Target kembali gagal tercapai, dan kesebelasan asal Semenanjung Arab lagi-lagi menjadi batu sandungan. Timnas U-23 Indonesia asuhan Luis Milla kalah adu penalti 3-4 lawan Uni Emirat Arab (UEA) yang membuat langkah tuan rumah terhenti di perdelapan-final sepak bola putra Asian Games 2018.
Secara hasil, ini adalah kegagalan kesekian yang dicapai timnas Indonesia asuhan Luis Milla. Target juara di SEA Games 2017 gagal, trofi juara yang diimpikan di Aceh World Solidarity Tsunami Cup kandas di laga terakhir kontra Kirgistan, dan harus puas menempati peringkat 3 di PSSI Anniversary Cup 2018.
Memang belum ada prestasi yang diberikan Luis Milla untuk Indonesia. Belum ada skor besar yang dihasilkan seperti di zaman kepelatihan Peter Withe, Ivan Kolev di Piala Asia 2007, atau tiga periode Alfred Riedl bersama Tim Garuda.
Akan tetapi, ada satu aspek yang menjadi pencapaian bagus Luis Milla, yang tidak kasat mata tapi sangat berpengaruh bagi masa depan timnas Indonesia. Itu adalah pembentukan kerangka tim dan filosofi bermain, yang membuat timnas Indonesia memiliki kejelasan dalam pola permainan.
Luis Milla telah melakukannya sejak menangani Timnas U-23 di SEA Games 2017. Pola permainan Indonesia mulai rapi dengan skema yang jelas, dan tensi timggi yang biasanya melekat dalam diri pemain kali ini tidak terlalu terlihat. Hanya konflik antarpemain saat melawan Timor Leste dan kartu merah Hanif Sjahbandi yang mencolok.
Berganti tahun, wajah timnas Indonesia juga ikut berubah. Bukan berubah karena banyaknya pemain keluar masuk, melainkan berubah menjadi tim dengan mentalitas tahan banting. Indonesia bukan lagi tim yang setelah kebobol sekali semangatnya langsung loyo.
Mulai dari bertahan dari gempuran Vietnam di SEA Games 2017 yang berbuah skor 0-0, sampai memaksa Uni Emirat Arab melakoni 120 menit yang melelahkan di Stadion Wibawa Mukti, timnas Indonesia menunjukkan semangat yang lama tidak terlihat.
Semangat untuk tetap memiliki jiwa raga yang kuat, meski kenyataan mendadak jadi berat dengan kualitas lawan yang lebih hebat.
Persoalan target
Penyebab terancam lengsernya Luis Milla lagi-lagi persoalan klasik. Tidak terpenuhinya target membuat pria asal Spanyol tersebut dikabarkan tak lama lagi akan meninggalkan jabatannya sebagai pelatih timnas Indonesia. Bahkan tanda-tanda perpisahan sudah terlihat dari unggahan asistennya, Bima Sakti, di Instagram.
Pertanyaannya, sampai kapan PSSI menerapkan sistem ala salesman seperti ini? Tidak mencapai target maka pekerjaan diakhiri.
Luis Milla ditugaskan menangani Timnas U-23 dan senior, tapi ia lebih sering bersama Garuda Muda karena dua ajang besar yang diikuti, SEA Games 2017 dan Asian Games 2018. Jika dilihat secara target memang belum memenuhi, tapi Luis Milla sudah membentuk kerangka skuat yang sangat kokoh.
Timnas usia muda berbeda dengan senior. Kita tidak bisa memberikan target yang muluk-muluk pada pemain di bawah 23 tahun, karena beban mereka akan lebih besar dari yang seharusnya diemban. Timnas usia muda sebaiknya diarahkan menuju perkembangan jadi pemain yang lebih matang. Luis Milla, sudah melakukan itu dengan sangat baik.
Baca juga: Jerat dalam Prestasi Sepak Bola Usia Dini
Gavin Kwan Adsit yang berposisi penyerang sekarang nyaman jadi bek kanan. Hansamu Yama yang biasanya berapi-api sekarang lebih kalem, dan Evan Dimas dengan kebiasaannya turun terlalu dalam sekarang bisa “menjaga diri” tetap dekat dengan sepertiga akhir lapangan.
Di Asian Games 2018, Luis Milla juga berhasil memadukan para pemain senior dengan juniornya. Andritany Ardhiyasa bisa kompak dengan dua bek tengah di depannya, juga duet Beto Goncalves – Stefano Lilipaly yang bisa padu dengan susunan mayoritas pemain dari anggota skuat SEA Games tahun lalu.
Namun sayangnya, Luis Milla adalah pelatih timnas Indonesia. Ia melatih tim nasional yang sudah lama memendam keinginan mengangkat trofi juara, sehingga tidak ada trofi artinya tidak ada pencapaian. Sebaik apapun caranya bermain, sejauh apapun pemain berkembang, kalau tidak ada titel artinya tidak memuaskan.
Persoalan ini serupa dengan Lionel Messi di timnas Argentina. Sebanyak apapunn gol dan Ballon d’Or yang diraihnya, kalau tidak ada trofi Piala Dunia maka dia belum selevel dengan Diego Maradona.