Suara Pembaca

Rasisme, Noda Pekat di Sepak Bola

Suatu hari, saat sedang mengencangkan sekrup ke bagian roller Tamiya, aku mendengar ayah dan ibu dari depan layar televisi membicarakan suatu hal yang aku sendiri tidak paham.

Kudekati mereka berdua, “Rasisme musuh kita bersama”, terpampang di bagian bawah televisi yang kebetulan memang sedang menyiarkan acara berita.

Rasimi niku nopo to, Pak? (Rasisme itu apa sih, Pak?)”, tanyaku.

Maklum saja, saat itu aku masih SD, mungkin sekitar kelas 3 atau kelas 4. Masih banyak hal yang belum kupahami selain mainan dan PR yang sudah bola-bali diingatkan bapak untuk diselesaikan, namun malah kutinggal merakit Tamiya.

Udu rasimi le, rasisme! (Bukan rasimi nak, tapi rasisme!)” jawab Bapak.

Baca juga: Rasisme dan Potensi Kekerasan Antar-Suporter, Masalah Terbesar Piala Dunia 2018

Rasisme kui ngenyek, ngejek wong liyo, mboten pareng nggih ampun ditiru sing kados niku (Rasisme itu mengejek orang lain. Tidak boleh ditiru ya yang seperti itu)”, terusnya.

Nggih, Pak! (Iya, Pak!)”, tuturku sembari tetap fokus uthek ke Tamiya-ku.

PR-mu sing porogapet mau wis rampung po? (PR-mu yang matematika tadi apa sudah selesai?)” tanya bapak.

“Ehehe…”, aku hanya nyengir saja lalu masuk kamar.

Rasisme merupakan sebuah penyakit sosial yang perlu dihilangkan. Namun sebelumnya, sebenarnya apa itu rasisme?

Baca juga: Kampanye-kampanye yang Pernah Diserukan dalam Sepak Bola

Rasialisme atau rasisme adalah suatu paham yang membedakan suatu ras dengan ras lainnya dan menganggap ras sendirilah yang paling unggul dibandingkan dengan ras-ras lainnya. Jadi, rasis adalah bentuk dari ketidaksukaan atau diferensiasi terhadap suku atau ras tertentu.

Memang, rasisme bukan lagi hal baru di telinga kita. Sudah sangat sering kita dengar kasus-kasus yang berhubungan dengan rasisme. Dalam dunia sepak bola pun demikian.

Masih teringat oleh kita rasisme yang dilontarkan oleh Luiz Suarez kepada Patrice Evra pada Oktober 2011 silam, dalam laga panas lanjutan kompetisi Liga Primer Inggris antara Manchester United melawan Liverpool. Suarez melontarkan kata-kata tidak pantas pada Evra yang berbuntut pada diskorsingnya El Pistolero selama 8 laga serta denda 40,000 paun.

Pun demikian dengan yang dilakukan John Terry kepada Anton Ferdinand, adik Rio Ferdinand, sebulan setelahnya. Lebih tepatnya pada laga antara Chelsea melawan Queens Park Rangers pada 11 November 2011.

Akibat tindakan rasialnya, posisi John Terry sebagai kapten timnas Inggris kala itu langsung dicopot serta FA memberinya denda 220.000 paun dan larangan bertanding sebanyak 4 laga.

Baca juga: Tingkat Diskriminasi di Liga Inggris Meningkat!

Tak hanya di atas lapangan hijau, tindakan rasial tak jarang bermula dari tribun penonton atau suporter. Menilik kembali empat tahun lalu di El Madrigal, markas kesebelasan Villareal. Dani Alves, bek kanan Barcelona kala itu mendapat tindakan kurang mengenakkan dari suporter Villareal saat mengambil tendangan sudut.

Tak hanya mendapat makian, Ia juga dilempar pisang oleh seseorang yang berada di tribun supporter Villarreal. Alih-alih marah atau membalas aksi mereka, Dani Alves justru cuek dan memakan pisang tersebut.

Setelah kejadian itu, Villareal dihukum denda sebesar 12.000 euro dan pelaku tindakan rasial bernama David Campaya Lleo berhasil ditangkap.

Contoh lain yang tak kalah memalukan pernah dilakukan oleh pendukung Chelsea saat perjalanan dalam mendampingi klubnya melawan PSG pada Februari 2015. Saat itu, fans Chelsea tengah memadati sebuah metro (kereta bawah tanah) di daerah Paris. Di waktu bersamaan, seorang pria Prancis berkulit hitam hendak memasuki metro tersebut.

Bukannya memberi jalan, para fans Chelsea justru mengejeknya dan mendorongnya keluar. Atas tindakan rasial tersebut, empat fans Chelsea berhasil ditangkap dan dipenjara serta dikeluarkan dari pekerjaan masing-masing.

‘Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.’ Ya, seharusnya peribahasa tersebut berlaku, apalagi jika dikomparasikan dengan negeri berbudaya seperti Indonesia. Namun tidak dengan perkara rasisme.

Seperti tumor, rasis seakan telah menjangkit bahkan menjadi kebiasaan di kehidupan kita, khususnya dunia suporter. Meskipun sudah banyak suporter yang berbenah untuk mengurangi bahkan menghilangkan chant rasis, masih banyak kelompok suporter yang belum mencapai klimaks jika belum menyanyikan lagu rasis.

Baca juga: West Ham United Pecat Kepala Akademi karena Rasisme

Fajar Junaedi, seorang dosen sekaligus penulis dari jurusan Komunikasi UMY, atau yang kerap disapa Mas Fajarjun pernah mengutarakan pada salah satu tweetnya pada tanggal 7 Maret 2018.

Beliau memaknai chants rasis-provokatif sebagai ‘inferior-mentality’. Maksudnya, fans pelaku rasial yang menyanyikan akan merasa eksis jika menyebut nama klub lawan atau rival, dan jika tidak melakukannya mereka seolah-olah merasa ‘nothing’.

Bahkan beliau menganggap bahwa melontarkan chants rasis sama saja dengan buang air besar ke dalam stadion, tempat yang ironisnya juga dianggap sakral.

Berkaca dari kasus-kasus yang dipaparkan di atas, jika pengawas pertandingan di negeri ini lebih jeli dan tegas, sebenarnya perilaku rasisme ini mampu diredam. Jangan sampai negara kita yang terkenal berbudaya, tercoreng akibat tindak rasisme yang terekam kamera saat siaran langsung dan ditonton oleh banyak orang.

Dampak lebih parah akan lebih dirasakan oleh penonton yang berada langsung di dalam stadion, mengingat tidak hanya orang dewasa saja yang menggemari sepak bola namun juga anak-anak.

Baca juga: Maurizio Sarri Tak Suka Nyanyian Diskriminatif Fans Chelsea

Sungguh tak rela rasanya jika bukan kesenangan yang anak kita bawa sepulang menonton bola di stadion, namun umpatan dan perkataan tidak pantas yang mereka copy dari apa yang mereka dengar. Rasis itu penyakit, bukan seni! 

Slogan FIFA “Say No to Racism” atau “Against Racism” yang sering anda lihat sebelum laga dimulai adalah sebuah kampanye dalam usaha memerangi rasisme saat ini. Kita tak bisa request pada Tuhan di mana kita lahir, seperti apa warna kulit kita, golongan kita, ras kita. Namun Tuhanlah yang memilihkannya untuk kita.

Sebagai manusia biasa, semoga kita mampu lebih menghormati satu sama lain karena masing-masing individu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Berkatalah yang baik atau diam. Fokuslah menebar kebaikan, sisanya serahkan pada yang di atas.

 

*Penulis bisa dijumpai di akun Twitter @ipunk_margondez atau @campusboys_uny