Cerita

Rasisme dan Diskriminasi Buat Mesut Özil Mundur dari Timnas Jerman

Musibah bagi timnas Jerman tak berhenti di Rusia lalu. Menyandang status sebagai juara bertahan, Die Mannschaft justru terkubur di dasar klasemen Grup F Piala Dunia 2018. Dari tiga pertandingan, mereka hanya menang satu kali, melawan Swedia, dan kalah di dua laga tersisa, termasuk di pertandingan terakhir melawan wakil Asia, Korea Selatan.

Kegagalan Jerman di Piala Dunia 2018 tentu sangat mengejutkan. Dari hasil yang mereka dapatkan, banyak pihak yang disalahkan, mulai dari sang kapten, Manuel Neuer, yang tak tampil prima, hingga Joachim Löw, sang pelatih kepala yang skemanya dianggap telah usang. Meskipun begitu, tak ada yang menerima kritik lebih besar daripada Mesut Özil.

Menariknya, kritik yang diterima Özil bukanlah dari apa yang ia lakukan di lapangan. Sebagai playmaker, ia melakukan tugasnya dengan baik. Sebagai contoh, dilansir dari Squawka, di babak grup ia menciptakan 11 peluang bagi rekan-rekannya, terbanyak di fase grup bersama tiga pemain lain. Di laga melawan Korea Selatan, penggawa Arsenal ini membuat tujuh peluang—semuanya diciptakan dari permainan terbuka—dan Jerman tetap gagal untuk menciptakan satu gol pun.

Kritik yang datang kepada Özil bermula dari foto ini.

Ya, pria yang bersalaman dengan Özil (serta Ilkay Gundogan dan Cenk Tosun) adalah Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Foto dengan Erdogan—yang tidak populer di Jerman karena kebijakannya—membuat Özil jadi sasaran kritik, terutama dari politikus, dan bahkan oleh petinggi FA Jerman (DFB). Mereka mempertanyakan loyalitas Özil terhadap Jerman, dan dianggap akan menimbulkan keretakan dan perpecahan di skuat.

Usai Piala Dunia 2018 berlangsung, Özil pun akhirnya menuangkan apa yang ada di pikirannya. Melalui akun Twitter pribadinya, pemain berusia 29 tahun ini memaparkan semuanya lewat pernyataan yang terbagi dalam tiga twit.

Dalam pernyataannya ini, Özil mengatakan bahwa ia bertemu dengan Erdogan di London dalam acara amal. Özil, yang memiliki darah Turki, menyebut bahwa ia berfoto dengan sang presiden untuk menghormati darah leluhurnya yang mengalir dalam tubuhnya. Ia juga menyebutkan bahwa meski ia adalah orang Jerman, Turki juga mendapatkan tempat dengan porsi yang sama dengan kewarganegaraannya di hatinya.

Di bagian kedua dari pernyataannya, ia mempertanyakan standar ganda yang diterapkan media dan beberapa sponsor di Jerman. Ia mengkritik sikap media Jerman yang selalu menjadikannya target empuk ketika negaranya kalah, semata hanya karena rasnya yang berbeda dengan mayoritas di sana.

Foto dengan Erdogan, disebut Özil, menjadi bahan utama untuk memenuhi agenda ini. Di satu sisi, Lothar Matthaus yang merupakan duta dari timnas Jerman juga sempat bertemu dengan pemimpin satu negara, dan tak diberikan kritik sama sekali. Hal ini, disebut Özil, menjadi standar ganda yang bermasalah.

Sponsor, yang dalam pernyataan ini disebut Özil sebagai “partners”, juga ikutan terpengaruh atas foto tersebut. Ada dua sponsor yang tiba-tiba memutus kerja samanya dengan sang pemain karena takut akan pendapat media, dan hal ini menurut Özil sangat menyakitkan karena baginya sebagai rekan seharusnya sponsor-sponsor tersebut tetap mendukungnya dan tak memutus kerja sama secara sepihak.

Bagian ketiga dari pernyataannya adalah yang terpenting. DFB, sebagai Federasi Sepak Bola Jerman yang semestinya menaungi semua pemain Jerman, justru tak melakukan tugasnya dengan semestinya. Özil mengatakan bahwa DFB, terutama Reinhard Grindel, sang presiden, telah bertindak rasis dan diskriminatif terhadapnya.

Özil tak diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan dan ia terus dikritik semata hanya karena rasnya. Ia terang-terangan mengkritik Grindel dan DFB. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk tidak bermain lagi untuk timnas Jerman atas semua perlakuan yang ia terima dari DFB, Grindel, media, dan sponsor-sponsornya.

Mundurnya Özil, ia tidak menggunakan kata pensiun dalam pernyataannya, tentu sangat menyedihkan bagi pencinta sepak bola Jerman. Ia adalah pemain yang berhasil membawa negaranya menjadi juara dunia di tahun 2014, dan peraih gelar Pesepak Bola Terbaik Jerman sebanyak lima kali.

Sekadar mengingatkan, Jerman dan sepak bola internasional secara keseluruhan harus kehilangan salah satu pemain terbaiknya, karena rasisme dan diskriminasi.