Cerita

Berjalan Menuju Terang Bersama Garuda Pertiwi

Setelah timnas senior gagal di Piala AFF 2018, wajah sepak bola Indonesia sempat tersenyum saat Andy Setyo dan kawan-kawan merengkuh gelar Piala AFF U-22 2019. Namun lorong gelap kembali datang saat target ke putaran final Piala Asia U-23 2020 kandas.

Kali ini giliran tim nasional wanita yang kobarkan mimpi. Apakah Garuda fans siap berjalan menuju terang bersama Garuda Pertiwi?

“Habis gelap, terbitlah terang” sebuah frasa terkenal dari tokoh emansipasi ternama, Raden Ajeng Kartini, yang pada pertengahan April nanti kita rayakan hari kelahirannya sebagai salah satu pahlawan nasional. Di bulan April ini juga petualangan timnasita membuka harapan baru sepak bola Indonesia kembali merekah.

Setelah kegagalan di Asian Games 2018 lalu kini Garuda Pertiwi mengepakkan sayapnya untuk terbang ke Myanmar, menghadapi putaran kedua kualifikasi cabang sepak bola putri Olimpiade Tokyo 2020. Skuat asuhan Rully Nere ini mampu lolos sebagai runner-up Grup D di putaran pertama kualifikasi yang dilangsungkan di Palestina.

Dari 18 negara yang ikut di putaran pertama kualifikasi, timnasita menjadi satu di antara 10 tim yang lolos ke putaran kedua. Adapun format kualifikasi di ronde kali ini tak jauh berbeda dengan di putaran pertama lalu, yakni home tournament dengan masing-masing empat negara tiap grupnya.

Baca juga: Asa Timnas Putri Indonesia di Kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020

Di putaran kedua 10 negara yang lolos dari putaran pertama ditambah Vietnam dan Uzbekistan yang otomatis lolos ke putaran kedua kualifikasi akan dibagi ke dalam tiga grup yang memainkan laga dari 1–9 April 2019. Safira Ika Putri dan kawan-kawan sendiri tergabung di Grup A bersama tuan rumah Myanmar, India dan Nepal.

Garuda Pertiwi harus mengepakkan sayapnya lebih keras guna terbang tinggi ke putaran kualifikasi ketiga cabang sepak bola putri Olimpiade Tokyo 2020. Pasalnya hanya juara grup di putaran kedua yang akan lolos dan bertemu Australia, Tiongkok, Korea Utara, Korea Selatan dan Thailand.

Putaran ketiga kembali mengambil sistem sama pada Januari–Februari 2020 mendatang di mana 8 negara akan dibagi ke dalam dua grup. Juara dan runner-up akan lolos ke semi-final. Dua pemenang partai semi-final itulah yang akan memperebutkan dua jatah sisa di Tokyo 2020 bersama tuan rumah timnasita Jepang.

Anak asuh Rully Nere sendiri akan diadang India di partai awal Rabu (3/4) sore, bersua tuan rumah Myanmar Sabtu (6/4) malam dan Nepal Selasa (9/4) sore. India menjadi lawan yang familiar dengan Garuda Pertiwi baru-baru ini karena Blue Lionesses sudah dua kali beruji coba di stadion Benteng Taruna, Tangerang Januari lalu. Sementara Myanmar masuk dalam 10 besar peringkat timnasita terbaik se-Asia dalam rilis resmi AFC.

Membawa Garuda Pertiwi keluar dari kegelapan

Mimpi dan perjuangan R.A. Kartini semasa hidupnya adalah kesetaraan hak antar-jender terutama dalam hal memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menilai bahwa budaya Jawa menghambat para perempuan untuk maju dan setara dengan laki-laki.

Pada teman penanya di Belanda, Stella Zeehandelaar, Kartini pun curhat bahwa ia ingin punya kesempatan yang sama seperti kaum perempuan muda Eropa yang bisa duduk di bangku sekolah, tidak dipingit atau dinikahkan dengan laki-laki yag tak mereka kenal.

Sepak bola wanita Indonesia juga punya halangan yang sama. PSSI berupaya keras dalam membangkitkan kembali kesempatan yang sama bagi para Srikandi lapangan hijau dalam beberapa tahun terakhir, sementara tak banyak yang melirik dan melihat urgensi kesetaraan hak bagi mereka untuk sama-sama mengolah si kulit bundar.

Misalnya dari tak adanya siaran langsung timnasita Indonesia atau berita lengkap dan komprehensif tentang para personilnya. Federasi juga setengah mati mengatur kompetisi atau sekedar turnamen pasca-Galanita berhenti menjelang era 90-an.

Mungkin para petinggi masih bernostalgia dengan kenangan peringkat keempat di kancah Asia pada 1977 dan 1986, karena itu yang selalu didengungkan Ibu Papat Yunisal, eks pemain timnasita yang kini menjadi salah satu anggota Exco PSSI sekaligus ketua Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia (ASBWI) sekaligus manajer timnasita.

Padahal dalam 5 tahun terakhir PSSI masih punya rapor merah di sektor sepak bola wanita yang sebenarnya mampu dikembangkan dengan baik. Kita jelas tertinggal jauh dari Thailand yang tahun ini berlaga di Piala Dunia Wanita untuk kali kedua. Bahkan dengan Laos pun yang langsung menggelar Liga U-16 usai ditunjuk sebagai tuan rumah Piala AFF U-15 2017 lalu.

Ketidakjelasan liga atau kompetisi ini juga menjadi buah simalakama bagi siapapun pelatih yang membesut Garuda Pertiwi. Alih-alih berjalan menuju terang bersama-sama, para pemain sudah kadung layu sebelum berkembang. Sebagian berpindah haluan ke futsal, banting setir menjadi wasit atau tak mau lagi menyentuh si kulit bundar.

Baca juga: PSSI Ajak Klub Gelar Kembali Liga Wanita di 2019

Rully Nere pun mondar-mandir sebagai nakhoda tim. Bintang timnas era 80-an ini tak hanya memegang kendali timnasita senior, tetapi juga pernah menangani timnas putri U-16. Bahkan di timnasita senior yang berangkat ke Myanmar kali ini Rully melakukan sebuah perjudian besar dengan memasukkan beberapa nama eks penggawa timnas putri yang mentas di Piala AFF U-15 2017 dan Piala AFF U-16 2018.

Menyusul pemain serba bisa Safira Ika Putri dan bek Shalika Aurelia, ada beberapa wajah baru yang dipanggil ke timnasita senior seperti Diah Ayu Puspitanigrum dan Helsya Maeisyaroh. Dipanggilnya para pemain muda ini tak terlepas dari absennya sejumlah penggawa senior yang sudah lebih dulu konsentrasi di liga futsal profesional.

Memaklumi keadaan seperti itu, dengan minimnya pengalaman dan jomplangnya regenerasi nampaknya tak elok jika mencibir Garuda Pertiwi yang masih berjalan di kegelapan. Di atas lapangan para srikandi mati-matian berjuang, meski kekalahan demi kekalahan terus digenggam.

Jika pun nanti Tokyo tak jadi perhentian terakhir, bekal berharga jelas sudah didapatkan para pemain muda ini untuk mematangkan diri di masa depan. Federasi bahkan “lebih gila” lagi dengan mematok para penggawa timnas U-16 yang berlaga di AFF lalu sebagai komponen utama timnasita senior untuk Olimpiade Paris 2024.

Yang jelas jika kita ingin berjalan menuju terang bersama Garuda Pertiwi banyak langkah yang perlu dilakukan. Federasi harus terus memikirkan cara terbaik mengolah liga wanita supaya tak carut-marut seperti Liga 1.

Media harus terus membangun stigma positif bahwa sepak bola wanita bukan ‘tontonan kelas dua’ atau lebih parahnya mengekspos kecantikan dan, maaf, keseksian para pemainnya. Media jelas punya peran penting bagi Garuda fans, terlebih mereka di dunia maya, yang masih nyaman dengan jokes seksisnya untuk segera melihat para pemain sebagaimana pemain, bukan dilecehkan terus-menerus.

Jika semua pihak telah meyikapi sepak bola wanita dengan lebih baik, niscaya cepat atau lambat kita akan sama-sama berjalan menuju terang bersama Garuda Pertiwi. Kalah atau menang, semoga saja tiap timnasita berlaga stadion penuh sesak dan banyak anak-anak perempuan di luar sana yang memimpikan menjadi penggawa timnasita suatu hari nanti.