Awal tahun 2019, angin musim dingin yang bertiup di Etihad Stadium, kandang Manchester City, serasa begitu panas bagi Liverpool sang juara paruh musim Liga Primer Inggris 2018/2019. Perjalanan mereka di liga domestik dengan tidak tersentuh kekalahan hingga pekan ke-20, akhirnya kandas setelah menelan kekalahan pada pekan ke-21 di markas tim biru langit Machester.
Dengan kekalahan ini, artinya The Reds belum bisa menyamai rekor The Invincible Arsenal yang legendaris pada kampanye 2003/2004. Sekaligus mengukuhkan rekor tersebut tetap bertahan hingga 15 musim.
Meraih juara Liga Primer Inggris bukanlah pekerjaan mudah, apalagi merengkuhnya tanpa tersentuh kekalahan selama 38 pertandingan. Tim-tim terbaik di Inggris sudah coba mengulangi rekor tersebut;
Manchester United pada 2010/2011 hanya mencapai unbeaten di pekan ke-24. Tim sekota Setan Merah, Manchester City, di musim 2017/2018 yang dianugerahi skuat berkualitas lagi megah dan diasuh oleh pelatih botak jenggotan nan jenius hanya mampu menjalani liga tanpa kekalahan sampai pekan ke-22. Yang terbaru adalah Liverpool, dengan pemain-pemain mahal dan komplit serta dalam top perform, rekor tak terkalahkan mereka hanya bertahan hingga pekan ke-20.
Ini membuat pencapaian pasukan Gudang Peluru asal London Utara, Arsenal, di masa puncaknya pada 2003/2004, masih dipandang sebagai sebuah kesempurnaan.
Apakah tim The Invincible Arsenal tersebut merupakan tim terbaik sepanjang sejarah Liga Primer Inggris? Hal ini masih bisa diperdebatkan, tetapi yang pasti rekor mereka akan tetap abadi sampai kapanpun.
Lalu, apakah skuat terkuat The Gunners tersebut juga akan mampu mengulangi rekor mereka sendiri di zaman sekarang dengan perubahan Liga Primer Inggris yang lebih kompetitif? Sebuah pertanyaan menarik, tentu saja.
Skuat perfeksionis
Goal.com pernah menuliskan, apabila diibaratkan; bentuk permainan Arsenal kala menjadi The Invincible lebih mirip Atletico Madrid saat ini dibandingkan Barcelona. Memang mereka juga bermain cantik kaki-ke-kaki, namun tak kalah pentingnya adalah mereka memiliki struktur organisasi pertahanan yang luar biasa.
Arsenal ketika itu dikenal sebagai tim yang mampu menyerap tekanan yang datang ke wilayah pertahanan mereka, lalu kemudian memuntahkan tekanan tersebut menjadi serangan balik mematikan yang dipimpin oleh ujung tombak mereka, Thierry Henry.
Tim ini begitu kompak dan perfeksionis, mereka tidak mentolerir kesalahan sekecil apapun. Lewat pengakuan Arsene Wenger kepada ESPN, setelah Arsenal memastikan gelar liga di White Hart Lane dengan hasil imbang 2-2 melawan Tottenham, perayaan kemenangan hampir berubah menjadi arena baku hantam antara bek tengah Sol Campbell dan kiper Jens Lehmann di ruang ganti.
Mengapa? Karena Lehmann telah membuat sebuah kecerobohan yang berujung penalti di menit akhir sehingga memberi Spurs hasil imbang.
Perfeksionisnya skuat Arsenal juga dapat dilihat dari personel di masing-masing posisi. Di bawah mistar berdiri Jens Lehmann, salah satu legenda Borussia Dortmund. “Si Gila” julukannya, dengan profil wajah intimidatif dan tinggi besar, tapi dibekali reflek luar biasa sehingga Arsenal seolah tidak merasakan kehilangan David Seaman.
Lehmann amat vokal, ia tak segan memarahi dan beradu mulut dengan bek-bek yang berada di depannya apabila gawang terancam. Bahkan saat pertama kali berlatih dengan tim, Thierry Henry yang merupakan Sang Raja Arsenal, yang pada waktu itu amat disegani pemain-pemain lain, dan dikenal pemalas melakukan pressing setelah bola direbut dari kakinya, diteriaki oleh Lehmann, kira-kira begini teriakannya,
“Woi, bangsat! Angkat pantat lo, kejar bolanya!”
Baca juga: Jens Lehmann, Si Kiper Gila dari Jerman
Di depan Lehmann ada dua bek sentral yang memiliki perpaduan brilian antara atletis dan kecerdasan, yaitu Sol Campbell dan Kolo Toure. Campbell memiliki postur tinggi, bongsor, raut muka sedikit garang, juga punya mental baja. Dirinya dikenal sulit dilewati apabila sudah berhadapan satu lawan satu, dan jago duel udara.
Kolo Toure, kalau disandingkan permainannya mirip dengan siapa, maka jawabannya adalah Koscielny. Mereka berdua punya kesamaan cara bermain, cepat, lugas, pintar membaca serangan dan tanpa kompromi.
Duo bek sayap mereka yang dinamis, Laureano Bisan Etame-Mayer dan Ashley Cole, merupakan bek sayap rajin dan ulet. Lauren di kanan memiliki tampang yang tak kalah garang dibanding Campbell serta punya tatapan yang selalu sinis kepada pemain lawan. Akan tetapi keuletan dan kedisiplinannya dalam menyerang dan bertahan menjadikannya sebagai salah satu bek kanan terbaik EPL sepanjang masa.
Sementara Cole di kiri, merupakan bek muda potensial waktu itu dengan kecepatan dan kepintaran mencari ruang di pertahanan lawan. Overlapping-nya sering membuat kesal bek lawan karena sangat merepotkan.
Duet gelandang tengah, Patrick Vieira dan Gilberto Silva, menjadi dinamo dan pusat permainan. Memiliki tubuh 192 centimeter, Vieira menjulang di antara semua pemain Arsenal, memudahkannya untuk melihat seluruh penjuru lapangan sehingga ia menjadi otak permainan. Staminanya yang kuat juga membuatnya seolah tidak pernah lelah menjelajahi lapangan. Perannya sebagai kapten kharismatik tidak mengurangi kegarangannya bertarung di lapangan. Doyan beradu tubuh dan mulut juga mampu menciptakan tekel-tekel bersih. Kepintaran melepas umpan berbahaya adalah kelebihan pria yang lahir di Senegal ini.
Kemudian Gilberto adalah gelandang yang cemerlang kala menyaring serangan lawan, dengan intersep dan tekel penting yang banyak ia ciptakan. Walau tidak se-mobile Vieira, Gilberto juga pandai menyebar umpan kepada rekan-rekannya.
Pemain sayap kiri Robert Pires adalah sumber gol sekunder Arsenal. Pria tampan ini mencetak 14 gol di liga di musim itu. Pires disebut-sebut sebagai pelopor inverted winger, karena dirinya berkaki kanan tapi diletakkan di sayap kiri. Kemampuan dribelnya serupawan wajahnya. Di sayap sebelah kanan, Freddie Ljungberg adalah pemain ganas yang acap mengangkat permainan Meriam London pada laga-laga besar.
Keduanya amat mematikan dalam skema serangan balik, memiliki kecepatan dan kemampuan menggiring bola yang dapat menimbulkan malapetaka di pertahanan lawan, baik dari kedua sisi sayap lewat sisiran atau memotong ke tengah pertahanan. Pasangan ini tidak hanya bertugas berkeliaran di wilayah pertahanan lawan saja, tetapi juga amat aktif membantu pertahanan.
Di lini depan, Thierry Henry sedang berada di puncak permainanya. Semua yang dilakukan Henry serba cepat; apakah itu berlari, menembak, atau melintas, seolah-olah dia bisa melakukan dan melihat berbagai hal dua kali lebih cepat daripada semua orang di sekitarnya.
Cara paling pas menggambarkan bagaimana kebesaran Henry adalah dirinya berada di urutan kedua dalam pemungutan suara Ballon d’Or pada tahun 2003 dan keempat pada tahun 2004. Sementara pada penghargaan FIFA Player of The Year 2003 dan 2004, pria Prancis ini selalu di posisi dua. Sejak musim 2001/2002 dirinya rutin mencetak lebih dari 20 gol per musim.
Sementara Bergkamp mendekati akhir kariernya, tetapi dirinya tidak kehilangan gerakan atau visinya yang cemerlang. Gaya bermain Bergkamp sangat stylish dan berteknik tinggi, umpan-umpan terobosannya hampir serupa dengan umpan Ozil. SEKILAS.
Taktik
Arsenal menerapkan formasi 4-4-2 musim itu, meskipun itu juga bisa disebut 4-2-3-1 karena cara bermain Dennis Bergkamp yang sering bergerak ke posisi nomor 10 antara lini tengah dan lini serang. The Gunners meraih 26 kemenangan dan 12 hasil imbang.
Walau demikian, bisa dibilang mereka bukan tim yang tajam karena hanya mencetak 73 gol, tetapi kala itu tim ini menjadi tim paling produktif. Mereka hanya kebobolan 26 gol.
Dari 26 kemenangan liga musim itu, 14 berada dengan selisih satu gol. Hanya dua kali dalam 38 pertandingan mereka kebobolan lebih dari dua gol, dan mereka mencatat 15 clean sheets. Mungkin, inilah alasan utama mereka sukses juara tanpa kekalahan dibandingkan kehebatan saat menyerang.
Lini belakang dan tengah mereka yang terkenal sebagai Two Banks of Four sangat padu kala melakukan transisi bertahan dan menyerang. Skuat defensif Arsenal ini juga didukung oleh para pemain bermental baja dan para penyerang brilian.
Apakah bisa diulang lagi saat ini?
Munculnya tim-tim kaya, dan pelatih-pelatih kelas dunia yang kaya taktik, membuat Liga Primer Inggris semakin kompetitif dibanding kala Arsenal menciptakan rekor unbeaten. Jadi, apakah rekor The Invincible bisa diulang di zaman sekarang?
Revolusi taktik sepak bola abad ke-21 di mulai sejak Barcelona dengan Pep Guardiola-nya memenangkan 6 gelar major dalam 1 tahun. Sejak saat itulah perkembangan taktik sepak bola amat cepat beralih, mulai dari possession football hingga counter pressing, yang menerapkan pressing tinggi dan mengendalikan ruang.
Di EPL, Spurs, City, dan Liverpool adalah tim-tim dengan permainan pressing tinggi dengan basic counter pressing. Bahkan tim-tim papan tengah EPL pun juga sudah fasih bermain counter pressing karena taktik ini efektif ketika meladeni tim-tim yang suka menguasai bola.
Jadi salah satu kunci menjuarai Liga Primer Inggris di era saat ini adalah taktik counter pressing dan pertahanan yang baik. Leicester City dan Chelsea di bawah Mourinho dan Conte adalah tim dengan pressing tinggi dan pertahanan baik yang mampu menjuarai Liga Primer Inggris.
Dengan skuat The Invincible-nya, Arsenal juga akan mampu menerapkan taktik tersebut, bahkan dengan keseimbangan istimewa antara pertahanan dan serangan. Sebab tim ini punya lini belakang dan lini tengah yang kaya pemain bertipe petarung dan stamina besar serta disiplin.
Komposisi pemain yang sangat cocok untuk mengusung taktik counter pressing. The Gunners Invincible juga akan sangat mematikan saat melakukan transisi dari bertahan dan menyerang secara kilat. Henry dan Bergkamp akan menjadi musibah bagi lini pertahanan tinggi, karena merupakan paduan kecepatan dan kejeniusan.
Taktik counter pressing skuat The Invincible ini akan mampu menumbangkan City, walau mereka akan jauh kalah saat menguasai bola dibandingkan The Citizens, tetapi serangan balik dan kedisiplinan Pasukan The Invincible akan merontokkan City. Begitu juga kala bertemu Liverpool, tim Arsenal ini tidak akan melakukan penguasaan bola tetapi akan meladeni permainan transisi Liverpool sembari menemukan celah serangan balik yang dipimpin Henry.
Jadi? Apakah skuat The Invicible Arsenal akan mampu mengulangi rekor mereka sendiri di zaman sekarang? Jawabannya, seperti slogan di salah satu iklan minuman berenergi: BISA!