Semarak sepak bola wanita bergeliat. Meski tidak semeriah Piala Dunia Pria, Piala Dunia Wanita berhasil menarik jutaan pasang mata ke Prancis, tempat penyelenggaraan tahun ini. Sayangnya, tidak semua memandang sepak bola wanita sebagai sepak bola.
Secara permainan, sepak bola wanita telah jauh berkembang. Skill, teknik, hingga strategi permainan tidak lagi jauh berbeda dengan sepak bola pria. Secara popularitas, nama-nama seperti Alex Morgan, Megan Rapinoe, atau Tobin Heath tidak lagi kalah dengan nama Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi.
Di Indonesia ada nama Zahra Muzdalifah juga Safira Ika Putri. Keduanya adalah penggawa tim nasional Indonesia. Selain itu keduanya merupakan talenta-talenta harapan bangsa. Selain berprestasi di lapangan sepak bola, keduanya juga berprestasi di luar lapangan.
Zahra misalnya, saat anak seusianya masih menjalani pendidikan tingkat sekolah menengah atas, ia telah berkuliah di salah satu perguruan tinggi swasta melalui program akselerasi. Kemudian di lapangan sepak bola, pemilik akun Instagram @zahmuz12 ini sempat trial di salah satu klub raksasa Swedia, Rosengard.
Safira Ika Putri tidak kalah mentereng. Ia adalah kapten Timnas U-15 yang merupakan pemain serba bisa bahkan telah menembus tim senior. Dengan kemampuan bermain di berbagai posisi di sisi kanan, baik sayap maupun bek, ia selalu menjadi pilhan utama di era Satia Bagda juga Rully Nere.
Sayangnya, tidak semua memandang sepak bola wanita sebagai sepak bola. Tidak sedikit dari mereka yang masih memandang wanita sebagai obyeknya. Tidak jarang meski berprestasi, para pesepak bola wanita hanya dilihat dari fisik. Bukan skill atau prestasi, sering kali kecantikan yang menjadi penilaian.
Sering kali, saat para wanita berlaga, siulan dan candaan berbau seksisme menghiasi. Tak jarang paras dan bentuk tubuh yang menjadi fokus perhatian. Terlebih di negara seperti Indonesia yang masih beranggapan pria lebih dominan daripada wanita, pertandingan sepak bola seolah “hiburan” dengan tubuh-tubuh wanita sebagai obyeknya.
Diakui atau tidak, sering kali kata-kata cantik, manis, dan seksi lebih sering keluar dari mulut para suporter atau mungkin lebih tepat disebut penonton.
Bukan hanya di Indonesia sebenarnya. Hal serupa terjadi di Amerika dan Inggris yang dianggap negara-negara lebih maju. Tidak sedikit stadion sepak bola wanita dibuat terpisah dengan stadion utama, dan umumnya memiliki bentuk lebih kecil.
Pun di negara dengan kultur penghormatan terhadap wanita yang lebih baik semisal Italia, Spanyol atau Meksiko, meski menggunakan stadion utama, namun hanya sebagian tribun yang dibuka. Itupun tidak untuk seluruh pertandingan.
Belum lagi masih ada anggapan tabu untuk wanita bermain sepak bola. Masih kental anggapan bila fitrah seorah wanita untuk berdiam di rumah, mengurus anak dan segala keperluan rumah tangga. Oleh karena itu, mereka yang berpeluh di lapangan sepak bola dianggap bukanlah cerminan wanita sesungguhnya.
Padalah sesungguhnya sepak bola boleh dimainkan siapa saja, termasuk wanita, dan sesungguhnya wanita berhak berprestasi di bidang apapun, termasuk sepak bola. Juga sudah seharusnya wanita tidak lagi sekedar menjadi obyek dalam sepak bola.
Sudah saatnya cara pandang yang menilai wanita hanya sekedar dari kecantikan wajah, bentuk tubuh, dan hal-hal seksis lainnya dihilangkan. Bukan hanya dari sepak bola wanita, tapi dalam kehidupan keseharian. Saatnya wanita diapresiasi setinggi-tingginya atas apapun yang mereka lakukan.