Dalam satu dekade terakhir AC Milan tak pernah kehabisan stok gelandang yang tangguh dan menjadi petarung di lini tengah mereka.
Kala merengkuh scudetto terakhirnya pada musim 2010/2011, sosok Mark van Bommel menjadi tokoh sentral dalam menjaga kedalaman pertahanan Milan kala itu. Dengan tipe permainan yang keras dan tanpa kompromi, van Bommel sukses menyingkirkan Andrea Pirlo dari line-up utama, padahal beberapa musim sebelumnya sang regista selalu menjadi pilihan pertama.
Periode selanjutnya Milan memiliki Nigel De Jong, yang sama-sama berasal dari belanda dan memiliki visi bermain nyaris sama yakni determinasi tinggi. Tentu kita masih ingat insiden tendangan kungfu-nya kepada Xabi Alonso pada gelaran puncak final Piala Dunia 2010.
Musim ini memasuki giornata ke-26, kondisi nyaris sama terjadi dalam skuat I Rossoneri. Setelah musim lalu dirigen milan diisi oleh seorang regista yang stylish dalam diri Lucas Biglia ataupun Manuel Locatelli, kini muncul nama Tiemoue Bakayoko yang memiliki karakter permainan berbeda di lini tengah Milan.
Datang dengan status pinjaman dari Chelsea (dengan opsi pembelian di musim depan) Bakayoko sanggup menghadirkan keseimbangan di jantung permainan. Dengan postur tinggi menjulang 185 cm ia mampu mendominasi permainan dan memenangkan hampir semua duel di areanya.
Dilansir dari laman whoscored.com, dalam 31 penampilannya di semua ajang musim ini Bakayoko mencatatkan rataan 2,5 tekel/pertandingan dan 1,6 intersep/pertandingan, serta rataan umpan sukses mencapai 86,5 . Sebuah statistik yang cukup menggambarkan kontribusi positif Timo sebagai dirigen baru di lini tengah Milan.
Menilik gaya bermainnya dalam beberapa kesempatan, Timo sering kali memudahkan proses transisi permainan Milan. Berbekal kemampuan merebut bola kemudian membawanya ke luar area berbahaya Milan, cukup membuat lini tengah Il Diavolo Rosso terlihat nyaman dalam mengalirkan permainan ke kedua sisi sayap yang diisi oleh Suso dan Hakan Calhanoglu.
Posisinya sebagai defensive midfielder membentuk trio di lini tengah bersama Franck Kessie dan Lucas Paqueta (yang berperan sebagai box-to-box midfielder). Dalam paruh kedua musim ini tercatat menghadirkan 4 kemenangan dan 2 hasil imbang tanpa sekalipun menderita kekalahan. Sebuah hasil yang membawa Milan bertengger di posisi ke-4 klasemen sementara (zona Liga Champions Eropa).
Menilik ke belakang, karier Timo cukup impresif sejak musim 2016/2017 ketika ia berhasil membawa AS Monaco menjuarai Ligue 1 dan menjadi semifinalis Liga Champions. Penampilan apiknya membuat Chelsea kepincut untuk meminangnya semusim kemudian dengan mahar 40 juta paun. Malangnya, penampilannya di Chelsea tidak seperti yang diharapkan.
Di awal musim cedera lutut menghampirinya dan ia tidak dapat kembali ke performa puncak seperti di Monaco, sehingga ia kalah bersaing dengan gelandang Chelsea lainnya seperti N’Golo Kante ataupun Cesc Fabregas. Total di semua ajang dalam dua musim ia hanya mencatatkan 43 kali bermain dengan 3 gol dan 3 asis. Sebuah kekecewaan bagi pemuda 23 tahun yang musim sebelumnya masuk sebagai “UEFA Champions League Squad of The Season”.
Musim selanjutnya bisa ditebak Timo dipinjamkan ke klub lain. AC Milan kemudian menjadi destinasi berikutnya, dengan biaya peminjaman 5 juta paun, Timo resmi menjadi bagian skuat besutan Gennaro Gattuso tersebut. Dalam sebuah wawancara ia membeberkan alasan kepindahannya.
“Saya meninggalkan Chelsea karena saya merasa bahwa klub tidak menginginkan saya lagi. Tentu saja saya minta maaf. Saya sudah berada di sana selama setahun, tidak berjalan seperti yang saya harapkan. Itu adalah keputusan yang sederhana dan sulit pada saat yang sama diambil karena Chelsea adalah Chelsea dan saya tidak berpikir saya telah menunjukkan keahlian saya, jadi itu tidak menyenangkan,” ungkap Timo.
Mengawali musim di Milan sama sekali bukan hal mudah untuknya. Dalam 10 laga awal ia hanya bermain 5 kali itupun dari bangku cadangan. Kemampuan adaptasinya diragukan, dan beberapa kebobolan justru terjadi akibat keselahan fatal dirinya.
Puncaknya ketika ia menerima kartu merah langsung pada laga melawan Bologna. Beberapa media Italia kemudian mengkritiknya pedas termasuk kelompok suporter Milan sendiri yang menunjuk dirinya sebagai penyebab penampilan buruk I Rossoneri di ajang Liga Europa.
Namun hal ini tak membuatnya lantas menyerah. Mendapat kepercayaan penuh dari sang allenatore untuk menggantikan peran Lucas Biglia yang cedera, Timo membalas kepercayaan tersebut dengan determinasi dan kinerja pantang menyerah di jantung permainan.
Tak berlebihan banyak pihak yang menyebutkan di balik kesuksesan Milan melaju di paruh kedua sejauh ini, selain pembelian Krzysztof Piatek dan Lucas Paqueta, adalah kelahiran kembali sang petarung tangguh dalam diri Tiemoeu Bakayoko.
*Penulis adalah seorang Milanisti Layar Kaca yang kebetulan bagian dari Korps Pegawai Republik Indonesia. Bisa ditemui di akun twitter @yogaramdani.