Memiliki sebuah tim dengan talenta-talenta hebat, jelas impian bagi entitas sepak bola manapun. Baik di level klub ataupun tim nasional. Di era 1990-an lalu, sebuah negara dari kawasan Eropa Utara, Norwegia, menikmati periode kepemilikan generasi emas di skuat timnasnya.
Di bawah asuhan Egil Olsen, saat itu Norwegia punya nama-nama ciamik dalam diri Henning Berg, Stig Inge Bjornebye, Dan Eggen, Tore-Andre Flo, Kjetil Rekdal, dan juga Ole Gunnar Solskjaer. Bersama dengan generasi tersebut, Norwegia turun di turnamen sepak bola antar-negara paling akbar sejagad, Piala Dunia 1998. Pada babak penyisihan, mereka tergabung bersama Brasil, Maroko dan Skotlandia di Grup A.
Perjalanan Flo dan kawan-kawan sendiri berlangsung tidak terlalu mulus kala itu. Pasalnya, mereka hanya sanggup mencuri satu poin sehabis bermain seri dengan Maroko dan Skotlandia. Alhasil, harapan satu-satunya bagi mereka agar lolos ke 16 besar cuma mengemas angka penuh dari Brasil di partai terakhir. Sialnya, hal tersebut tidaklah mudah untuk dilakukan.
Tepat di tanggal 23 Juni 1998 dan mengambil Stadion Velodrome di kota Marseille sebagai arena pertarungan, laga do or die buat Norwegia itu diselenggarakan. Sadar bahwa timnya butuh hasil maksimal, Olsen pun menurunkan skuat terbaiknya. Namun hal menarik juga diperlihatkan Mario Zagallo yang membesut Brasil. Kendati sudah lolos, ia tetap menerjunkan bintang-bintang andalannya di partai ini semisal Bebeto, Carlos Dunga, Rivaldo, Roberto Carlos dan Ronaldo.
Di hadapan sekitar 55 ribu pasang mata, laga berjalan cukup sengit lantaran masing-masing kubu berupaya keras untuk menekan guna mencetak gol terlebih dahulu. Brasil sendiri lebih mendominasi jalannya pertandingan. Namun sayang, tak ada yang berubah di papan skor hingga 45 menit pertama usai.
Kedudukan 0-0 bikin masing-masing pihak memutar otak supaya lebih tajam di babak kedua. Khusus bagi Norwegia, asa mereka untuk mendulang gol benar-benar memuncak. Pasalnya, di tempat lain, Maroko yang jadi saingan mereka untuk beroleh tiket lolos ke 16 besar, sedang unggul dari Skotlandia.
Usai beradu serangan selama lebih dari 30 menit di babak kedua, Brasil akhirnya sukses memecah kebuntuan lewat gol sundulan Bebeto yang memaksimalkan umpan silang Denilson dari sisi kiri. Situasi demikian membuat Norwegia makin tertekan karena harus membalikkan keadaan supaya ambisi ke 16 besar tetap terpelihara. Layaknya bangsa Viking yang kondang dengan karakter pekerja kerasnya, Flo dan kolega pun memperlihatkan itu di waktu yang tersisa.
Gol penyama kedudukan yang begitu diburu, akhirnya diperoleh pada menit ke-83. Memanfaatkan umpan laser Bjornebye, Flo sukses mengecoh Junior Baiano sebelum akhirnya menceploskan bola ke gawang tanpa sanggup diantisipasi Taffarel. Derasnya tekanan Norwegia bikin Bebeto dan kawan-kawan amat keteteran. Benar saja, di menit ke-89, Baiano kembali jadi pesakitan usai dianggap menjatuhkan Flo di area terlarang.
Tanpa ragu, wasit asal Amerika Serikat, Esse Baharmast, langsung menunjuk titik putih. Merasa hal itu sebuah keputusan kontroversial, anak asuh Zagallo pun mengerubungi sang pengadil lapangan guna melakukan protes. Akan tetapi, Baharmast bersikukuh jikalau Norwegia layak beroleh tendangan penalti.
Momen ini sungguh krusial untuk Norwegia. Jika sukses mencetak gol, mereka bisa menang dan melenggang ke babak selanjutnya tapi bila gagal, kemungkinan besar mereka harus angkat kaki dari Prancis. Maju sebagai algojo, ketenangan Rekdal dalam mengeksekusi penalti itu sungguh memesona. Sepakannya ke arah kanan melesat mulus sehingga kedudukan berubah menjadi 2-1 bagi keunggulan Norwegia. Skor itu sendiri bertahan sampai pertandingan berakhir sekaligus mengantar Flo dan kawan-kawan ke 16 besar (meski akhirnya rontok pada fase ini usai dibekap Italia).
Sedikit trivia, hingga sekarang, Norwegia masih jadi satu-satunya tim yang pernah ditemui oleh Brasil tapi belum jua sanggup dikalahkan. Sepanjang empat pertemuan di antara keduanya, wakil Skandinavia itu mencaplok masing-masing sepasang kemenangan dan hasil imbang.
Namun ironis bagi Norwegia, setelah tampil di Piala Dunia 1998, mereka belum pernah lagi berpartisipasi pada ajang empat tahunan paling akbar sejagad raya tersebut hingga detik ini.