Banyak orang merasa kecewa dengan pelaksanaan Piala Presiden 2019 yang dirasa terlalu dipolitisasi. Bagaimana tidak? Saat liga harus tertunda karena terkendala izin keamanan, di saat yang sama Piala Presiden dapat digulirkan.
Banyak komentar di lini masa menuding Piala Presiden kali ini adalah kampanye terselubung sang Presiden yang juga sedang mencalonkan diri untuk periode berikutnya. Terlebih ini adalah bulan-bulan penentuan jelang pemungutan suara April mendatang. Alasan liga harus tertunda pun guna menghormati agenda tersebut.
Pihak penyelenggara sempat menjawab. Iwan Budianto (IB) selaku perwakilan menyebut Piala Presiden memang telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya dan merupakan agenda rutin setiap tahun sebagai ajang pra-musim. Mengenai waktu penyelengaraan yang dirasa kurang tepat, IB meneruskan bila semua sesuai rencana. Idealnya pra-musim bergulir satu bulan sebelum liga sesungguhnya.
Namun demikian, mereka yang sejak awal mengkritisi tak lantas puas. Mereka terlanjur berkeras ini hanya akal-akalan politik semata. Terlebih Presiden Joko Widodo disebut-sebut akan membuka langsung gelaran Piala Presiden di Bandung, 2 Maret lalu. Meski akhirnya urung terlaksana karena di saat bersaaman ada agenda lain di luar pulau Jawa.
Sebenarnya, kedekatan politik dan sepak bola, atau bahkan keidentikan tokoh politik pada sepak bola bukanlah hal baru. Jauh sebelum negara ini merdeka, cerita keduanya banyak tercatat sejarah. Mungkin yang membedakan kala itu sepak bola dijadikan arena politik kebangsaan. Sebagai alat perjuangan.
Berbeda dengan yang nampak kini. Seringkali sepak bola dijadikan wahana politik praktis mengejar kekuasaan. Sering kali mereka yang datang hanya menjadikan sepak bola sebagai sumber suara jelang pemilihan. Meski tidak selalu demikian, stigma buruk telah kadung berkembang di masyarakat yang kecewa akibat kebahagiaannya dirusak kepentingan politik semata.
Dalam catatan sejaran, tokoh-tokoh besar seperti M.H. Thamrin dan Otto Iskandar Dinata begitu identik dengan sepak bola. Kecintaan Thamrin dan peran nyatanya begitu lekat dengan perjalanan Persija Jakarta, sedangkan Otista begitu lekat dengan sepak bola Jawa Barat.
Bagi keduanya, sepak bola dirasa tepat untuk dijadikan kendaraan menyebarkan semangat kebangsaan. Sepak bola menjadi wujud nyata semangat Kongres Pemuda pada Oktober 1928. Tokoh-tokoh bangsa kala itu menjadikan sepak bola sebagai sarana menumbuhkan semangat persatuan.
PSSI sebagai induk sepak bola negeri ini juga terlahir dari semangat yang sama. 19 April 1930 di Gedung Sosited HandePryo, Yogyakarta, lahirlah Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia dengan diprakarsai tujuh Bond masing-masing daerah. Bond sendiri adalah perkumpulan orang yang melakukan kegiatan politik hingga olahraga di zaman Hindia Belanda.
Sebagai wadah pemersatu klub sepak bola pribumi, PSSI mengusung semangat penggagasnya, Ir. Soeratin Sosrosoegondo. Beliau sadar betul sepak bola adalah salah satu alat mempersatukan bangsa dengan menjunjung tinggi makna Sumpah Pemuda. Beliau percaya, sepak bola dapat mempersatukan semua golongan untuk melawan kolonialisme.
Penggunaan nama dengan bahasa Indonesia dan menggunakan ejaan “Indonesia”, jelas suatu langkah yang politis. Pada masanya tidak mudah menggunakan kata Indonesia secara terang-terangan.
Cerita lain kedekatan sepak bola dan politik hadir dari Batavia. 16 Mei 1932, Ir. Soekarno melakukan tendangan pertama pertandingan VIJ, atau yang kini dikenal dengan Persija, menghadapi PSIM Yogyakarta. Ini adalah partai puncak kompetisi PSSI yang digelar di lapangan Laan Travelli, Batavia.
Menariknya, beberapa bulan sebelumnya, tepatnya Desember 1931, Soekarno baru saja dibebaskan dari penjara Sukamiskin dan dilarang kembali berpolitik. Kehadiran Soekarno di pertandingan tersebut tentu saja menjadi pesan politik yang sangat kuat. Seorang yang dilarang berpolitik, muncul di hadapan orang banyak sekaligus menandai kembalinya sang tokoh utama pergerakan bangsa. Momen tendangan Soekarno diabadikan harian Pandji Poestaka.
Tidak sampai disana. Di saat yang sama, saat jeda pertandingan VIJ menghadapi PSIM Yogyakarta, digelar pertandingan Djago Kolot. Pertandingan yang mempertemukan tokoh-toloh politik di arena sepak bola sesungguhnya. M.H. Thamrin, Otto Iskandar Dinata, Mr. Hadi dan kawan-kawan benar-benar saling berhadapan di lapangan.
Kisah-kisah kedekatan politik dan sepak bola juga banyak diceritakan sejarahwan JJ. Rizal. Dari mulutnya mengalir cerita para pendiri bangsa yang begitu gila bola. Mulai dari Tan Malaka yang menganggap sepak bola adalah alat perjuangan dan selalu bermain sepak bola tanpa alas kaki, hingga kisah Sutan Syahrir yang belum banyak diketahui.
Dalam masa-masa pengasingannya, Syahrir mendirikan klub sepak bola dengan nama-nama nyeleneh sekaligus menjadi pesan politiknya. Di Digul, Syahrir mendirikan klub yang bila diterjemahkan akan bernama “Jangan Biarkan Dirimu Kalah”. Ini jelas sebuah penegasan walaupun dirinya diasingkan, namun beliau belum kalah dalam perjuangan.
Begitupun ketika kembali diasingkan ke Banda Neira. Syahrir bertemu tokoh bangsa lainnya, Mohammad Hatta. Mereka kemudian membuat klub kola dengan nama “Hati Suci”. Hati Suci seolah perlawanan terhadap Kolonial yang mengganggap mereka penuh dosa dingga harus disingkirkan.
JJ Rizal juga berkisah tentang Dr. Soetomo yang melihat sepak bola bukan hanya melatih fisik tapi juga mental. Tokoh sentral Boedi Oetomo melihat etos revolusioner dan etos nasionalisme dalam sepak bola.
Di Boedi Oetomo sepak bola bukan hanya olah raga. Klub-klub pribumi yang terbentuk adalah manifestasi dari etos revolusioner. Sepak bola menjadi jembatan penghubung yang mempermudah penyebaran semangat nasionalisme dan pengobar semangat perlawanan.
Pada masanya akan sangat sulit membedakan sepak bola disusupi politik, atau politik yang dibalut sepak bola. Bahkan dari kedekatannya, klub sepak bola akan nampak seperti partai sepak bola.