa kali ada kabar Teco akan tetap bersama Persija. Namun nyatanya, sekembalinya ke Indonesia, Teco tidak mendarat di Jakarta tapi Pulau Dewata yang menjadi persinggahannya.

Derita tak berhenti sampai di situ. Saat tim mulai kembali dibangun, badai kembali menerpa. Rezaldi Hehanussa, penguasa rusuk kiri Persija Jakarta, harus menepi. Dengan cederanya Bule dikabarkan harus beristirahat dalam waktu tidak sebentar.

Kemudian Marko Simic. Pemain yang sempat begitu dipuja membuat ulah. Dengan kasus di luar lapangan, Simic harus sementara berpisah dengan Persija. Penyelesaian kasus pelecehan seksual memaksanya harus tertahan di Australia dan hingga kini belum dapat bergabung dalam tim.

Tapi era itu telah berlalu, Persija harus tetap melangkah tanpa sosok yang menghantar gelar juara ke ibu kota.

Baca juga: Simic Ohh… Simic

Terjebak nostalgia

Romansa Macan Kemayoran bersama Gede Widiade dan rekan-rekan serta Stefano ‘Teco’ Cugurra memang luar biasa. Dengan kehadiran GW yang memanjakan, dengan kehadiran Teco dengan segala strategi di lapangan, gelar juara seakan menjadi mudah didapatkan bahkan seolah menjadi sesuatu yang telah dijanjikan milik Persija Jakarta.

Tapi mereka telah pergi. Perannyapun telah terganti. Tidak ada lagi kemanjaan dari Gede Widiade. Tidak ada lagi kemudahan yang didapat dengan kedekatannya. Pun dengan Stefano Cugurra. Strateginya dalam tim ini pasti berubah.

Dua sosok lama yang pernah bersama Persija Jakarta kembali mengambil peran yang ditinggalkan. Ferry Paulus mengambil peran Gede Widiade, sedangkan Ivan Kolev didapuk menggantikan Stefano Cugurra. Di bawah keduanya, Persija tidak lagi boleh terjebak nostalgia tahun sebelumnya.

Pada kehadiran pertamanya Ferry Paulus memang seolah mimpi buruk bagi publik sepak bola ibu kota. Dualisme yang terjadi, materi pemain seadanya, hingga krisis finansial mengiringi kehadiran FP kala itu.

Juga dengan Ivan Kolev. 20 tahun lalu, Kolev dibekali taburan pemain bintang. Namun sayangnya, pada perantauan pertamanya ke luar Eropa, Kolev yang dibebani gelar juara hanya mampu mencapai semi-final sebelum akhirnya kembali ke negaranya pada musim berikutnya.

Lagi-lagi harus diingat. Kali ini semua berbeda. Mungkin Ferry Paulus tidak bisa memanjakan Macan Kemayoran layaknya Gede Widiade. Mungkin Ivan Kolev pernah gagal dan strateginya akan jauh berbeda dengan Stefano Cugurra. Tapi kini merekalah yang dimiliki Persija Jakarta. Semua nostalgia kisah sebelumnya harus dilupakan dan beralih memberi kepercayaan pada mereka para pengganti.

Baca juga: Wajah Lebak Bulus Kini

Kisah lain yang membuat Macan Kemayoran dan pendukungnya terjebak nostalgia adalah kisah-kisah bersama para pemain pujaannya. Kisah bersama Bambang Pamungkas dan Ismed Sofyan dengan segala kesetiaannya sedikit banyak menjadi penghalang regenerasi dalam tim ini.

Diakui atau tidak, bertambahnya usia sedikit-banyak mengurangi kemampuannya. Sayangnya, pemain pengganti belum juga ada yang siap mengganti.

Kisah bersama Marko Super Simic juga demikian. Ketajamannya musim lalu hingga kini belum tergantikan. Nampak betul itu yang membuat performa Persija jauh menurun. Ditambah faktor jadwal bertanding yang tidak bersahabat.

Dalam 15 hari terakhir, Persija diharuskan bermain 5 kali di semua ajang. Hasilnya, 5 pertandingan berbuah kekalahan dan membuatnya tersingkir dari Piala Presiden juga Piala AFC 2019.

Memang bukan awal yang bagus di era baru Persija Jakarta.