Suara Pembaca

Jerman dan Indonesia, Keberagaman yang Berbanding Terbalik

Jika ada satu alasan kenapa saya mulai jatuh cinta dan mengikuti perkembangan sepak bola Eropa, maka alasan tersebut jatuh pada timnas Jerman pada Piala Dunia 2010.

Bermain dengan sebagian anak muda yang belum memiliki nama besar, mereka berhasil tampil mengejutkan dengan menumbangkan tim unggulan seperti Inggris maupun Argentina. Memang mereka gagal melaju ke babak final ketika harus tunduk dari timnas Spanyol di empat besar, tapi permainan mereka di tanah Afrika saat itu, tidak ada keluhan sama sekali di dalamnya.

Jerman sendiri bisa dibilang salah satu tim tersukses di Eropa. Akan tetapi entah kenapa sebelum Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, daya tarik dari timnas Jerman sangat tipis di mata saya.

Mereka menghasilkan banyak sosok fenomenal pada masanya seperti Franz Beckenbauer, Gerd Muller, hingga Oliver Kahn. Mereka juga bermain mengejutkan ketika harus dilupakan bursa taruhan Eropa di ajang Piala Eropa 2008. Namun, membaca sejarah Jerman selalu terasa seperti membaca buku motivasi sukses yang sangat membosankan. 

Baca juga: Oliver Kahn, Kisah Raksasa Tak Tersentuh dari Jerman

Mungkin salah satu hal yang membuat saya berpikiran seperti itu adalah kebanggaan Jerman atas diri mereka sendiri. Seorang wartawan Jerman bernama Ulrich Hesse, sempat mengatakan dalam sebuah wawancara di tengah Piala Dunia 2010.

“Jerman akan berprestasi di Afrika karena memang selalu begitu. Karena mereka Jerman”. Sebuah penjelasan yang terdengar sangat arogan. 

Pemikiran seperti itu mungkin adalah sisa dari pemikiran usang era Perang Dunia II yang masih bertahan hingga sekarang. Saat itu Jerman memang memperkenalkan konsep baru dengan NAZI-nya, konsep ‘Deutschland uber alles’.

Konsep yang mengatakan bahwa Jerman dengan bangsa Arya-nya selalu di atas segalanya. Bahkan saya masih ingat sebuah anekdot yang dilontarkan ibu saya tentang kebanggaan ras Arya. Kira-kira seperti ini anekdotnya.

“Penciptaan manusia di dunia ini dapat dianalogikan sosok Tuhan yang sedang membuat kue. Dalam percobaan pertama, Tuhan lalai mengangkat kue dari ovennya, jadilah mereka gosong dan keras. Tuhan buang ‘kue’ tersebut ke sebuah tanah bernama Afrika. Di percobaan kedua Tuhan terlalu berhati-hati, sehingga ia mengangkat kue terlalu cepat. Kue pun menjadi lunak dan pucat. Akhirnya tuhan membuang ‘kue’ tersebut ke dataran Cina dan Asia. Di percobaan ketiga, Tuhan menemukan waktu yang pas untuk mengangkat kuenya. Jadilah mereka kue yang sempurna. Tuhan akhirnya menaruh kue tersebut dengan hati-hati di tempat suci, Jerman.”

Sebuah anekdot yang sangat arogan menurut saya. Akan tetapi hal tersebut sangat lumrah terjadi di kalangan orang yang hidup di era Perang Dunia II. Mungkin karena kearoganan tersebut membuat saya merasa malas membaca kisah penaklukan dunia sepak bola oleh tim Jerman.

Namun sejak Piala Dunia 2010, pandangan saya terhadap tim ini berubah. Banyak wajah baru mewarnai tim Jerman, yang membuat permainan mereka lebih enak ditonton daripada sekedar menang.

Melihat bola direbut oleh pertahanan gempal sosok berwajah gelap khas Afrika dari Jerome Boateng, dipertahankan oleh pemain dengan wajah pipih ala Mediterania Sami Khedira, dikirim langsung ke depan dengan teknik seperti sulap oleh pemain keturunan Turki berwajah muram Mesut Oezil, diselesaikan dengan satu finishing cantik dari pemain berkulit tirus khas Polandia bernama Miroslav Klose serta Lukas Podolski, membuat tim ini seakan ingin mencabut stigma Jerman di atas segalanya yang muncul dari pendukung mereka.

Merayakan keberagaman

Mesut Oezil, Mirosla Klose, Jerome Boateng, dan banyak pemain lainnya bukan 100 persen orang Jerman, tapi mereka semua lahir dan besar di Jerman, dari sosok orang tua imigran belahan dunia lainnya yang mengadu nasib di tanah Arya.

Jujur saya lebih menghargai mereka semua ketimbang pemain yang memilih berpaspor ganda demi mendapat jatah timnas karena tidak mampu bersaing di tanah kelahiran. 

Saya lebih menyenangi sosok Bengal berketurunan Afrika dari Mario Balotelli yang sejak awal berpaspor Italia, daripada Amauri yang memilih memegang paspor Italia karena kalah saing dengan Ronaldinho atau Kaka di timnas Brasil.

Baca juga: Noda Pekat Sepak Bola Brasil dan Komparasi dengan Indonesia

Hal yang sama berlaku untuk Indonesia. Saya lebih menghargai sosok Irfan Bachdim yang sejak awal memiliki darah Indonesia dan datang sejak belia demi Tim Garuda, ketimbang Ilija Spasojevic atau Beto Goncalves yang memilih berganti kewarganegaraan di akhir usia emas mereka demi mendapat tempat di timnas setelah sadar mereka tak mungkin membela tanah kelahirannya di lapangan hijau. 

Dalam hal keberagaman, Indonesia memang harusnya bisa lebih luas daripada Jerman. Ketika Jerman sejak awal mengandalkan pemain keturunan dari para Imigran, Indonesia tak perlu melakukan hal merepotkan seperti itu dengan banyaknya etnis yang kita miliki.

Pertahanan kuat khas Afrika saat ini bisa kita dapatkan dari tanah Bali. Sihir pemain tengah ala Mesut Oezil entah kenapa banyak muncul dari timur Jawa akhir-akhir ini. Pemain cepat? Kita temukan mereka di mana-mana, karena itulah kelebihan kita saat ini. Pemain depan tajam dan lincah? Pergilah ke Papua dan kita akan dapatkan talenta yang melimpah ruah.

Begitu luasnya keberagaman yang kita miliki, yang harusnya dengan itu semua kita tak perlu mengandalkan naturalisasi. Namun entah kenapa lagi-lagi naturalisasi selalu yang jadi pilihan utama bagi pelatih.

Bahkan naturalisasi saat ini seakan digunakan sebagai ajang mengakali regulasi, dengan menjadikan pemain asing berkewarganegaraan Indonesia, tim bisa menambah jatah pemain asing mereka. Fenomena itulah yang semakin mematikan karier dari pemain lokal kita.

Baca juga: Para Pemain Naturalisasi yang Tak Dilirik Timnas Indonesia

Saya pernah sekali berharap kita dapat merayakan keberagaman kita seperti timnas Jerman merayakan keberagamannya di tanah Afrika sembilan tahun silam. Membayangkan suatu saat timnas dengan segala keberagamannya memainkan permainan mereka.

Bola dioper dari kiper berwajah kalem khas Jawa Tengah. Diterima dengan baik oleh pemain bertahan berbadan gempal khas Bali, untuk kemudian diteruskan pada fullback kecil berkulit sawo matang khas Tulehu. Bola diteruskan pelan pada sosok pemain tengah berwajah campuran Belanda-Maluku, diteruskan umpan panjang membelah lautan untuk dikejar pemain cepat berwajah tegas ala Jawa Timur atau Jawa Barat. Sebuah umpan silang mereka kirimkan, dan diselesaikan dengan cantik oleh penyerang berkulit gelap dari Papua.

Setelah mereka mencetak gol tersebut mereka akan berkumpul di ujung lapangan, bersimpuh bersama. Ada yang langsung bersujud, ada juga yang membentuk salib di dada. Akan tetapi ekspresi mereka semua sama, ekspresi syukur atas gol yang tercipta dari keberagaman ras dan etnisnya.

Sebuah cara merayakan keberagaman yang sangat indah, dan saya pernah mengharapkan hal itu. Namun dengan banyaknya naturalisasi di sepak bola Indonesia, harapan tersebut tampaknya memang membutuhkan waktu sendiri untuk terwujud.

 

*Penulis merupakan seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang gemar menganalisis sepak bola Indonesia. Bisa dihubungi di ID LINE: achmzulfikar