Suara Pembaca

Inikah Era Baru Sepak Bola Yogyakarta?

Saat melintasi daerah Balirejo Muja Muju, tanpa sengaja saya melihat sebuah grafiti di dinding bekas bangunan. Kalimat yang tertulis: “Sambut Era Baru. Mari Berbenah”. Di bawah tulisan itu tampak lambang klub sepak bola berjuluk Laskar Mataram.

Sepertinya ada suatu momentum yang menggerakkan coretan tangan itu. Era baru yang dimaksud saya kira erat kaitannya dengan kehadiran investor baru di tim biru Mataram.

Menyusul setelah itu, berita tentang kontrak pelatih baru dan pemain-pemain andalan segera menghiasi media massa. Tidak ketinggalan kabar kembalinya klub ke stadion kebanggaan. Informasi di media sosial bahkan lebih semarak lagi. Para fans pun dihinggapi euforia.

Pada saat yang bersamaan, di utara, klub hijau juga merayakan era baru dengan kembali ke kasta tertinggi sepak bola Tanah Air. Kedatangan pemain-pemain baru disambut antusias. Latihan rutin sudah digelar guna menghadapi kompetisi musim ini.

Baca juga: Baju Baru Jelang Liga 1

Tak ketinggalan, pertandingan uji coba melawan tim papan atas masuk agenda pelatih. Ancaman boikot yang sempat mencuat sepertinya hanya menjadi romantika sebuah hubungan belaka.    

Dari selatan tidak banyak tersiar kabar. Klub merah kurang terlihat dinamikanya. Namun jika melihat ke utara, pada kegairahan yang ditunjukkan sedulur-sedulurnya, bisa jadi hal itu akan mendorong geliat di sana. Mungkin mengungsinya klub tentara ke Kota Hujan dapat membuat situasi yang berbeda.

Era baru jelas terlihat di tubuh federasi. Organisasi yang menaungi aktivitas sepak bola di Yogyakarta belum lama ini membentuk kepengurusan baru.

Ketua Asprov bahkan sudah menampilkan dirinya di pentas nasional, melalui final liga futsal profesional. Pelaksanaan program seperti penyegaran wasit menunjukkan aktivitas organisasi yang sudah kembali berjalan.

Baca juga: Kenapa Wasit Sering Terlibat Kontroversi?

Jika melihat gejala-gejala di atas, apakah dapat dianggap sepak bola Yogyakarta sedang memasuki era baru? Rasanya tidak berlebihan untuk menganggap demikian. Melalui tulisan ini saya ingin membayangkan, era baru ini dapat mendorong kemajuan dalam hal apa?

Era baru ini dapat mendorong lahirnya kembali semangat persaingan yang sehat. Rivalitas antar-suporter merupakan isu yang hampir tidak ada habisnya. Namun, melalui pesan di grafiti, sepertinya para fans menyadarinya dengan ungkapan kata ‘berbenah’.

Semangat berbenah ini sepertinya juga sudah menyebar melalui media sosial. Investor tentu ingin pertandingan sepak bola menjadi tontonan yang menarik, menguntungkan, sehingga dapat menjaga kelangsungan hidup klub.

Selanjutnya, era baru ini merupakan saat yang tepat untuk meningkatkan pembinaan pemain junior. Salah satu persoalan yang sering dikeluhkan para pelatih mengenai pemain-pemain muda Yogyakarta adalah level of competitiveness.

Tidak jarang ditemui pemain-pemain Yogyakarta yang mampu bersaing di tingkat lokal, namun seperti kehilangan kemampuan ketika berhadapan dengan talenta-talenta dari provinsi lain. Akibatnya, pemain asal Yogyakarta yang mengisi barisan timnas bisa dibilang sangat sedikit.

Baca juga: Bahasa Sebagai Pemicu Gesekan Antar-Suporter di Yogyakarta

Kembalinya salah satu klub Yogyakarta ke top tier liga sepak bola Indonesia merupakan peluang untuk menjawab persoalan di atas. Adanya kompetisi akademi elit pro mulai usia 16 tahun bagi peserta Liga 1 ‘memaksa’ klub mengembangkan pemain muda yang dimilikinya. Melalui kompetisi ini pemain-pemain junior terbiasa bersaing di top level sejak muda.

Era baru ini juga pas untuk membahas pengembangan sumber daya pelatih. Dalam beberapa bulan terakhir saya menyaksikan pelatih-pelatih yang berafiliasi dengan berbagai klub/perkumpulan sepak bola di Yogyakarta rutin mengadakan diskusi mingguan. Mereka saling berbagi pengetahuan cara melatih, wawasan taktik, cara mengelola pemain, dan berbagai hal yang berkaitan dengan kepelatihan.

Diskusi dilakukan secara terbuka, meskipun di hadapan pelatih tim yang berpotensi menjadi “lawan”. Kini bukan eranya lagi pelatih yang menyimpan bahan latihan sendiri. Atmosfer keterbukaan pada informasi justru menantang para pelatih untuk terus meningkatkan kemampuan.

Ini yang terjadi di negara-negara dengan liga sepak bola yang kompetitif. Disadari atau tidak, kultur kota pelajar mungkin menjadi keuntungan yang dimiliki para pelatih untuk dapat melakukan aktivitas diskusi semacam itu.

Kini kita akan melihat bagaimana dinamika suporter, para pelatih, pemain dan seluruh elemen klub dalam menyambut kompetisi musim ini.

Mungkin jika para fans menunjukkan dukungan yang loyal, para pelatih berkepentingan sama untuk memajukan sepak bola Yogyakarta, hingga para stakeholder berkolaborasi membangun sistem kompetisi yang berkualitas, maka era baru sepak bola Yogyakarta benar-benar sudah di depan mata.