Editorial

Lebaran Sudah Lewat, Jerman Kok Baru Pulang Kampung?

Judul ini, sejujurnya, bertujuan dua hal. Pertama, insult untuk penggemar timnas Jerman di Indonesia dan kedua, merayakan runtuhnya hegemoni ‘penguasa’.

Setelah keruntuhan ‘rezim’ Spanyol dan sepak bola artistiknya di Brasil 2014, Jerman muncul ke permukaan dengan sepak bola efektif nan sistemik yang luar biasa. Tak hanya menghancurkan Brasil dengan skor mencolok, 1-7, tapi juga menjuarai Piala Dunia ke-4 mereka dengan penuh gaya: membantai tuan rumah dan mematahkan hati Lionel Messi di final.

Setelahnya, hegemoni Jerman berlanjut. Betul, mereka sedikit berantakan di Piala Eropa 2016 ketika harus takluk atas tuan rumah Prancis di semifinal. Tapi kala itu, kejadian tersebut hanya dianggap kiamat kecil belaka. Jerman bereaksi dengan sangat baik di Piala Konfederasi 2017 ketika menjuarai turnamen antar-konfederasi tersebut dengan pemain lapis kedua dan ketiga mereka. Julian Draxler dan kolega menjuarai Piala Konfederasi dengan meyakinkan tanpa pilar penting mereka tiga tahun lalu di Brasil.

Aura juara itu menguar kuat. Media membuat daftar tiga bahkan empat lapis starting XI Jerman yang diprediksi akan mendominasi dunia dan Eropa dalam tiga sampai empat tahun ke depan. Dan proyek besar itu dimulai di Piala Dunia 2018 ini.

Tapi, kita kemudian tahu, Jerman berantakan lagi di Rusia untuk kedua kalinya setelah Perang Dunia II. Dua kali kekalahan (satu kekalahan bahkan datang dari Korea Selatan!) dan hanya satu kemenangan yang susah payah atas Swedia, tak cukup membawa Der Panzer untuk sekadar lolos dari fase grup, sesuatu yang tidak pernah lagi mereka alami sejak 1938, terjadi lagi di 2018!

Lalu, dua minggu setelah Lebaran, kenapa Jerman baru pulang kampung sekarang?

 

Ketidakadilan kepada Marc-Andre ter Stegen

Baik, kita sepakati saja: Manuel Neuer memang cyborg. Tapi, itu dulu, empat tahun lalu. Setelah cedera retak kaki yang menderanya sejak November 2017, kita semua tahu, Neuer tidak pernah punya fisik yang siap untuk menjadi cyborg seperti yang kita tahu di Brasil 2014 lalu.

Neuer tidak banyak bermain sepanjang musim 2017/2018. Benar, ia sembuh tepat waktu sebelum Piala Dunia 2018, tapi memberi jatah kiper utama bagi kiper yang bahkan tidak mencicipi musim dengan melewati 15 pertandingan bersama klubnya adalah perjudian yang tidak masuk akal dan itulah dosa pertama Joachim Löw.

Selepas Piala Dunia 2014, publik Jerman optimis karena skuat juara dunia itu masih menyimpan nama-nama seperti ter Stegen hingga Bernd Leno, yang bahkan tidak dibawa ke Brasil. Di Piala Eropa 2016 dan Piala Konfederasi 2017, Leno dan ter Stegen merasakan atmosfer turnamen dan sudah dipersiapkan untuk panggung yang lebih besar: Piala Dunia 2018.

Di 2017/2018 lalu, ter Stegen tampil sangat prima bersama Barcelona. Sejak kepindahan Claudio Bravo ke Manchester City dua musim lalu, kiper kelahiran Mönchengladbach menjadi pilihan nomor satu yang tak tergantikan di Catalan. Barcelona, bersama Bayern München dan Real Madrid, adalah tiga klub terbaik Eropa masa ini dan menyegel status nomor satu di tim seperti Barcelona hanya untuk diabaikan di timnas adalah hal yang tidak masuk akal. Mengesampingkan ter Stegen demi satu tempat utama untuk Neuer di Piala Dunia 2018 adalah dosa pertama sekaligus yang paling besar dari Löw.

Dari tiga laga di Rusia, Neuer tidak sekalipun mencatat clean sheet, kebobolan empat gol, dan aib terbesarnya adalah saat dibobol Korea Selatan dan Son Heung-min dengan cara yang paling memalukan: ke gawang kosong yang sudah jauh sekali ia tinggalkan.

 

Pemain senior yang banyak tingkah

Isu friksi antara The Bavarians dengan para Bling-bling gang di timnas Jerman sudah diangkat beberapa media seperti Bild dan Guardian beberapa hari sebelum sepak mula Piala Dunia 2018. Hal ini semakin kuat berembus ketika nama Leroy Sane dicoret dari skuat karena ‘resistensi’ dari pemain senior Jerman seperti Manuel Neuer dan Thomas Müller, hingga ribut-ribut antara Joshua Kimmich dan Antonio Rüdiger di sesi latihan terakhir Jerman sebelum Piala Dunia.

Baca juga: Disharmonisasi antara The Bavarians dan The Bling-Bling Gang di Timnas Jerman

Tapi, topik besarnya bukan di situ, melainkan tingkah beberapa pemain senior Jerman masa sekarang yang tidak bersikap seperti generasi Phillip Lahm dan Bastian Schweinsteiger yang begitu karismatik dan dihormati. Di skuat 2014 bahkan masih ada dua figur senior yang populer seperti Miroslav Klose dan Lukas Podolski, yang walau anak dari imigran Polandia, nyatanya begitu dihormati oleh skuat kala itu sehingga tim empat tahun lalu jauh lebih solid dan kompak.

Manuel Neuer, sang kapten utama, yang seharusnya tidak layak berangkat ke Rusia karena kebugarannya, tidak membuat semua menjadi lebih baik bagi skuatnya. Tidak ada sosok menonjol yang karismatik dari pemain-pemain yang dibawa ke Rusia tahun ini. Pemain-pemain Jerman begitu hebat secara teknik dan kualitas bermain, tapi tak pernah memiliki aura pemimpin yang menguar kuat untuk menyatukan tim laiknya Lahm atau Schweinsteiger, bahkan Klose atau Podolski sekalipun.

Taktik Jerman usang, template, dan mudah ditebak

Perihal taktik ini masih bisa diperdebatkan karena Oscar Washington Tabarez, yang sudah 12 tahun bersama timnas Uruguay, nyatanya masih mampu menampilkan permainan kolektif dan spartan dari Uruguay dengan mengintegrasikan sosok muda seperti Rodrigo Bentancur dan Jose Gimenez, dengan senior-senior seperti Luis Suarez, Edinson Cavani, dan Diego Godin di Piala Dunia 2018.

Tapi Jerman, bukan Uruguay, dan jelas, Tabarez, sang El Maestro, bukanlah Joachim Löw. Löw juga sudah menangani Jerman selepas Piala Dunia 2006 kala ia masih menjadi asisten Jürgen Klinsmann kala itu. Yang artinya, di rentang waktu yang sama, Löw menghabiskan waktu di timnas dengan periode yang sama seperti Tabarez di Uruguay.

Tapi masalahnya, tidak ada pembaruan taktik bagi Jerman bahkan selepas kegagalan di Piala Eropa 2016. Löw belum juga menyadari potensi dahsyat Timo Werner yang mampu menyerang sisi half space lawan, atau bagaimana cara melindungi Toni Kroos demi progresi bola yang lebih enak dan nyaman, serta aman dari serangan balik lawan. Laga melawan Meksiko adalah contoh nyata. Sami Khedira bukan gelandang yang bisa diandalkan lagi untuk menjadi tandem Kroos. Positioning Khedira dan awareness yang ia miliki sudah jauh berkurang dibanding empat tahun lalu.

Werner, si wonderkid itu, masih saja dipaksa menjadi penyerang tunggal sendirian di depan kala meladeni Korea Selatan, walau laga kontra Swedia sudah menunjukkan kepada Löw bahwa pemuda milik RB Leipzig ini punya potensi untuk menjadi penyerang yang berbahaya bila menyisir dari sayap dan menyediakan sosok finisher di kotak penalti untuk memaksimalkan potensi besar pemuda ini.

Thomas Müller dan Mesut Özil yang baru saja menjalani musim tak cukup nyaman dengan Bayern München dan Arsenal, sebenarnya sudah tak cukup layak menjadi pemain utama mengingat masih ada nama Marco Reus, Leon Goretzka (yang bersinar terang di Piala Konfederasi 2017), Julian Brandt, hingga Sane, yang bahkan harus ditinggal di rumah.

Jika alasan Leroy Sane tak dibawa murni kebutuhan taktikal Löw, kita semua tahu kemudian bahwa taktik Löw memang tidak cukup baik untuk mengakomodasi Jerman era baru dengan sederet talenta mudanya, karena nyatanya Jerman harus pulang kampung lebih awal dari Rusia bahkan dengan predikat memalukan: juru kunci Grup F di bawah Korea Selatan.

***

Tidak ada yang perlu ditangisi berlebih bagi penggemar Jerman di Indonesia karena Der Panzer memang sebusuk itu. Argentina bermain busuk, pun juga Spanyol dan Portugal, but, hey, mereka bertiga ada di perdelapan-final. Ini bukan masalah siapa yang pantas dan tidak pantas lolos, tapi persoalan sederhana: mampu atau tidak mampu lolos dari fase grup?

Dibanding menangisi kiprah Jerman yang singkat, coba pahami hal ini: Edy Rahmayadi sangat besar probabilitasnya untuk memenangi Pilgub Sumatera Utara dan ada kemungkinan besar beliau akan rangkap jabatan sebagai gubernur dan Ketua Umum PSSI. Mau meratapi Jerman yang gagal lolos secara tragis atau Pak Edy yang mungkin akan rangkap jabatan, just pick your worst nightmare, teman-teman.