Cerita

Eri Irianto, Sang Nomor 19 yang Abadi

Menit ke-19 pertarungan antara Persebaya dan Madura United, seisi Stadion Gelora Bung Tomo berubah sunyi. Lebih dari lima puluh ribu Bonek sesaat berdiam diri. Ini adalah suatu penghormatan kepada pemilik nomor punggung 19 yang abadi. 19 tahun lalu, Eri Irianto, pergi. Karier singkat sepak bolanya yang mentereng berakhir usai laga.

3 April 2000, Persebaya menghadapi tamunya PSIM Yogyakarta di Gelora 10 November. Eri yang menjalani musim menyenangkan bersama Bajul Ijo memulai laga. Pertandingan berjalan biasa-bisa saja. Namun ada yang berbeda dari Eri Irianto, sang gelandang tangguh meminta diganti jelang akhir babak pertama.

Pemain kelahiran Sidoarjo, 12 Januari 1974 itu mengeluhkan sakit di kepala usai beberapa saat sebelumnya mengalami benturan dengan salah seorang pemain PSIM, Samson Kinga. Semula cedera yang dialami Eri nampak tidak terlalu menghawatirkan. Eri merasa kondisinya lebih baik usai mendapat kompresan di bangku candangan.

Namun tanda-tanda vital nampak usai sang pemain diberi minum. Sesak nafas dan sakit di kepala kembali menyerang. Dr. Herry Siswanto kala itu segera memutuskan membawanya menuju RSUD Dr. Soetomo untuk pemeriksaan lebih lanjut. Hebantnya, sang pemilik tendangan geledek bahkan masih berlari menuju ambulans yang akan mengantarnya.

Ditemani Riska Putri Nilamsari, belahan jiwa yang baru dinikahinya dua minggu, Eri menjalani pemeriksaan mendalam. Dokter yang menangani menyatakan hasil rontgen, CT scan, dan pemeriksaan lainnya menunjukan kondisi Eri normal. Namun demikian, Eri yang merasakan kepanasan membuat dokter memutuskan untuk melakukan observasi secara intensif.

Baca juga: Persebaya vs Persinga, Pertandingan yang Berbeda

Dokter menghawatirkan adanya gangguan di otak Eri usai mengalami benturan keras. Sayangnya, usai penanganan sekitar 4 jam, Eri Irianto tidak tertolong. Pemilik nomor punggung 19 mangkat di usia 26 tahun.

Perjalanannya di dunia sepak bola yang dicinta memang singkat. Tapi prestasi dan dedikasinya membuatnya dikenang selamanya.

Eri irianto memulai karier profesional bersama Petrokimia Putra di usia yang terbilang muda, 20 tahun. Bersama Widodo C. Putro, Eri mengantarkan klub asal Gresik itu menembus final Liga Indonesia. Sayangnya, ia belum berhasil membawa gelar juara usai kalah menyakitkan dari Persib Bandung.

Pelampiasan kekalahan membawa Eri tampil beringas bersama timnas kala jumpa Kamboja di penyisihan SEA Games ke-18 di Chiang Mai, Thailand. Saat itu sang gelandang garang mengamuk menghujani gawang lawan dengan 4 gol yang menyempurnakan kemenangan 10-0 Indonesia atas Kamboja.

Tahun berikutnya Eri Irianto kembali dipercaya menjaga lini tengah Indonesia di ajang kualifikasi Piala Asia 1996. Berkat penampilan gemilangnya, Eri kemudian berkesempatan memperkuat klub negeri jiran, Kuala Lumpur FC.

Baca juga: David da Silva yang Katanya Rabun Senja

Tidak lama di negara tetangga, Eri memutuskan pulang dan memperkuat Persebaya. Di sinilah Eri menghabiskan karier sepak bola hingga menutup mata. Penghormatan tertinggi diberikan Persebaya kepada pemain penuh dedikasi yang juga menganterkannya menjadi runner-up Liga Indonesia sebelum tutup usia. Nomor punggung 19 resmi dipensiunkan.  Selain itu, namanya juga tersemat di Wisma Persebaya, Wisma Eri Irianto yang beralamat di Jalan Karanggayam 1, Surabaya.

Bukan hanya Riska Putri Nilamsari dan Persebaya yang berduka. Surabaya, Gresik, Kuala Lumpur, bahkan seluruh publik sepak bola Indonesia diselimuti duka. Malam itu, 3 April 2000. Salah satu talenta terbaik sepak bola Indonesia meninggalkan dunia sepak bolanya. Pergi jauh menuju sang pencipta.