Selama ini, poros sepak bola dunia berkiblat kepada dua region yang bersaing memperebutkan status sebagai yang terbaik di dunia, yakni Eropa dan Amerika Selatan. Terbukti, gelar juara dunia selalu jatuh ke tangan tim-tim dari dua wilayah ini. Namun saat ini ketimpangan diantara keduanya mulai terasa, dengan Amerika Selatan tertatih-tatih untuk menyaingi Eropa.
Yang terbaru, tumbangnya Brasil dan Uruguay atas Belgia dan Prancis di perempat final Piala Dunia 2018 membuat zona Eropa semakin memperkuat hegemoni mereka di ajang 4 tahunan tersebut, dengan menjadi juara di 4 edisi terakhir.
Dominasi ini dimulai sejak Piala Dunia 2006. Kala itu, 4 tiket semifinal menjadi milik tuan rumah Jerman, Italia (yang akhirnya menjadi juara), Prancis, dan Portugal. Kala itu, prestasi terbaik wakil Amerika Latin hanya sebatas perempat final, yang di wakili Brasil (kalah 0-1 dari Prancis) dan Argentina (kalah adu penalti dari Jerman).
Empat tahun berselang, Brasil dan Argentina mengulang kisah yang sama, terhenti di perempat-final. Namun masih ada Uruguay yang berhasil melaju ke semifinal setelah menumbangkan Ghana dalam laga yang melambungkan kisah ‘tangan malaikat’ Luis Suarez. Sayangnya, Le Celeste takluk 3-2 dari Belanda, membuat All European Final kembali terjadi. Sebab di jalur lainnya, Spanyol (yang akhirnya menjadi juara) melaju ke final dengan menumbangkan sesama tim Eropa, yakni Jerman.
Pada Piala Dunia 2014 di Brasil, wakil Amerika Selatan punya peluang besar untuk menjadi juara, terlebih mereka diwakili 6 negara. Brasil dan Argentina berhasil menembus semifinal, namun hanya Albiceleste yang terus melaju hingga ke final. Sementara sang tuan rumah, seperti yang kita tahu, harus menanggung malu setelah takluk 1-7 dari Jerman. Sayangnya, Argentina gagal menjaga nama baik Amerika Latin karena di final pun mereka harus takluk dari Die Mannschaft lewat gol tunggal Mario Götze.
Dan kini di Rusia, kekalahan Brasil dan Uruguay membuat 4 jatah semifinal dipastikan kembali menjadi milik negara-negara asal Eropa, mengulang kisah yang terjadi di tahun 2006 silam. Dominasi ini bisa dibilang sedikit merusak ‘tradisi’, dimana dahulu tak pernah ada region yang betul-betul mendominasi.
Sebelumnya, gelar juara selalu bergantian hilir-mudik ke Amerika Selatan maupun Eropa, dengan periode terlama hanyalah dua edisi. Selain itu, hingga 2006, tak satupun negara Eropa yang berhasil menjadi juara di luar benuanya, sebelum akhirnya Spanyol (2010) dan Jerman (2014) mampu memutus tren buruk itu.
Dalam ranah antar-klub, kondisinya juga serupa. Jika melihat daftar juara Piala Dunia Antarklub, kita akan menemukan bahwa sejak 2006, hanya sekali wakil Amerika Selatan keluar sebagai juara, yakni Corinthians di tahun 2012. Sisanya, gelar ini selalu jatuh ke tangan wakil-wakil Eropa. Bahkan dalam 3 kesempatan (tahun 2010, 2013, dan 2016), wakil Amerika Selatan pernah gagal menembus babak final.
Kondisi ini mungkin menimbulkan tanda tanya, apakah sebenarnya kualitas sepakbola Amerika Selatan sedang mengalami penurunan? Sebenarnya sulit untuk mengatakan demikian, sebab banyak sekali bintang-bintang sepak bola asal Amerika Selatan yang merumput di Eropa, bahkan semua klub-klub besar memiliki pemain asal Amerika Selatan.
Meski begitu, Jorge Valdano, legenda Real Madrid dan timnas Argentina dalam kolomnya di Guardian, secara tak langsung menyebutkan bahwa negaranya saat ini tertinggal untuk urusan terkait pembinaan sepak bola (di dalam dan luar lapangan) dibandingkan Eropa, khususnya Jerman dan Spanyol. Bahkan pemain-pemain Argentina yang hijrah untuk mengejar karier di Eropa pun disebut Jorge tidak bagus-bagus amat.
Jika ternyata kondisi ini juga dialami oleh negara-negara Amerika Selatan lainnya, tentu ada yang harus diperbaiki agar timnas mereka bisa kembali berprestasi dan wilayah ini kembali disinggahi trofi Piala Dunia. Percuma saja jika mempunyai sederet pemain ternama nan berkualitas namun gagal menandingi kualitas negara-negara Eropa saat membela timnas di ajang internasional.