Ada alasan besar mengapa Piala Dunia menjadi turnamen olahraga yang disebut-sebut paling populer di planet Bumi. Gegap gempita kejuaraan ini bahkan terasa hingga di jalan-jalan. Semua seakan larut menikmati turnamen yang digelar setiap empat tahun ini. Dan salah satu tempat terbaik untuk menyaksikan pertandingan Piala Dunia adalah di warung kopi.
Warung kopi yang dimaksud ini bukan tempat berjenis kedai kopi yang menyajikan kopi-kopi yang diolah dengan cara modern. Warung ini bentuk tempatnya lebih sederhana, dan kopi yang disajikan adalah kopi jenis sachet. Mungkin tidak memiliki kesan fancy, estetis, dan sophisticated seperti kedai kopi yang sudah semakin menjamur di kota-kota besar di Indonesia selama dua hingga tiga tahun terakhir. Tetapi, sensasi menikmati Piala Dunia di warung kopi boleh jadi merupakan yang terbaik
Saya punya alasan besar mengapa menyebut warung kopi adalah tempat terbaik untuk menyaksikan Semua berawal dari sebuah kebiasaan yang terjadi di rumah saya. Pembaca yang budiman, Anda boleh tidak percaya bahwa saya tidak menyaksikan televisi sebanyak Anda, terutama di masa kecil. Faktor utamanya adalah, ada sebuah kebijakan yang dibuat kedua orang tua saya, di mana kami tidak memasang antena untuk televisi. Keberadaan televisi begitu hampa di rumah kami, karena hanya bisa digunakan untuk memutar laser disc di era masa kecil saya, dan VCD/DVD di masa-masa selanjutnya.
Alasan utama adanya kebijakan tersebut adalah, orang tua saya beranggapan bahwa televisi adalah salah satu penyebab terganggunya waktu belajar. Maklum, kedua orang tua saya sangat menganggap lingkup akademis adalah sebuah perkara yang sangat besar, hingga akhirnya kemudian kebijakan tersebut diberlakukan.
Sempat antena dipasang, dengan perjanjian waktu menonton televisi yang dibatasi. Tetapi karena saya dan adik-adik saya masih anak-anak, akhirnya waktu menonton kami berada di luar kendali, hingga fasilitas tersebut kemudian dicabut kembali.
Kesempatan saya menonton televisi adalah ketika berkunjung ke rumah saudara atau rumah teman. Saya baru benar-benar menyaksikan Piala Dunia di tempat-tempat itu. Selebihnya, hanya mengikuti dari surat kabar atau majalah. Seiring berjalannya waktu, semakin bertambahnya usia, seiring makin pahamnya terkait perasaan tidak enak dan sungkan, saya pun berpikir, mesti mencari tempat lain untuk menonton. Ditambah lagi alasan lain yaitu, saya tidak ingin dianggap ketinggalan oleh teman-teman satu tongkrongan. Maka dimulailah pencarian tempat lain untuk menyaksikan pertandingan Piala Dunia.
Saya ingat saat itu masih berusia sepuluh tahun. Bertepatan dengan Piala Dunia 2002 yang digelar di Korea Selatan dan Jepang, saya kebingungan mencari tempat untuk menonton, karena pada masa itu tidak banyak tempat umum yang memiliki fasilitas televisi. Hingga akhirnya ada tetangga yang berusia lebih tua sekitar empat sampai lima tahun dari saya mengajak untuk pergi menonton di sebuah tempat. Alasan dia untuk menonton di luar kalau saya tidak salah ingat karena “kalah rebutan” remote televisi dengan ibunya yang ingin menonton sinetron.
“Hayu melu urang weh!, teu jauh da tempatna.”
(Ayo ikut saya saja! Tempatnya tidak jauh kok.)
Begitu ajak abang-abang tetangga saya itu, sembari menunjuk jalan bahwa tempat menonton yang kami tuju tidak begitu jauh karena memang nyatanya hanya sekadar satu lurusan jalan saja. Kami pergi tepat selepas mengaji di waktu Maghrib.
Lucunya, saya baru ngeh bertahun-tahun kemudian bahwa tempat tersebut ternyata adalah warung kopi. Tetapi, saya selalu ingat kesan pertama ketika menonton di sana. Semua orang duduk berjejer di kursinya, ada yang memesan kopi, mie instan, dan bubur kacang. Penjaga warung menyiapkan pesanan, dan televisi berukuran tidak terlalu besar terpajang di sudut atas warung.
“Diuk didieu, weh.”
(Duduk di sini saja.)
Ujar abang itu kepada saya sembari menunjuk tempat duduk yang dekat dengan pintu. Yang saya ingat, saya memesan minuman dingin, sementara abang itu kalau tidak salah antara es kopi atau es teh. Saya memegang erat gelas saya, dan ada rasa canggung yang besar seperti yang banyak orang alami ketika berada di tempat yang baru didatangi, apalagi tempat tersebut penuh dengan orang-orang cukup asing buat saya.
Pertandingan yang tengah disiarkan saat itu adalah Jerman berhadapan dengan Arab Saudi. Seperti yang sudah tercatat dalam sejarah, pertandingan tersebut berakhir dengan skor besar 8-0 untuk kemenangan Jerman. Saya yang masih bocah itu jelas terpana dengan apa yang dilakukan Miroslav Klose dan kawan-kawan di Sapporo malam itu. Apalagi, kesan semua pengunjung yang gembira dan begitu excited terhadap pertandingan, wajar saja apabila kemudian, timnas Jerman menjadi jagoan saya di Piala Dunia.
Setelahnya saya terus menonton di warung kopi tersebut. Sebenarnya, kadang pertandingannya tidak terlalu saya pahami, apalagi saat itu saya masih bocah. Tetapi kegembiraan dan semua ekspresi yang muncul di warung kopi tersebut begitu berkesan. Apalagi ditambah diskusi-diskusi menarik yang muncul di sela-sela pertandingan. Kebanyakan yang datang ke warung kopi tentu berasal dari berbagai kalangan. Mereka memiliki pemahaman dan pengetahuan yang berbeda-beda terkait sepak bola.
Saya ingat betul bagaimana di partai final Piala Dunia edisi tersebut yang mempertemukan Jerman dengan Brasil, warung kopi itu lebih riuh dan ramai ketimbang biasanya. Bahkan saya ingat, saya mesti menonton dari luar karena tempat yang dibuat seadanya tersebut tidak mampu menampung para pengunjung yang datang. Ketika Ronaldo Nazario mencetak dua gol kemenangan untuk Brasil, saya termasuk dengan mereka-mereka yang tertunduk lesu.
Setelahnya, bertahun-tahun selanjutnya, bahkan hingga saat ini, ketika semakin beranjak dewasa dan bertambah tua, saya tetap sering mengunjungi warung kopi untuk sekadar menonton siaran sepak bola. Ada atmosfer berbeda yang ditawarkan. Dibalik kesederhanaan, tersimpan banyak hal yang juga luar biasa.
Bahkan terkadang dari warung kopi, di mana banyak terjadi obrolan-obrolan ngelantur dan polos di antara para pengunjungnya, saya mendapatkan ide dan inspirasi untuk menulis. Ada sudut pandang berbeda yang ditawarkan. Ada kemeriahan dan kegembiraan yang mungkin tidak ditawarkan di tempat lain.
Contohnya, adalah ketika saya menulis artikel terkait berapa tepatnya kecepatan Febri Hariyadi. Idenya muncul karena perdebatan pria paruh baya terkait siapa yang lebih cepat, antara winger muda Persib Bandung tersebut dengan pemain sepak bola Eropa sebab mereka merasa Febri adalah pemain tercepat yang pernah mereka lihat.
Kini, rumah saya sudah bisa menyaksikan televisi seperti kebanyakan orang, bahkan sampai memasang teve kabel. Ketika saya tanya mengala alasan ayah saya melakukannya, alasannya sterdengar sederhana. Karena anak-anaknya sudah besar, dan nyatanya begitu suka (menonton) sepak bola. Bahkan salah satu putranya ada yang hidup dari menulis sepak bola. Meskipun demikian, sepertinya termasuk di Piala Dunia kali ini, saya akan tetap menonton di warung kopi. Hanya untuk terus mendapatkan sensasi, kemeriahan, dan obrolan-obrolan ngelantur dari tempat yang sederhana itu.