Cerita

Sepak Bola Ala drg. Endang Witarsa

“Fisik itu penting. Pola dan strategi sebagus manapun takkan berjalan bila fisik pemain lemah,” kata Endang Witarsa, dokter bola Indonesia.

Baginya kekuatan fisik adalah yang utama. Menurut drg. Endang Witarsa, sebuah tim tidak akan mampu tampil bagus tanpa ketahanan fisik memadai. Dokter tidak segan mencoret pemain bintang sekalipun jika sang pemain enggan mengikuti latihan fisik keras yang beliau terapkan.

Latihan beban seperti angkat berat dan angkat besi menjadi menu utama. Metode demikian sempat mendapat kritikan namun dokter berkeras dan tidak menanggapinya. Beliau percaya, latihan yang diberikan akan memperkuat dan memperkokoh kaki pemainnya. Tentu saja itu diperlukan karena benturan fisik di sepak bola tidak akan terhindarkan. Selain itu kekuatan kaki juga diperlukan saat pemain mendarat usai duel udara.

Berlari di hamparan pasir pantai Ancol dan berlari mendaki bukit di Senayan adalah menu latihan fisik lainnya. Semua dilakukan untuk meningkatkan daya tahan pemainnya. Gaya bermain yang diterapkan dokter memang menuntut pemain mampu terus bergerak 90 menit di atas lapangan.

Baca juga: Tribe Tank: Latihan Fisik dengan Fokus Meningkatkan Kapasitas Aerobik

Selain kekuatan, kelenturan juga menjadi konsen berbeda. Latihan diberikan dalam bentuk senam. Dokter Endang Witarsa yang menguasi dua jenis senam pelenturan, ala Eropa dan ala Brasil, sempat menugaskan seseorang untuk menggambar cara senam yang baik untuk pemain sepak bola.

Bagi dokter, latihan fisik keras, pengoptimalisasian kemampuan pemain, serta disiplin adalah kunci keberhasilan tim. Berbeda dengan pelatih lain, dokter tidak melatih seorang pemain untuk menutupi kelemahannya. Sebaliknya, beliau terus melatih apa yang menjadi kelebihan pemainnya.

Pemain yang memiliki tendangan keras akan terus dilatih menendang hingga feeling dan akurasinya terjaga. Begitupun untuk mereka yang memiliki kemampuan mengoper bola. Sang pemain akan diminta mengenali umpan kesukaan teman-temannya hingga dapat melepaskan unpan akuran dan efektif dalam permainan.

Sebagi dokter gigi, Endang Witarsa tentu memiliki ketelitian lebih. Hal itu kemudian terbawa dalam gaya melatihnya. Sang dokter terbiasa mencatat hingga sedetail mungkin tentang anak didiknya. Kemudian dokter akan memberitahuan kekukarangan serta kesalahan seorang pemain.

Dengan semua latihan yang diberikan, dokter dapat menciptakan memain-pemain sesuai kehendaknya. Pemain dengan kekuatan fisik yang diimbangi kelenturan, serta pemain yang disiplin. Setelahnya, dokter tinggal menerapkan taktik dan strategi sesuai kebutuhan di lapangan.

Baca juga: Deretan Pelatih Timnas Indonesia yang Dirindukan

Membawa pola WM ke Indonesia

Tahun 1958 Endang Witarsa beserta istri berkesempatan memperdalam ilmu kedokteran gigi ke Seattle, Amerika Serikat. Namun dokter nampak tidak bisa lepas dari sepak bola. Di sana beliau banyak berburu buku-buku dan majalah sepak bola. Hasilnya, dokter menemukan pola permainan 4-2-4 yang diadopsi dari timnas Brasil yang menjuarai Piala Jules Rimet tahun 1958.

Sepulangnya ke Indonesia, pola tersebut diterapkan di Union Makes Strength (UMS) dan membuat UMS berhasil menjadi juara liga internal Persija musim kompetisi 1959/1960. Pola yang sama juga berhasil diterapkan untuk membawa Persija menjuarai kompetisi perserikatan musim 1963/1964.

Hingga dipercaya menangani tim nasional, dokter tetap membawa pola yang sama. Tampil di Piala Aga Khan, Pakistan 1966, pola ini berhasil berbuah piala pertama Indonesia di ajang internasional. Dua tahun berselang, turnamen Piala Raja di Bangkok yang berhasil dijuarai.

Baca juga: Mengingat “Shadow Football” Racikan Anatoli Polosin

Tahun 1972 menjadi puncak kejayaan drg. Endang Witarsa dan timnas Indonesia. Piala Anniversary di Jakarta berhasil dijuarai usai menghajar Korea Selatan dengan skor 5-2. Kemudian Merdeka Games di Kuala Lumpur juga berhasil menjadi milik Indonesia di tahun yang sama. Tepatnya Agustus 1972.

Tiga bulan berselang, Endang Witarsa dan timnas Indonesia tampil di turnamen internasional Pesta Sukan di Singapura. Uniknya, all Indonesian final terjadi di turnamen ini. Endang Witarsa yang mengepalai PSSI A kembali menjadi juara setelah mengalahkan PSSI B dengan skor 2-1.

Gelar kelima bersama Indonesia pun didapatkan. Sekaligus menjadi torehan prestasi sang dokter gigi yang belum mampu disaingi pelatih tim nasional hingga kini.