Cerita

Bulan Ramadan, Kok Malah Jadi Panggung Kerusuhan

Seakan tidak mau belajar dari pengalaman, seakan tidak pernah jera dengan berbagai hukuman. Tingkah laku memalukan itu masih saja menghiasi pertandingan Go-Jek Liga 1. Kerusuhan suporter Liga 1, keributan antarpemain, hampir selalu tersaji tiap pekan, tak terkecuali di bulan Ramadan.

Bukannya bermaksud menyepelekan bulan lainnya dalam kalender Islam, tapi bulan Ramadan memang memiliki porsinya tersendiri bagi umat Muslim. Mulai dari puasa, menahan hawa nafsu serta amarah, para pemeluk agama Islam melakukannya bulan ini, tak terkecuali mereka yang berprofesi atlet sepak bola, atau mereka yang mendukung tim idolanya bertanding.

Seharusnya, datangnya bulan suci yang penuh berkah bagi umat muslim ini adalah momentum perbaikan diri dan pensucian rohani. Sebuah bulan yang hanya datang setahun sekali dan menjadi waktu terbaik untuk melakukan amalan-amalan serta ibadah. Namun, bagi beberapa aktor lapangan hijau dan penduduk tribun, tampaknya kehadiran bulan suci ini tidak berbeda dengan bulan-bulan lainnya.

Terbaru, gesekan antar-suporter terjadi di Bantul, antara oknum suporter Persija melawan oknum suporter Persebaya. Situasi tak kondusif ini bahkan sudah mencapai puncaknya sebelum pertandingan dimulai, sampai membuat aparat keamanan menyemprotkan gas air mata untuk membubarkan massa.

Kerusuhan suporter itu kemudian berujung pada ditundanya pertandingan antara Persija lawan Persebaya, yang sedianya dilangsungkan pada Minggu malam kemarin (3/6). Petugas kepolisian beralasan bahwa massa sangat sulit ditertibkan, sehingga pertandingan lebih baik ditunda untuk keamanan bersama.

Miris. Bagi mereka yang beragama Islam, di saat rekan-rekan seagamanya menunaikan ibadah puasa, mereka justru menodai bulan suci ini dengan perilaku barbar. Begitu pula untuk yang non-Islam, tanpa terkecuali. Perilaku ini telah mencoreng kesucian bulan yang seharusnya diisi dengan beragam ibadah, tapi digunakan untuk meluapkan amarah.

Pemain juga terlibat

Bergeser ke dalam lapangan, ketegangan serupa terjadi di dua pertandingan. Pertama adalah PSM kontra Borneo FC, dan kedua adalah Bali United lawan Persib Bandung. Keributan antar-pemain dan wasit terjadi setelah pertandingan berakhir.

Dimulai dari Stadion Mattoanging yang mempertemukan tuan rumah PSM lawan tamunya, Borneo FC. Tim tamu tidak terima dengan keputusan wasit memberikan tendangan bebas bagi PSM di menit akhir injury time, yang ternyata berujung gol kemenangan tuan rumah.

Merasa dirugikan, setelah wasit meniup peluit penjang, beberapa pemain Borneo FC mengejar wasit dan melancarkan protes. Tak berselang lama, sanksi dari Komdis PSSI turun untuk kedua kesebelasan. Titus Bonai jadi yang terberat mendapat hukuman, berupa larangan bermain 4 laga dan denda 50 juta.

Kemudian di laga Bali United lawan Persib, keributan antarpemain juga terjadi seusai peluit panjang dibunyikan wasit, yang tak lain dan tak bukan penyebabnya adalah kekecewaan akibat hasil minor yang didapat. Namun anehnya, dalam sidang Komdis 31 Mei kemarin, insiden ini tidak termasuk dalam putusan yang berbuah hukuman.

Sungguh kejadian yang memalukan. Di bulan yang seharusnya dipenuhi dengan amalam ibadah, tapi mereka justru mencorengnya dengan pelampiasan amarah. Di bulan yang seharusnya berisi ribuan kebaikan, tapi justru berubah jadi panggung kerusuhan.