Suara Pembaca

Revolusi Strategi dan Kematian Sang Pangeran Lapangan

Liberte, Egalite, Fraternite. Sebuah rangkaian kata sederhana, yang memiliki pengaruh semagis Bhinneka Tunggal Ika bagi rakyat Prancis. Sebuah semboyan berharga yang diperjuangkan dengan penuh darah oleh para revolusioner Prancis dalam mendobrak dominasi monarki yang sudah mulai tak tahu diri.

Revolusi ini mungkin akan tercatat sebagai salah satu revolusi paling berpengaruh bagi umat manusia, mengingat peran Prancis saat ini dalam tatanan dunia.

Mungkin seperti itulah gambaran bagaimana perubahan bekerja. Setiap hal di dunia, tak dipungkiri pasti akan selalu berubah, entah itu berlangsung cepat atau lambat. Revolusi Prancis hanya satu contoh. Banyak contoh bagaimana revolusi mengubah sebuah tatanan menjadi lebih diterima. Termasuk pula revolusi dalam sepak bola.

Jika berbicara tentang sepak bola, tentu banyak revolusi yang telah terjadi. Namun revolusi yang jelas terlihat saat ini adalah revolusi di bidang strategi.

Satu dekade silam mungkin banyak tim yang masih berkiblat pada sepak bola Inggris yang terkenal dengan sebutan kick and rush. Sebuah permainan simpel yang mengandalkan akurasi umpan panjang dari pemain tengah dan kecepatan dari pemain depan, untuk mengejar sekaligus mengeksekusi bola mati.

Baca juga: Hegemoni Sepak Bola Jepang di Era Heisei

Namun seperti halnya monarki Prancis, pola permainan pragmatis ala kick and rush ini juga pada akhirnya didobrak oleh para revolusionis dengan ide yang lebih segar.

Adalah Spanyol, sebuah negeri yang terletak di pesisir samudera Atlantik, yang membawa perubahan tersebut. Pasukan yang dijuluki Matador ini justru meninggalkan pola kick and rush yang bisa dibilang sesuai dengan julukannya, dan mengganti dengan sebuah pola baru, tiki-taka.

Pola permainan ini bisa dibilang berlawanan dengan pola kick and rush Inggris. Pola ini lebih mengutamakan permainan dari kaki ke kaki dan sebisa mungkin menghindari operan panjang yang mengharuskan duel udara.

Formasi pakem 4-4-2 yang biasa dimainkan ala kick and rush pun ikut berevolusi menjadi formasi baru, 4-3-3. Sebuah formasi menyerang dengan tiga pemain tengah kreatif dan tiga pemain depan dinamis yang dituntut untuk selalu membuka ruang dan mampu mengeksekusi bola dari sudut mana pun. 

Timnas Spanyol boleh berbangga dengan revolusi strategi yang mereka galang ini. Dua Piala Eropa dan satu Piala Dunia secara beruntun berhasil diraih dengan strategi revolusioner tersebut, menahbiskan mereka sebagai tim terbaik dunia di masa kejayaannya, selama 2008 sampai 2012.

Baca juga: 1 Juli 2012: Hat-trick Generasi Emas Spanyol

Pola permainan 4-3-3 dan tiki-taka ini pun banyak ditiru oleh berbagai tim di dunia. Namun revolusi, secantik apapun hasilnya, selalu menuntut korban. Sebagaimana Raja Louis XVI dan Ratu Marie Antoinette yang harus merasakan tajamnya guillotine dalam revolusi Prancis, revolusi sepak bola kali ini juga menuntut adanya korban, dan korban yang ditumbalkan kali ini adalah sosok pemain bernomor 10.

Pemain bernomor punggung 10, satu dekade silam mungkin banyak dikenal sebagai sosok pangeran lapangan. Sosok ini mungkin kita kenal dalam diri Zinedine Zidane, Francessco Totti, atau Juan Roman Riquelme. Dengan kualitas umpan, dribel, serta visi permainan yang ciamik, mereka dapat bersinar di tiap tim yang mereka bela.

Itu satu dekade lalu. Tapi sekarang, dengan adanya revolusi strategi ini, peran pengatur lapangan agaknya tak dikhususkan pada satu orang saja. Di era 4-3-3, setiap pemain tengah, atau bahkan setiap pemain harus bisa mengatur permainan. 

Dalam formasi Spanyol ketika meraih Piala Eropa serta Piala Dunia pun, tiga pemain tengah mereka, Andres Iniesta, Xavi Hernandez, dan Sergio Busquets memiliki kemampuan membangun permainan yang hampir setara. Ketiga penggawa Barcelona tersebut seakan membuktikan bahwa peran para pangeran lapangan ini tak lagi diperlukan dalam permainan.

Apa lagi sosok pangeran lapangan ini memiliki kelemahan yang di era sekarang tak dapat dimaklumi. Mereka cenderung statis, malas bergerak, menunggu bola, dan tak berkontribusi dalam bertahan. Wajar, di masa lalu mereka adalah sosok sentral di permainan tim. Mereka tentu harus terus menjaga stamina.

Namun di era revolusi strategi ini semua pemain harus turut serta dalam permainan, baik bertahan atau menyerang. Pemain yang lebih banyak diam menunggu tak dibutuhkan oleh suatu tim, sehingga wajar apabila pemain bertipe seperti ini disingkirkan.

Manchester City mungkin adalah contoh tim yang berhasil menerapkan revolusi strategi dengan sempurna. Tim yang diasuh oleh salah satu pemrakarsa tiki-taka, Pep Guardiola, ini bisa dibilang adalah tim dengan metode membangun serangan terbaik saat ini.

Mulai dari Sergio Aguero di depan, Bernardo Silva di tengah, hingga Ederson Moraes di bawah mistar gawang, semua tahu bagaimana cara mengalirkan bola. Oleh karena itu, pemain dengan gaya bermain layaknya pemain nomor 10 seperti David Silva pun harus lebih sering duduk di bangku cadangan atau bermain melebar untuk mendapatkan kesempatan main.

Begitu pula para pengeran lapangan lain di era modern seperti Paulo Dybala maupun James Rodriguez. Dybala yang sempat bermain ciamik di awal kariernya bersama Juventus, kini lebih sering duduk di bangku cadangan. James Rodriguez lebih parah lagi. Sempat bersinar di awal peminjaman bersama Bayern Muenchen, akhirnya dia lebih sering menghangatkan bangku cadangan.

Baca juga: James Rodriguez, Memori 2014 yang (Hampir) Tak Berbekas

Di akhir masa peminjamannya pun kini dia juga bernasib nahas. Peraih Puskas Award 2014 ini tak memiliki tempat di skuat Real Madrid, dan sedang berusaha dijual ke tim yang menginginkan. 

Cukup ironis memang, karena sosok nakhoda yang membuang James dari skuat Real Madrid adalah Zinedine Zidane, pelatih yang ketika masih merumput berposisi dan berperan di posisi yang sama dengan James. Namun itulah sepak bola, dan itulah revolusi.

Sebagaimana revolusi Prancis yang menuntut Raja Louis XVI dan keluarga kerajaan lain sebagai korban, revolusi dunia sepak bola kali ini juga menuntut adanya korban, dan dewa sepak bola kali ini dengan kejam menumbalkan sosok ‘Pangeran Lapangan’ sebagai korban revolusi.

 

*Penulis merupakan seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang gemar menganalisis sepak bola Indonesia. Bisa dihubungi di ID LINE: achmzulfikar