Piala Dunia 2018

Menyayangkan Cara Protes Pussy Riot di Final Piala Dunia 2018

Pertandingan Final Piala Dunia 2018 yang berlangsung kemarin malam berlangsung dengan menarik. Selain karena banyaknya gol yang tercipta, baik Prancis maupun Kroasia sama-sama menampilkan dengan filosofi taktiknya masing-masing. Namun, pertandingan yang menarik ini mesti ternoda karena aksi protes dari Pussy Riot, grup band beraliran punk dari Rusia, terhadap kepemimpinan Vladimir Putin.

Mengenal Pussy Riot dan protesnya

Sebelum berbicara lebih jauh, ada baiknya kita mengenal Pussy Riot terlebih dahulu. Dilansir dari CNN Indonesia, Pussy Riot adalah band punk perempuan yang memiliki misi untuk menyampaikan berbagai isu, mulai dari isu LGBT, politik, hingga isu lainnya, utamanya yang berkenaan dengan feminisme.

Pada awal berdiri di tahun 2011, Pussy Riot beranggotakan tiga orang, Nadezhda Tolokonnikova, Maria Alyokhina, dan Yekaterina Samtsev. Namun, seiring perkembangan waktu, anggota band ini semakin banyak, hingga kabarnya saat ini mencapai 11 orang.

Pussy Riot memang terkenal dengan aksi protes yang ilegal dan vandal. Mereka pernah melakukan aksi protes di Olimpiade Musim Dingin 2014, yang bertempat di kota Sochi, Rusia. Kala itu, mereka melakukan pertunjukan di dekat cincin Olimpiade, pertunjukan yang bertujuan untuk protes terhadap Putin. Pertunjukan mereka kala itu langsung dihentikan polisi, yang sayangnya menggunakan kekerasan kala menghentikan Pussy Riot.

Sebelumnya, mereka juga pernah melakukan aksi protes nan ilegal lainnya, seperti melakukan hubungan seksual di depan Museum Biologi Moskow tahun 2012 lalu, dan mengadakan konser ilegal di Stasiun Metro Moskow di tahun yang sama. Tentunya aksi-aksi ini mengandung misi yang serupa, yang berfokus di masalah yang sudah disebutkan di atas.

Di final Piala Dunia 2018 kali ini, Pussy Riot kembali menjalankan aksi protesnya. Ada empat orang yang tiba-tiba masuk menginvasi lapangan ketika pertandingan tengah berlangsung. Empat orang yang terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan ini langsung disergap oleh petugas keamanan, namun sayangnya, pertandingan harus terhenti karena aksi mereka.

Setelah pertandingan final berakhir, Pussy Riot pun mengklaim bahwa invasi yang dilakukan oleh empat orang penonton ini adalah bagian dari aksi mereka. Mereka bertanggung jawab atas hal ini, sekaligus menyampaikan maksud dari aksi protes ini melalui akun Twitter resminya.

Melalui pernyataan resminya, Pussy Riot menyatakan bahwa aksi ini mereka lakukan untuk mengenang kematian dari penyair Rusia, Dmitry Prigov, salah satu seniman yang aktif dalam gerakan anti-pemerintah di Rusia. Selain itu, Pussy Riot juga menyuarakan permintaan mereka yang tertuang dalam lima poin.

  1. Bebaskan semua tahanan politik

  2. Tidak memenjarakan orang yang memberikan “likes” di media sosial

  3. Hentikan penangkapan paksa terhadap aksi protes dan demonstrasi

  4. Berikan kesempatan untuk adanya kompetisi politik di Rusia

  5. Tidak merekayasa tuduhan kriminal dan tidak memenjarakan orang tanpa alasan

Menyayangkan aksi protes di Final Piala Dunia 2018

Sama sekali tak ada yang salah dalam tujuan dan permintaan Pussy Riot dalam aksi protes yang mereka lakukan di final Piala Dunia 2018. Namun, penulis pribadi benar-benar menyayangkan cara mereka dalam menyampaikan permintaan dan protes mereka.

Begini masalahnya. Tepat sebelum empat anggota dari Pussy Riot memasuki lapangan, Kroasia tengah bersiap untuk melancarkan serangan balik. Masuknya empat orang ke lapangan ini tentunya merusak momentum sekaligus skema yang tengah dibangun oleh Kroasia. Hal ini tentunya benar-benar merugikan Luka Modric dan rekan-rekannya, terlebih kala itu mereka tengah dalam situasi tertinggal satu gol.

Dapat dimengerti rasanya perasaan Dejan Lovren, yang kala itu terlihat benar-benar marah. Bek tengah milik Liverpool ini sampai menjegal dan menarik seorang penginvasi, sembari berteriak kepadanya. Entah apa yang diteriakan oleh Lovren, namun pastinya ia tidak senang atas aksi anggota Pussy Riot ini.

Dalam sepak bola (dan olahraga secara keseluruhan), momentum adalah hal yang benar-benar berharga. Satu tim yang tengah mendapatkan momentum tentu memiliki ritme yang pas untuk melakukan serangan. Dalam situasi ini, Kroasia tengah memiliki momentum untuk melakukan serangan balik.

Baca juga: Akselerasi dan Momentum dalam Sepak Bola

Memang, momen ini hanya satu di antara 90 menit yang terjadi di lapangan. Namun, mengerdilkan satu momen ini juga merupakan sesuatu yang tidak adil, terlebih demi satu hal yang tidak berkaitan secara langsung dengan sepak bola. Bisa saja, Kroasia mampu mencetak gol penyama kedudukan ketika melancarkan serangan balik ini apabila Pussy Riot tak serta merta masuk ke lapangan dan mengganggu pertandingan.

Tentu saja banyak pro dan kontra dalam hal ini. Namun, melihat dari sudut pandang sepak bola, tindakan Pussy Riot ini tentu sangat merugikan, terutama bagi timnas Kroasia. Tanpa melihat muatan protes yang mereka sampaikan (dan tidak ada masalah sama sekali dalam muatan protes tersebut), cara penyampaian protes yang mereka lakukan sangat disayangkan dan tak bisa ditolerir 100%.