Cerita

Merindukan Liga Indonesia di Tengah Kemeriahan Piala Dunia 2018

Liga Indonesia memasuki libur kompetisi sejak minggu kedua bulan Juni. Dikarenakan adanya Hari Raya Idulfitri, Go-Jek Liga 1 menjalani masa rehat, juga Liga 2 yang sudah dilakukan sejak dimulainya bulan Ramadan. Kini sudah seminggu lebih Liga Indonesia beristirahat, dan walaupun ada Piala Dunia sebagai tontonan pengganti, rasanya tetap ada yang tak terganti dari gelaran kompetisi nasional.

Secara kualitas pertandingan juga tayangan, Piala Dunia jelas jauh lebih unggul ketimbang Liga Indonesia. Bahkan tayangan pertandingan di Piala Dunia 2002 saja seperti replay dan angle pengambilan gambar masih lebih baik dari Liga 1 zaman now. Tapi ada beberapa hal, yang sampai kapanpun (mungkin) tidak akan pernah ada di Piala Dunia.

Pertama, nyanyian suporter. Stadion di Piala Dunia memang hampir selalu penuh, dan suaranya selalu bising, akibat tiupan terompet atau teriakan suporter. Tapi semeriah apapun suasana tribun di stadion Piala Dunia, bagi pencinta sepak bola Indonesia, ketiadaan nyanyian suporter kurang afdol rasanya.

Chants atau yel-yel, nyanyian pembangkit semangat, hingga gerakan koreografi, sangat sulit ditemukan di Piala Dunia. Memang masih ada yang bernyanyi, seperti suporter Peru misalnya (seperti nada yoo… ayooo… kita harus menang), atau melakukan gerakan ombak (yang konon diciptakan oleh suporter Meksiko), tapi harus diakui….. belum ada yang sekhusyuk di Liga Indonesia.

Kedua, atribut suporter. Suporter di Piala Dunia memang banyak yang mencoret-coret wajah dan badannya sesuai atribut tim nasionalnya. Tapi apa ada, yang berpakaian ala Pocong, mengecat badannya dengan warna oranye-putih seperti almarhum M. Jama’ali ikon suporter Persekabpas, atau menari-nari dengan riang layaknya Mbah Hosen di Madura United?

Sulit menemukan kegilaan seperti itu di Piala Dunia, kecuali jika Indonesia yang bermain, tentu saja…

Ketiga, beralih ke situasi di lapangan. Perilaku khas Liga Indonesia seperti kiper guling-guling untuk mengulur waktu, atau pemain mengaku cedera tapi tiba-tiba langsung bugar ketika “dibantu” lawannya berdiri, dalam seminggu terakhir seakan hilang dari peredaran ketika Piala Dunia menemani keseharian kita.

Itu belum ditambah misteri yang sampai saat ini belum terpecahkan di Liga Indonesia: Membuang peluang emas yang 95% seharusnya bisa gol, tapi dari situasi sulit atau sudut sempit, justru bisa menjaringkan bola. Juga perilaku paling absurd sepanjang masa: mogok main saat dihukum penalti, padahal penalti itu sendiri belum tentu masuk.

 

Pemain di era VAR

Belajar dari penyelenggaraan Piala Dunia

Pepatah bilang tak ada gading yang tak retak, tapi ada modifikasinya yang melanjutkan “kalau retak bisa di lem atau di isolasi”. Artinya, hal-hal di dunia ini ada untuk saling melengkapi. Liga Indonesia, dengan kesakralan yang sungguh luar biasa, bisa semakin aduhai penyelenggarannya jika dapat mencontoh poin-poin positif di Piala Dunia.

Yang paling utama adalah perilaku aktor-aktor lapangan hijau dalam menerima keputusan wasit. Terlepas dari adanya (Video Assistant Referee) VAR dan Goal Line Technology (GLT) yang hasilnya tidak bisa didebat, tapi para pemain beserta ofisial di Piala Dunia layak dicontoh bagaimana mereka menerima keputusan wasit.

Kalaupun protes, itu dilakukan setelah pertandingan. Bisa melalui konferensi pers, atau langsung mengajukan ke komite yang berwenang. Keputusan wasit di lapangan adalah mutlak (yang juga diawali tanpa adanya kontroversi keputusan), sehingga tidak perlu adanya protes berlebihan.

Selain itu juga sangat indah dilihat bagaimana suporter kedua kesebelasan berbaur satu sama lain di tribun. Tidak ada pembatas yang menghalangi, tidak ada nyanyian bernada merendahkan, sehingga tidak perlu ada rasa takut untuk membaur. Ingat, tujuannya sama, mendukung tim kesayangan, dan rivalitas hanya berlangsung selama pertandingan.

Untuk sisanya, memang masih sangat banyak hal-hal lain yang bisa dicontoh dari Piala Dunia. Tapi untuk ukuran Liga Indonesia yang masih bangga dengan permainan srudak-sruduk dan tipisnya kesabaran jika tim kesayangan meraih hasil minor, rasanya dua poin di atas yang perlu diterapkan lebih dulu, baru yang lainnya menyusul.

Go-Jek Liga 1 akan dimulai lagi pada Jumat (6/7), dengan memainkan pekan ke-14. Namun sebelumnya sudah ada pertandingan susulan, yaitu tiga laga Persija yang sempat tertunda. Melawan Persebaya (26/6), Persib (30/6), dan Perseru (3/7).

Dengan sudah saling bermaaf-maafan di Hari Raya Idulfitri dan adanya contoh baik dari gelaran Piala Dunia, semoga ada perkembangan positif yang ditunjukkan Liga Indonesia. Setidaknya satu pekan saja tanpa kontroversi, itu sudah jadi prestasi…