Cerita

Persija dan Cerita dari Singapura

Kemenangan Persija Jakarta atas tuan rumah Home United memberi kesenangan yang berbeda bagi saya dan ratusan orang publik sepak bola Jakarta yang hadir di Singapura. Sebelumnya, ingatan akan luka dari mimpi yang pupus tahun lalu masih menghantui. Ketika malam ini Persija berhasil membalas kekalahan, luka itu terasa terobati dan tak terasa sakitnya lagi.

Seusai pertandingan, ratusan suporter yang datang dari jauh melanjutkan pesta di negeri tetangga. Sebagian menghabiskan waktu si sekitaran Stadion Jalan Besar, sebagian memilih taman-taman kota, sebagian memilih lanjut berbenja, dan ada yang memilih menikmati hiburan malam ala Singapura.

Saya dan beberapa suporter Persija memilih menghabiskan malam di Kedai Ibu, di dekat salah satu pemberhentian MRT, sebelum selanjutnya menuju hostel. Kecerian usai Persija berhasil membalas dendam masih terbawa. Terasa bangga dapat menemani Persija menjemput kemenangan hingga jarak sejauh ini. Sebuah janji tak akan membiarkan Persija sendirian telah terpenuhi.

Memang tidak mudah. Selain waktu, biaya yang harus dikeluarkan tidaklah murah. Terlebih pertandingan bertepatan dengan Tahun Baru Imlek membuat harga tiket melambung tinggi. Untuk mereka yang menempuh perjalanan udara, tidak kurang 2 juta rupiah dikeluarkan. Sementara mereka yang menempuh perjalanan laut dari Jakarta-Batam-Singapura, biaya sekitar 1 juta dan perjalan 3 hari harus dinikmati.

Sembari menikmati nasi lemak, sejenis nasi uduk di Jakarta, saya berbincang dengan beberapa pendukung Persija. Salah satunya bernama Farid. Ia menceritakan bahwa esok hari masih harus mengejar Ujian Praktek Nasional setibanya di Jakarta. Sedangkan Senin sebelumnya ia harus mengejar penerbangan setelah menyelesaikan tanggung jawab yang sama.

Lebih lanjut ia bercerita lebih jauh. Pemuda yang duduk di kelas 3 Sekolah Menegah Atas di selatan Jakarta ini pernah berangkat sekolah langsung dari Yogyakarta. Lagi-lagi usai menemani Macan Kemayoran berlaga.

Baca juga: Ironi Daerah Istimewa Yogyakarta di Liga 1

Kemudian seorang lain yang tidak ingin disebutkan mananya, mengaku tahun lalu terancam drop out dari kampusnya. Laki-laki berbadan gempal dengan wajah jenaka lengkap dengan kumis tipis, mengaku semua karena waktu kuliahnya banyak bersinggungan dengan jadwal pertandingan Persija. Terlebih tahun lalu. Selain waktunya tergerus perjalanan away ke luar negeri menemani Persija di kancah Asia, juga banyak tersita karena Persija seringkali bermain jauh dari Jakarta.

Suatu kenyataan jika Persija melumpuhkan logika. Tapi kita, atau setidaknya saya dan dua orang di Kedai Ibu bersepakat. Persija selamanya, bukan Persija segalanya. Bagi Farid, pendidikan harus diutamakan, sedangkan bagi pria berwajah jenaka, yang bila diperhatikan mirip Rigen Stand Up Comedy, masalah di kampus kelak harus diselesaikan. Pembagian waktu akan lebih bijak.

Terlebih, dari ceritanya, terungkap dia pernah ditinggalkan wanita kerena berbohong demi awaydays ke Yogyakarta. Walapun pada akhirnya si wanita mengalah dan memilih kembali lagi.

Bagi kita, ungkapan “Persija Sampe Mati” berarti Persija tidak akan terganti sampai kita menutup mata, bukan berarti kita rela mati demi Persija. Terlebih hanya karena fanatisme sempit semata.

Di sini, dari obrolan bersama beberapa orang, terlihat bagi penggemarnya Persija Jakarta bukan hanya tentang sepak bola. Banyak kisah yang bersinggungan dengan klub pujaan menghiasi perjalanan hidup. Obrolan malam di negara tetangga yang ditutup dengan dinginnya es teh manis seharga 3 dolar Singapura atau sekitar 30.000 rupiah, mungkin kelak akan menjadi kisah dan cerita tersendiri.