Tribe Tank

Tribe Tank: Kompleksitas Latihan dan Hubungannya dengan Akuisisi Kemampuan Sepak Bola

Kompleksitas yang tepat membantu para pemain untuk menyatu secara utuh dengan latihan yang, pada gilirannya, membuat mereka memahami esensi latihan. Kompleksitas latihan merupakan salah satu bagian paling penting dalam proses akuisisi kemampuan bermain sepak bola.

Yang membangun kompleksitas

Kompleksitas, dalam istilah yang lebih umum, dapat kita sebut sebagai tingkat kerumitan. Permainan 4 lawan 4 dalam lapangan kecil berukuran 15×15 m2 tentu saja memiliki kerumitan lebih tinggi ketimbang 4 lawan 4 dalam lapangan berukuran 36×25 m2. Hal ini dipengaruhi oleh ukuran lapangan dan jumlah pemain yang ikut bermain. Semakin kecil ukuran lapangan serta semakin banyak pemain terlibat, tentu semakin sulit mengontrol bola dengan “bersih”.

Tetapi, perlu dipahami, bukan hanya sebatas pada ukuran lapangan dan jumlah pemain, kompleksitas latihan juga sangat dipengaruhi oleh peraturan latihan, target spesifik, level kemampuan pemain, dan masih banyak lagi, seperti ukuran bola dan gawang terhadap kelompok usia, cuaca, kebugaran pemain, dan lain-lain.

Pentingnya kompleksitas terkait akuisisi pengetahuan/kemampuan

Seperti juga anak usia dini pada umumnya, yang mana peralatan bermain yang mereka mainkan harus menyesuaikan dengan usia dan ukuran tubuh, sepak bola usia dini pun tidak dapat dan tidak boleh lepas dari pertimbangan yang sama.

Dalam banyak sekali contoh aksi motorik dan kemampuan berpikir, kemampuan gerak dan/atau menemukan solusi atas sebuah permasalahan di level anak usia dini banyak dipengaruhi oleh faktor implisit. Anak usia dini yang tidak memiliki pengetahuan deklaratif dan procedural terkait bagaimana memukul bola golf atau melakukan dribble, misalnya, tetap dapat melakukan kedua tugas tersebut.

Dalam banyak kasus, semakin terbiasa seorang anak dengan peralatan yang mereka mainkan—disertai persepsi visual yang mereka terima—semakin fasih ia mengontrol aksi motoriknya guna memainkan apa yang ada di tangan atau kakinya.

Begitu juga dengan sepak bola. Semakin sering dan semakin banyak seorang anak menyentuh bola, semakin meningkat pula kemampuan motoriknya dengan bola (ball feeling).

Terkait akuisisi kemampuan bermain sepak bola di level usia dini, yang perlu diperhatikan adalah ukuran fasilitas dan peralatan bermain. Ukuran bola (bisa 4 atau 3), dimensi gawang, dan luasnya lapangan menjadi sangat penting.

Dengan ukuran bola yang kecil, yang sesuai dengan level fisik, seorang pemain usia dini akan semakin mudah memainkan bola sesuai yang diinginkannya. Semakin kecil ukuran gawang (3 x 1,8 m2 bukannya 7,32 x 2,44 m2) semakin mudah pula bagi kiper usia dini memaksimalkan kemampuannya dalam mengamankan gawang. Selain itu, ukuran lapangan yang pas untuk pemain 6-9 tahun, misalnya, juga akan sangat membantu mereka untuk mulai belajar bermain sebagai sebuah tim dalam lapangan besar.

Penyesuaian ukuran bola, lapangan, dan gawang merupakan strategi manipulasi ukuran demi menurunkan kompleksitas. Manipulasi-manipulasi di sini memudahkan pemain untuk lebih mahir memainkan bola dan berlari tanpa memaksakan tubuhnya bekerja lebih keras di luar batas usianya. Manipulasi ukuran bola, gawang, dan lapangan melatih pemain secara bertahap untuk mengakuisisi kemampuan bermain sepak bola yang utuh; yang bukan hanya sebatas kemampuan olah bola tetapi juga kemampuan strategis, taktis, fisik, dan kondisi mental yang optimal.

Dalam level sepak bola senior, pertimbangan menentukan kompleksitas memiliki tujuan berbeda. Dengan asumsi pemain yang ada sedang berada dalam level kebugaran optimal serta kemampuan bermain yang sesuai dengan levelnya, kompleksitas latihan ditujukan agar pemain lebih cepat menyerap target spesifik latihan.

Kesalahan menentukan kompleksitas latihan membuat pemain tidak berada dalam lingkungan yang pas guna memfasilitasi akuisisi pengetahuan/kemampuan baru. Kesalahan menentukan kompleksitas dapat membuat para pemain: kekurangan latihan (under-training) atau kelebihan latihan (over-training).

Contoh kasus

Latihan 4v.4v.4

Latihan di atas merupakan contoh nyata, di level usia 9-10 tahun, yang dipakai pelatih untuk melatih pressing pemain. Sejatinya, latihan semacam ini, bergantung dari desainnya, dapat dipakai untuk melatih koordinasi pressing ke arah depan (onward pressing) dalam sebuah area yang sama maupun pressing ke arah belakang (backward pressing). Selain itu, latihan ini juga dapat dipakai untuk meningkatkan ball-feeling pemain-pemain dari tim yang menguasai bola.

Dalam situasi di atas, merah menguasai bola di lapangan 2. Setelah sejumlah umpan tertentu, merah harus memindahkan bola ke lapangan 1, di mana kuning berada serta tanpa hijau mampu merebutnya. Bila hijau sukses memotong umpan merah, hijau bisa langsung memindahkan bola ke lapangan 1 sekaligus masuk ke lapangan 1 guna membentuk formasi belah ketupat. Merah beralih menjadi pemburu bola yang mana hanya 2 pemain yang berhak masuk ke lapangan di mana bola  berada sementara 2 merah lainnya menunggu di zona tengah.

Desain latihan ini sah-sah saja dipraktikan. Yang harus diperhatikan adalah apakah pemain mengerti bagaimana memainkannya dengan “enak” dan apakah ukuran lapangannya sesuai. Pelatih harus dapat menyadari apakah pemain-pemain yang menguasai bola kesulitan atau tidak mensirkulasi bola sesuai peraturan latihan. Bila bola terlalu mudah hilang atau direbut, bisa jadi lapangannya terlalu kecil. Coba perbesar ukurannya.

Saat terjadi transisi peran dan tugas di antara ketiga tim, pelatih harus mampu menyadari apakah para pemain kebingungan memainkannya atau tidak. Kalau ternyata transisinya terlalu “kasar”—sebagian orang menyebutnya “gak enak dilihat”—bisa jadi peraturan latihan terlalu kompleks (rumit) untuk para pemain.

Kalau dirasa terlalu rumit, pelatih bisa mencoba latihan dalam bentuk yang jauh lebih sederhana; 4 lawan 2, misalnya. Dengan lingkungan yang lebih simpel di mana tidak banyak perpindahan lapangan, tubuh juga memproduksi hormon kortisol lebih rendah dan karenanya pemain bisa lebih tenang menjalankan tugasnya.

Tetapi, dalam bentuk 4 lawan 2 pun, pelatih harus tetap memperhatikan kompleksitas latihan. Di level akar rumput, kompleksitas latihan 4 lawan 2 seringkali diabaikan. Bisa jadi karena si pelatih tidak menyadarinya atau karena si pelatih memang tidak paham bagaimana mendesain latihan yang tepat sasaran.

Lagi-lagi ukuran lapangan menjadi salah satu hal sering diabaikan. Dalam salah satu klinik kepelatihan yang diselenggarakan oleh SSG community di bulan Januari 2018 lalu, salah satu instruktur yang berasal dari kickoffindonesia.com memberikan materi latihan 4 lawan 2 bagi pemain dari usia 16 tahun. Dari bagaimana keenam pemain yang terlibat di dalam memainkannya, terindikasi bahwa mereka belum pernah menerima materi tentang superioritas jumlah, superioritas posisional, dan progres bola yang dihubungkan dengan latihan 4 lawan 2.

Indikasi-indikasinya adalah: pergerakan para pemain “4” tanpa orientasi yang pas dan, bahkan, salah satu pemain terlalu aktif hingga ia bergerak vertikal untuk menjemput bola yang dipegang oleh rekan di seberangnya. Berdasarkan observasi singkat, permainan dihentikan dan instruktur menjelaskan aspek-aspek menyerang dan hubungannya dengan 4 lawan 2.

Tetapi, seiring berjalannya detik bermain, indikasi lain terpantau lagi oleh si instruktur. Terlihat sekali bagaimana keempat pemain kesulitan mensirkulasi bola dan melewati pressing 2 lawannya. Kenapa? Dimensi lapangan yang terlalu kecil menyebabkan kompleksitas terlalu tinggi bagi pemain di level ini. Solusinya, dimensi lapangan diperbesar 3 meter, baik vertikal maupun  horizontal. Hasilnya? Sirkulasi bola lebih “enak” dan para pemain “4” bisa memanfaatkan ketiga jalur umpan dengan lebih “bersih”.

Kompleksitas dan kopling persepsi-aksi (perception-action coupling)

Kompleksitas berlebih dapat menyebabkan keribetan berlebih bagi pemain dalam mengoordinasi aksi-aksinya. Pemain menjadi bingung dan kehilangan arah dalam menentukan mana informasi-informasi yang relevan baginya untuk beraksi. Kenapa? Kompleksitas berlebih menyebabkan keterbatasan ruang dan waktu.

Ketersediaan ruang dan waktu yang pas membuat pemain mendapatkan lingkungan yang pas untuk mengakuisisi pengetahuan yang diperlukan. Lingkungan (desain) yang pas membuat pemain masuk dalam sebuah situasi latihan yang membantu mereka memahami kopling persepi-aksi. Lingkungan yang pas membantu pemain mengerti tentang pentingnya melihat, menerima, menyaring, dan menyimpulkan informasi-informasi yang berseliweran di sekitarnya yang dapat digunakan untuk beraksi.

Terkait persepsi-aksi, kurikulum sepakbola Indonesia (FILANESIA) memberikan contoh mengenai bagaimana sebaiknya pemain mengorientasikan aksi, yaitu dengan look-before (lihat dulu sebelum bergerak dan menerima) dan look-after (lihat lagi setelahnya). Lihat dulu dan lihat lagi. Orang-orang Eropa menyebutnya shoulder-check.

Pelatih harus mampu memfasilitasinya dengan cara mendesain latihan dengan kompleksitas yang tepat. Selamat mencoba!