Cerita

Mattoanging, Si Tembok Tua Penentu Juara

Setelah bertanding di Jakarta, Persija Jakarta dan PSM Makassar akan menjalani leg kedua final Piala Indonesia 2018/2019 di Makassar. Akan tetapi, banyak yang menganggap Stadion Andi Mattalatta kurang representatif untuk partai puncak. Dari kapasitas penonton, kondisi lapangan, hingga sistem penerangan dianggap tidak memadai.

Rasanya kapasitas 13.000 penonton yang dimiliki stadion tua dengan usia lebih dari setengah abad ini tidak akan mampu menampung antusiasme besar partai final. Belum lagi kondisi lapangan dan sistem penerangan. Selama ini hal tersebut sering kali menjadi masalah bagi Ayam Jantan dari Timur ketika berkandang di stadion ini. Bahkan untuk menjalani pertandingan kandang Piala AFC 2019, PSM harus hijrah dari kandangnya.

Harus diakui, sebagai salah-satu stadion tua yang hingga kini masih digunakan, stadion ini tidak semegah dahulu. Tembok-tembok tua stadion nampak telah lelah dimakan usia. Kualitas lapangan dan penerangan telah tertinggal dari standar yang telah berlaku sekarang ini.

Untuk tribun penonton, tribun belum memiliki single seat seperti kebanyakan stadion lain. Penonton masih berdiri di undak-undak beton dengan pagar besi tinggi yang menjadi pembatas dengan lapangan pertandingan.

Baca juga: Pertanyaan Besar di Balik Terusirnya PSM Makassar dari Stadion Mattoanging

Sebelum resmi berganti nama menjadi Stadion Andi Mattalatta, saat peresmiannya di tahun 1952, stadion ini bernama Stadion Mattoanging. Mattoanging sendiri berasal dari bahasa Makassar yang berarti menengok angin. Nama ini diberikan karena stadion berada di kawasan pantai tempat perahu Phinisi berlabuh, dan biasanya para awak menengok angin sebagi pertanda cuaca ketika siap berlayar.

Perubahan nama dari Mattoanaging menjadi Stadion Andi Mattalatta kemudian terjadi. Perubahan dilakukan guna menghormati jasa-jasa Andi Mattalatta. Selain dikenal sebagai pejuang kemerdekaan asal Kabupaten Barru, Mayjend. (Purn.) Haji Andi Mattalatta adalah orang yang menggagas pembangunan Stadion Mattoanging pada tahun 1952.

Bila dibandingkan dengan lokasi final leg 1 di Jakarta, kondisi stadion tempat berlangsungnya leg kedua ini sangat bertolak belakang. Meski tidak kalah tua, Stadion Utama Gelora Bung Karno yang diresmikan pertama kali pada tahun 1962 telah menerima banyak perbaikan.

Mulai lapangan, penerangan, hingga tribun modern, membuatnya kini berstatus sebagai stadion standar internasional. Di stadion ini, sekitar 70.000 pasang mata menyaksikan kemenangan tipis tim ibu kota di leg pertama. Jumlah yang tentu saja tidak akan mampu ditampung Stadion Andi Mattalatta di Makasar pada leg penentuan.

Tapi terlepas dari itu semua, dengan sejarah panjangnya Stadion Andi Mattalatta akan kembali mencatatkan sejarah pada Minggu (28/7). Bisa saja penantian 19 tahun Pasukan Ramang akan terhenti di rumahnya. Atau mungkin Macan Kemayoran yang akan melengkapi gelar setelah mengumpulkan gelar Piala Presiden 2018 dan juara GOJEK Liga 1 2018.

Harapannya pertandingan akan tetap kondusif siapapun yang keluar sebagai juara nantinya, karena bila menengok jauh ke belakang, stadion ini pernah memiliki sejarah manis tentang sportifitas publik sepak bola Makassar.

Baca juga: Thoriq dan Ketulusan Rasa pada Klub Kebanggaan

Pada pertandingan antara PSM Makassar menghadapi Persib Bandung di kompetisi PSSI 1960/1961, 50 ribu penonton yang memadati stadion bahkan hingga tepi lapangan, tetap menerima hasil pertandingan yang dihentikan di menit ke-84 karena keputusan kontoversi wasit yang sebenarnya merugikan tuan rumah.

50 ribu orang kala itu hampir sebanding dengan 10 persen total warga Kota Makassar dan tercatat sebagai jumlah penonton pertandingan sepak bola terbanyak di wilayah Indonesia Timur.