Piala Dunia 2018

Jerman di Piala Dunia 2018: Lebih Lengkap Tapi Tak Sehebat Para Pendahulu

Jika diurut, ada banyak hal yang bisa disebut-sebut sebagai pangkal masalah yang kemudian membuat Jerman tidak berhasil melaju dari fase grup Piala Dunia 2018. Jerman yang perkasa itu nyatanya tidak berdaya, dan tetap terkena “kutukan” yang biasanya diterima oleh para juara bertahan Piala Dunia di edisi-edisi sebelumnya.

Di antara semua masalah, ada sebuah pendapat yang boleh dibilang menarik. Jerman dianggap tidak menemukan sosok pengganti bagi Philip Lahm, Bastian Schweinsteiger, dan Miroslav Klose, para pemain senior yang menjadi kunci Jerman menjadi juara dunia pada tahun 2014. Rasionalisasi dari pendapat ini bermacam-macam. Mulai dari aspek yang sifatnya teknis dan taktikal, hingga permasalahan lain seperti kepemimpinan misalnya.

Mari kita melihat perbandingan antara Philip Lahm, Bastian Schweinsteiger, dan Miroslav Klose sebagai generasi pendahulu dengan para penerusnya:

 

karier Kimmich meroket

Joshua Kimmich – Philip Lahm

Setelah lebih dari satu dekade, pos bek kanan Jerman terus diisi oleh Philip Lahm. Sejak Piala Eropa 2016 lalu, posisi ini diisi oleh Joshua Kimmich. Pemain bertahan yang juga menjadi suksesor Lahm di FC Bayern München ini dianggap sebagai salah satu pemain yang tidak tampil mengesankan di Piala Dunia edisi kali ini. Kimmich dianggap menjadi biang keladi ketika Jerman kebobolan oleh Meksiko di pertandingan perdana.

Padahal apabila berbicara kelengkapan sebagai pesepak bola, Kimmich memiliki banyak atribut yang tidak dimiliki Lahm. Kimmich lebih bertenaga, dan sebenarnya lebih versatile. Karena seperti yang diketahui bahwa posisi natural Kimmich adalah gelandang bertahan, hingga kemudian ditransformasi ke sektor bek kanan.

Bahkan di awal-awal era kepelatihan Pep Guardiola di FC Bayern, Kimmich sempat dimainkan di posisi bek tengah. Kimmich adalah pemain yang lebih serbaguna ketimbang Lahm. Bahkan pelatih timnas usia muda Jerman, Horst Hrubesch, sempat menyebut bahwa Kimmich serupa dengan pisau lipat serbaguna asal Swiss.

Perbedaan yang paling mencolok antara Lahm dan Kimmich adalah pengambilan keputusan. Lahm bisa dengan secara ajaib membuat lini pertahanan keluar dari situasi sulit. Soal pengambilan keputusan ini memang sebuah aspek intelegensia yang biasanya akan terasah seiring waktu, dan semakin banyaknya pengalaman bermain.

Yang berbeda adalah, Kimmich selalu terlihat mengandalkan intuisinya ketika bermain. Hal ini kemudian terkadang membuat Kimmich memaksakan diri dalam suatu keadaan. Langsung naik maju membantu serangan, atau langsung berusaha mengambil bola tanpa melihat situasi di sekelilingnya.

 

rekapitulasi ronde kedua Piala Dunia 2018

Toni Kroos – Bastian Schweinsteiger

Well, memang pelik membandingkan Toni Kroos dan Bastian Schweinsteiger. Keduanya merupakan gelandang luar biasa dengan serangkaian prestasi. Tentu agak sulit untuk mencari celah di antara kedua gelandang hebat ini.

Kroos jelas merupakan gelandang yang diberkahi kecerdasan yang luar biasa. Mengendalikan permainan dan mengalirkan bola seakan menjadi sinonim bagi seorang Toni Kroos. Tetapi yang menjadi komparasi, atau lebih tepatnya sesuatu yang dimiliki oleh Bastian namun tidak dimiliki oleh Kroos adalah soal kepemimpinan.

Ada alasan besar mengapa kapten tim akan sangat baik apabila pemain yang berada di lapangan (di luar kiper) karena ini akan memudahkan alur komando tim, sekaligus memberi semangat kepada rekan-rekan yang lain. Juga soal berkomunikasi dengan wasit. Pemain yang bermain di posisi kiper, setidaknya membutuhkan waktu karena ia berada jauh di gawang.

Karena kepemimpinan tidak melulu tugas kapten, sebab Manuel Neuer yang merupakan kapten tim posisinya berada jauh. Untuk memimpin, idealnya adalah seorang gelandang. Ketika Bastian Schweinsteiger masih bermain, ia bisa memberikan komando sekaligus mengangkat mental bertanding tim. Aspek kepemimpinan inilah yang tidak banyak muncul dari Toni Kroos di Piala Dunia edisi kali ini, sekaligus yang membedakan dirinya dengan Schweinsteiger.

Kroos cenderung tidak banyak bicara. Dalam setiap tembakan, setiap operan jauh, Kroos seakan mengemban beban sendirian. Boleh jadi bukan kepribadian Kroos untuk bisa begitu ekspresif dan meledak-ledak seperti Schweinsteiger. Tetapi perbedaan ini yang membedakan Kroos dan Schweinsteiger, adalah salah satu aspek lain yang membuat Jerman tampil buruk di Piala Dunia edisi kali ini.

 

Timo Werner – Miroslav Klose

Yang terakhir, adalah Timo Werner yang menjadi pewaris Miroslav Klose di timnas Jerman. Pembaca yang budiman, secara kasat mata Anda pun sudah bisa melihat perbedaan yang begitu mencolok antara Werner dan Klose, terutama apabila berbicara soal ketajaman di muka gawang lawan dan mencetak gol.

Kemampuan terbaik Klose adalah ia bisa mengubah kecepatannya secara tiba-tiba ketika sudah masuk ke jantung pertahanan lawan. Kelebihan Klose lain adalah penempatan posisi sekaligus sentuhan yang ia lakukan ketika sudah berada di posisi menembak bola. Dan tentu saja, ia merupakan raja udara yang memiliki sundulan dahsyat.

Kemampuan-kemampuan yang boleh dibilang sederhana itulah yang tidak dimiliki oleh Werner yang sebenarnya merupakan penyerang yang lebih lengkap dan modern. Mantan pemain VFB Stuttgart ini tipe penyerang masa kini yang bisa terlibat banyak dalam permainan, tidak sekadar menunggu disuguhi oleh pemain lain. Poin tambahan lain, Werner bisa bermain melebar. Memungkinkannya untuk membuat dimensi serangan tim menjadi lebih berbeda.

***

Tetapi pada akhirnya, sejarah atau kejadian yang sudah terjadi memang merupakan sesuatu yang tidak bisa diputar kembali. Mau menangis meraung-raung sampai gila pun tidak bisa menutupi fakta bahwa Jerman bermain buruk, sehingga mereka gagal melawan kutukan dan pulang lebih cepat di Piala Dunia edisi kali ini. Apakah mereka perlu melakukan Das Reboot 2.0?