Berita Dunia

Piala Dunia 2022 dan Segala Kontroversinya

Dalam rilis resminya, asosiasi sepak bola dunia (FIFA) lewat sang Presiden, Gianni Infantino, mengumumkan bahwa jadwal penyelenggaraan Piala Dunia 2022 di Qatar nanti jatuh pada 21 November hingga 18 Desember. Keputusan itu membuat ajang Piala Dunia, untuk kali pertama keluar dari pakem penyelenggaraannya yang selama ini diputar pada bulan Juni-Juli.

Kendati demikian, apa yang diungkapkan Infantino bukanlah suatu hal yang betul-betul baru dan segar. Pasalnya, waktu penyelenggaraan Piala Dunia 2022 sudah ditetapkan oleh FIFA sejak tahun 2015 silam tatkala Sepp Blatter masih berkuasa.

Blatter dan koleganya saat itu sepakat bahwa Piala Dunia 2022 mesti dimainkan selama musim dingin di Qatar agar kondisi cuaca pada negara yang terletak di kawasan Arab tersebut lebih ideal buat menggelar pertandingan.

Usut punya usut, apabila dihelat pada bulan Juni-Juli seperti biasa, cuaca di Qatar justru sedang terik-teriknya karena pada siang hari, temperatur udara bisa mencapai 40-45 derajat Celsius.

Hal tersebut jelas membahayakan kondisi fisik para pesepak bola yang berpartisipasi. Tak peduli bahwa asosiasi sepak bola Qatar (QFA) menyatakan bahwa delapan arena yang mereka siapkan untuk Piala Dunia 2022 memiliki teknologi canggih, termasuk soal sistem pendingin di dalam stadion.

Baca juga: Laporan Michael Garcia dan Polemik Kelam Piala Dunia 2022 Qatar

Bersamaan dengan penetapan jadwal Piala Dunia 2022 yang di luar kebiasaan, FIFA juga mengungkapkan kalau mereka sudah menghubungi seluruh anggotanya buat mengatur jadwal kompetisinya masing-masing agar tidak berbenturan dengan waktu penyelenggaraan Piala Dunia 2022.

“Menurut saya, Piala Dunia 2022 yang dihelat pada musim dingin bisa menjadi turnamen yang sangat luar biasa sebab para pemain yang berpartisipasi kondisinya bakal lebih bugar”, papar Wakil Presiden FIFA, Jim Boyce, seperti dilansir sportbible.

Lebih lanjut, berubahnya waktu perhelatan Piala Dunia 2022 kembali memantik kontroversi. Padahal, sejak Qatar ditetapkan sebagai tuan rumah, Piala Dunia 2022 begitu lekat dengan kontroversi.

Dimulai dari merebaknya kasus korupsi yang melibatkan FIFA, QFA, dan tentu saja pemerintah Qatar guna melanggengkan jalan negera kaya raya itu buat menjadi host turnamen sekelas Piala Dunia.

Konon, QFA dan pemerintah Qatar menghadiahkan uang senilai 1,5 juta dolar Amerika Serikat (AS) kepada para pemilik suara dari konfederasi sepak bola Afrika (CAF) supaya memilih mereka dalam proses voting.

Pun begitu dengan kocek sebesar 2 juta dolar AS yang diberikan kepada Presiden konfederasi sepak bola Amerika Utara, Tengah, dan Karibia (CONCACAF), Jack Warner dan keluarganya, supaya Warner bisa menekan anggota CONCACAF buat memilih Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.

Baca juga: Qatar 2022 dan Krisis Diplomasi Kawasan Teluk

Jumlah tersebut bahkan di luar fulus yang mesti dikucurkan QFA dan pemerintah Qatar kepada para petinggi FIFA secara langsung supaya ambisi mereka terwujud. Selain masalah suap, Piala Dunia 2022 juga dihadapkan pada kasus kekerasan sekaligus perbudakan kepada para pekerja yang didatangkan untuk membangun sejumlah fasilitas yang diperlukan, semisal stadion ataupun sarana publik.

Upah yang mereka terima kabarnya di bawah standar yang ditetapkan dan keselamatan kerja mereka pun tidak diperhatikan. Alhasil, banyak dari pekerja tersebut yang meninggal dunia akibat hal itu.

Berbagai kontroversi yang meliputi persiapan Qatar dalam menghelat Piala Dunia 2022 jelas memantik atensi lebih banyak kalangan. Terlepas dari kemampuan mereka, secara finansial, untuk membangun sejumlah stadion megah dan canggih, kredibilitas mereka sebagai tuan rumah yang baik sudah barang tentu tercoreng.