Piala Dunia 2018

Rasisme dan Potensi Kekerasan Antar-Suporter, Masalah Terbesar Piala Dunia 2018

Dalam membuat satu acara, pasti ada berbagai macam kendala yang akan dihadapi. Kendala tersebut akan muncul, baik sebelum, ketika, dan sesudah acara berlangsung. Acara olahraga yang kecil macam pertandingan futsal antar-RT saja ada kendala yang bisa ditemui, apalagi acara yang besar, seperti misalnya… Piala Dunia.

Bagi penyelenggara maupun peserta Piala Dunia, masalah akan selalu datang mengadang. Tak hanya terjadi di dalam lapangan, melainkan juga di luar lapangan. Piala Dunia 2010 memiliki masalah dengan kasus penyogokan yang memenangkan Afrika Selatan sebagai tuan rumah. Di Piala Dunia 2014 yang bertempat di Brasil, kerusuhan dan demonstrasi sempat melanda sebelum putaran final dimulai sebagai bentuk protes dari rakyat terhadap “pemborosan” yang dilakukan pemerintah. Belum lagi ditambah kecelakaan ketika renovasi stadion yang mengakibatkan tewasnya beberapa pekerja.

Piala Dunia 2018 akan berlangsung beberapa jam lagi di Rusia. Sejauh ini, tak ada masalah yang berarti dalam persiapan putaran final, tak seperti empat tahun lalu di Brasil. Meskipun begitu, semua partisipan tampak sudah paham dan bersiap untuk mengantisipasi dua masalah besar yang mungkin akan ditemui di Rusia nanti. Ya, rasisme dan kekerasan antar-suporter.

Rasisme

Masalah rasisme barangkali adalah sesuatu yang tak hanya terjadi di Rusia. Di Italia, Inggris, Prancis, dan banyak negara top sepak bola lainnya, rasisme selalu menjadi hiasan yang tak diinginkan. Meski semboyan anti-rasisme selalu digaungkan, nampaknya masalah yang satu ini masih sulit untuk 100% hilang dari sepak bola dunia, walau kita selalu berharap agar rasisme dapat segera punah.

Sayangnya, masalah rasisme di Rusia barangkali adalah salah satu yang terparah di belantika sepak bola dunia. Suporter sepak bola di negara terluas di dunia tersebut tak segan-segan untuk melontarkan nyanyian yang mengandung lirik ofensif terhadap satu ras tertentu. Sebagai contoh, di bulan Mei lalu, Federasi Sepak Bola Rusia mendapatkan denda sebesar 22 ribu euro lantaran suporternya menyanyikan lagu yang memuat lirik rasis kepada pemain Prancis…dalam laga persahabatan.

Mereka tak segan melakukan hal tercela tersebut dalam laga persahabatan, yang bahkan tak ada tensi di dalamnya. Bayangkan apa yang akan mereka lakukan di pertandingan Piala Dunia, yang berlangsung di negara mereka sendiri.

Masalah rasisme di Rusia ini bahkan sudah membebani pikiran pesepak bola, khususnya yang berkulit hitam, yang akan berlaga di Piala Dunia nanti. Salah satunya adalah bek kiri asal Inggris, Danny Rose. Penggawa Tottenham Hotspur ini menyatakan bahwa ia telah melarang semua anggota keluarganya untuk terbang ke Negeri Beruang Merah. Ia mengaku bahwa ia sudah siap apabila ia mendapatkan siulan berbau rasisme, namun ia tak sanggup menerima apabila hal seperti itu menimpa keluarganya.

Untungnya, FA Inggris sigap menangani hal ini, dengan membentuk tim psikolog yang akan membantu anggota timnasnya dalam menangani hal semacam ini di Rusia nanti. Meskipun begitu, tentunya tak semua peserta Piala Dunia memiliki kemewahan semacam ini.

 

Kekerasan antar-suporter

Tak hanya rasis, suporter sepak bola di Rusia pun terkenal keras dan ganas. Mereka tak segan untuk menyakiti, bahkan menghilangkan nyawa lawannya. Kita tentu ingat kejadian di Piala Eropa 2016, kala suporter Rusia bentrok dengan suporter Inggris dan menghancurkan beberapa fasilitas umum di Prancis. Sayangnya, tindakan barbar semacam ini sudah menjadi sebuah budaya tersendiri dalam sepak bola Rusia dan begitu mengakar.

Suporter Inggris di Piala Eropa 2016 lalu menyatakan bahwa suporter Rusia begitu terorganisir ketika melakukan penyerangan. Tak perlu kaget, karena bahkan ultras di Rusia sudah menyeleksi “petarung” yang akan menyaru sebagai suporter untuk menghabisi rival-rival suporter mereka di Piala Dunia nanti. Hal ini disampaikan oleh Anna Chapman, seorang mata-mata Rusia yang kini menjadi sosok pekerja media.

Hal ini diperparah karena petinggi di Pemerintahan Rusia mendukung hal seperti ini. Igor Lebedev, salah satu bawahan Vladimir Putin di Parlemen Rusia sekaligus petinggi di Federasi Sepak Bola Rusia, menyatakan bahwa memang sebaiknya baku hantam antar-suporter dilangsungkan saja asal ada peraturan yang mengikat.

“Sebagai contoh, suporter Inggris datang. Mereka menantang kami. Kami sebaiknya menjawab tantangan mereka, dua puluh orang dari masing-masing kubu, tanpa senjata. Kami harus paham bahwa ada hal yang tak bisa dihindari.”

Mengerikan bukan, bahwa kekerasan menjadi sesuatu yang justru disiapkan dan didukung oleh petinggi di badan pemerintahan?

Kita semua tentu berharap bahwa dua hal ini tak akan terjadi dan mencemari pertandingan sepak bola terbaik di dunia yang akan berlangsung. Namun, antisipasi yang telah dilakukan Danny Rose dan FA Inggris tentu adalah sebuah hal yang bisa dimaklumi, mengingat betapa besarnya kemungkinan dua hal tercela ini terjadi. Sulit memang mengubah sesuatu yang sudah begitu mengakar dan menjadi budaya, namun, kita tentu harus berharap agar ada perubahan yang pasti dari kultur sepak bola Rusia di Piala Dunia yang akan mulai malam nanti.