Bola bergulir menyusuri Hindia Belanda, usai pemerintah Kolonial menerapkan politik etis. Salah satu isinya memuat tentang pentingnya edukasi dalam bidang pengajaran dan pendidikan.
Alhasil, pemerintah Belanda mengizinkan pribumi (terutama kalangan ningrat) berangkat ke sekolah bikinan kompeni, entah di Tanah Air atau di Eropa sana.
Sepak bola di Tanah Air, kali pertama dimainkan oleh klub olahraga bernama Gymnastiek Vereeninging pada 1887 di Medan. Menyeberang ke ujung Pulau Jawa, tepatnya di Surabaya, klub sepak bola pertama muncul pada 1894.
John Edgar, siswa Hollandsche Burgere School (HBS) atau yang sekarang setingkat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) menyepak bola dari kaki ke kaki bersama kawan-kawannya. Dari sini klub Victoria terbentuk dan memainkan pertandingan pertama mereka melawan Sparta, klub yang berdiri pada 1896. Pertandingan ini pula mempelopori sepak bola di Tanah Air.
Sepak bola yang semakin digandrungi oleh kaum terpelajar pada masa kolonial, memunculkan banyak pemain-pemain pribumi yang bermain di berbagai klub-klub sepak bola Belanda. Achman Nawir, Anwar Sutan, Soedarmadji, dan banyak nama lain tercatat pernah mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah milik Belanda.
Pendirian PSSI pun digagas oleh mereka yang tamat dari HBS, seperti R.A Kasmat, Dr. R.M. Soeratman Erwin, Amir Notopratomo, dan Daslam Adiwarsito. Mereka juga ada pengurus PSSI awal. Sementara Ketua PSSI pertama, Soeratin, adalah insinyur lulusan Jerman.
Sejarah sepak bola Tanah Air, selayaknya berterima kasih pada sekolah. Berkat sekolah, sepak bola bisa menyebar ke berbagai wilayah di Tanah Air.
Meski pada awalnya masih dimainkan oleh anak-anak Belanda, pada perjalanannya, sepak bola akhirnya bergulir dari kaki bangsawan ke kaki rakyat biasa. Bahkan, digunakan oleh kalangan terdidik sebagai alat perjuangan dalam mencapai tujuan kemerdekaan.
Hari ini pun, sepak bola di Tanah Air masih dimainkan. Sepak bola menjadi olahraga paling populer, yang telah melintasi ruang dan waktu, menapaki sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia. Sepak bola merupakan saksi nyata, perubahan demi perubahan yang terjadi di negeri ini. Sepak bola pun ikut berubah, mengikuti laju zaman yang semakin modern.
Baca juga: Belajar Pluralisme Melalui Sepak Bola
Bila dahulu, sepak bola adalah alat untuk melawan diskriminasi Belanda dan memperjuangkan kemerdekaan, sepak bola hari ini lebih pada sarana mendulang prestasi, selain menambang keuntungan tentunya. Tapi, sampai sejauh ini, sepak bola Indonesia masih kering akan gelar di pentas internasional dan malah dibumbuhi oleh masalah-masalah internal belaka.
Semangat sepak bola di zaman pergerakan, bisa dijadikan rujukan dalam pengembangan sepakbola di Tanah Air. Prestasi adalah target utama, dengan proses panjang yang harus dilalui. Sama seperti proses di mana sepak bola mulai digulirkan sampai kemerdekaan terdengar melalui radio dan surat ke seluruh penjuru Indonesia.
Sepak bola berangkat dari sekolah, di mana kompetisi antar-sekolah mulai dan kembali digalakan. Kompetisi diatur sedemikian rupa, dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai perguruan tinggi. Pertandingan dilangsungkan berdasarkan regional kecamatan hingga ke level nasional.
Stakeholder sepak bola tentu boleh mencontek sedikit format kompetisi sepak bola pelajar di Jepang. Apabila pernah menonton serial anime Captain Tsubasa, formatnya kira-kira sama dengan perjalanan karier pemain pemilik nomor punggung sepuluh ini.
Tsubasa Ozora menapaki jejak karier sepak bolanya, dari tingkat Sekolah Dasar, sampai bisa menembus skuat utama Barcelona. Tsubasa menonjolkan kemampuannya, dari berbagai kompetisi antar-sekolah, mulai dari level distrik, hingga nasional.
Memakai format kompetisi pelajar tentu akan lebih banyak menjaring bakat pemain muda di seluruh Tanah Air. Sekolah-sekolah di Indonesia, bisa dikatakan hampir merata di beberapa wilayah.
Untuk jumlah siswa SD saja, menurut perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 25.883.053 jiwa. Jumlah yang sebanyak itu akan membuat bakat bibit pesepak bola usia 8-12 tahun mudah terekspos, baik laki-laki dan perempuan.
Belum lagi menghitung, siswa dari jenjang SMP dan SMA, dan mereka yang berstatus sebagai mahasiswa. Dengan format kompetisi ini pula, akan menyulut motivasi pelajar dalam mengembangkan bakat sepak bolanya. Apabila pada saat SD, hanya mampu menembus kompetisi tahap kabupaten, maka di kesempatan selanjutnya pada level kompetisi SMP, akan berusaha mengembangkan diri dan menembus ke tahap nasional.
Bakat-bakat sepak bola akan menjamur bak cendawan di musim hujan. Level persaingan meningkat, dan klub-klub lokal terbantu dengan pasokan pemain bola usia muda. Bukan tidak mungkin, bakat-bakat baru itu diminati klub-klub luar negeri, baik di Asia ataupun Eropa.
Sekali lagi, sepak bola berangkat dari sekolah adalah satu metode alternatif, memanfaatkan kuantitas penduduk Indonesia, demi mengekspos bakat-bakat muda potensial.
Hasil akhirnya, tentu seperti yang publik sepak bola Tanah Air inginkan. Prestasi timnas di setiap jenjang usia atau paling tidak menembus Piala Dunia.
Selamat Hari Pendidikan Nasional. Jayalah sepak bola!
*Penulis merupakan blogger dan jurnalis paruh waktu. Dapat dijumpai di akun Twitter @bedeweib