Piala Dunia 2018

Menembus Batas Bersama VAR

Salah satu teknologi terbaru di sepak bola ini akhirnya diaplikasikan di Piala Dunia. Video Assistant Referee (VAR) yang berupa cuplikan tayangan ulang untuk membantu wasit memutuskan perkara di lapangan, melakoni debutnya di turnamen empat tahunan nan akbar ini, ketika diselenggarakan di Rusia. Sebuah pertanda adanya batas yang telah dilewati sepak bola.

Olahraga sebelas lawan sebelas ini sebelumnya selalu menjunjung tinggi keberadaan drama, terutama bagi para penonton. Tak peduli apakah tim kesayangannya dirugikan atau diuntungkan, candu untuk melihat drama sepak bola itu selalu hadir ketika lapangan hijau beserta 22 pemain plus satu bola menampakkan dirinya di mata kita.

Gol hantu Geoff Hurst, gol Tangan Tuhan Diego Maradona, gol Frank Lampard yang dianulir, tiga kartu kuning untuk Josip Šimunić, atau tendangan kungfu Nigel de Jong, adalah beberapa kontroversi yang menjadi awal mula drama di Piala Dunia edisi tersebut. Selama bertahun-tahun kejadian itu menjadi bahan perbincangan seru, yang seakan memang dipelihara agar menjadi momen legendaris.

Hingga akhirnya, VAR datang ke sepak bola. Membawa pasukannya berupa monitor di Referee Review Area (RRA), disertai earphone bagi wasit dan dibantu petugas di VAR Room, teknologi ini mengubah wajah sepak bola Eropa, awalnya, kemudian dunia, di Piala Dunia.

Batasan baru

Sebelum adanya VAR, sepak bola level tertinggi tak lepas dari adanya ulah nakal para pemain maupun ofisial. Tak terkecuali di liga-liga top Eropa yang seringkali dianggap kiblat sepak bola, terkadang di beberapa pertandingan kita bisa menyaksikan perbuatan ala liga amatir.

Tekel keras, gerakan tambahan saat berduel seperti sikutan atau sandungan kaki bahkan injakan, konfrontasi lisan, atau kecurangan mencuri gol dari posisi offside maupun diving, adalah perbuatan tercela yang dihalalkan pemain saat bertanding, Wasit atau hakim garis tidak mungkin dapat mengamati semuanya dengan jeli setiap saat.

Tapi dengan adanya VAR, kenalakan seperti itu tak bisa lagi dilakukan dengan sembarangan.

Di fase grup putaran pertama Piala Dunia 2018, ada 9 penalti yang terjadi. Jumlah ini hanya terpaut satu dari jumlah penalti di seluruh pertandingan fase grup Piala Dunia 2014, dan kurang 6 penalti lagi untuk menyamai jumlah di fase grup Piala Dunia 2002 yang mencapai 15.

Penemuan serupa juga terjadi di Serie A musim 2017/2018, yang menunjukkan turunnya rataan jumlah protes pemain (turun 19,3% per laga) dan berkurangnya peringatan yang diberikan wasit pada pemain (turun 14,7% per laga), dibandingkan musim sebelumnya.

VAR di Serie A: Banyak Hasil Positif, tapi Tak Luput dari Sisi Negatif

Pemain di era VAR tidak bisa berbuat seenaknya, semaunya, ketika wasit luput mengamati. Setiap gerak-gerik diamati oleh kamera, dan cuplikannya ditayangkan di layar stadion. Mereka yang bertanding saat itu tidak hanya diadili oleh wasit, tapi juga akan “dihakimi” oleh penonton.

VAR telah membawa sepak bola menembus batas. Ketika dulu perdebatan pertandingan menjadi makanan penutup seusai laga, kali ini kepastian sudah didapat ketika kaki penonton masih berada di stadion, dan mata pemirsa masih terpaku di layar kaca.

Akan tetapi VAR juga bukan tanpa kekurangan. Bagaimanapun, VAR hanyalah teknologi untuk membantu, bukan penentu keputusan utama. Kewenangan tertinggi di lapangan tetap berada di tangan wasit dan peluitnya, dan para korps berbaju kuning atau hitam ini diberi kebebasan apakah tidak menggunakan VAR, atau memakainya. Bisa atas inisiatif sendiri atau sesuai saran petugas di VAR Room.

Jadi, beruntunglah kalian, wahai Filippo Inzaghi yang doyan memanipulasi offiside, Joey Barton yang gemar adu jotos, atau Marco Materazzi si tukang konfrontasi. Kalian tidak bermain di zamannya VAR, sehingga “kehebatan” kalian bisa awet dikenang, dan menjadi ciri khas pada masa jayanya.