Cerita

Kiper dan Takdir sebagai Sumber Kesalahan

Ada yang tidak biasa di sepak bola pada awal dan pertengahan bulan Mei 2018. Hanya dalam tempo seminggu, dua kesebelasan menanggung malu akibat keteledoran kiper mereka. Kegagalan mengantisipasi bola dengan baik, berujung gol bagi tim lawan. Parahnya lagi, kesalahan itu tak hanya berbuah kekalahan, tapi juga menjadi akhir yang menyakitkan di sebuah turnamen bergengsi.

Gianluigi Donnarumma melangkahkan kakinya di Stadion Olimpico dengan penuh percaya diri. Berbekal status pahlawan di semifinal dengan dua kali menggagalkan penalti Lazio, ia berhasrat kembali menjadi bintang kemenangan di partai puncak. Tujuan utamanya, selain untuk meloloskan AC Milan ke Liga Europa, juga sebagai jawaban atas kritikan yang terus diterimanya sejak awal musim.

Namun selama 90 menit final Coppa Italia 2018 dipentaskan, angan-angan Donnarumma jauh panggang dari api. Pepatah “manusia hanya bisa berencana” benar-benar mencerminkan kondisi kiper belia tersebut. Dua blunder, salah satunya sangat memalukan, melengkapi mimpi buruk kalah 0-4 dari Juventus dan seniornya di timnas Italia yang hendak ia gantikan, Gianluigi Buffon.

Donnarumma tak punya waktu untuk menghindar atau mengutarakan beribu alasan, karena para tifosi Milan sudah bersiap dengan segudang “senjata” untuk menyerangnya habis-habisan. Mulai dari mengungkit saga kenaikan gaji, hingga blunder di gol Granit Xhaka saat berjumpa Arsenal di Liga Europa.

Tak sampai seminggu kemudian, kejadian serupa terulang lagi. Di laga yang tidak kalah tinggi tuntutannya, walau berbeda level, Muhammad Rizky Darmawan, mengalami nasib apes serupa dengan Donnarumma. Blunder, kebobol, kalah, dan gugur. Kiper berusia 22 tahun yang selama di Persija namanya hampir tak pernah disebut itu, mendadak jadi trending topic.

Namanya muncul di semua linimasa media sosial. Twit di Twitter, kolom komentar di Facebook dan Instagram, namanya berbaur dengan kepopuleran topik Persija semalam (15/5). Namun yang ia dapat bukan pujian, bukan tepukan tangan, tapi banjir kritikan dan nada-nada sumbang.

Takdir menyedihkan

Donnarumma dan Rizky Darmawan tak diragukan lagi memiliki andil dalam kekalahan Milan dan Persija bulan ini. Kesalahan mereka sangat fatal, di pertandingan yang sangat krusial. Tapi apakah mereka memang satu-satunya yang layak disalahkan?

Kesalahan tidak pernah pilih kasih. Mereka bisa menimpa siapapun di dunia ini, tak peduli apapun statusnya. Tapi kesalahan hanya bisa terjadi jika ada kesempatan, dan kesempatan bisa terbuka karena ada keterkaitan antar-peristiwa.

Blunder yang dilakukan Rizky Darmawan di gol pertama Home United semalam adalah akumulasi dari pincangnya Persija. Dimulai dari pengunduran jadwal melawan Persib dan Perseru yang membuat Persija tidak main 2 minggu, sangat berdampak pada match fitness yang menurun saat pertandingan. Akibatnya, Persija kedodoran di kandang Home United dan kalah 2-3.

Situasi kemudian semakin runyam karena di laga tersebut Rizky Darmawan melakukan satu blunder yang berujung gol ketiga Home United. Blunder yang langsung disambut para pencinta sepak bola Tanah Air dengan kalimat “gara-gara tidak ada Andritany”.

Kalimat itu (mungkin) kemudian menjadi momok tersendiri bagi Rizky Darmawan. Ia diistirahatkan saat melawan Madura United, sehingga diharapkan dapat tampil optimal di leg kedua melawan Home United. Namun di luar dugaan ia kembali mengulang kesalahan yang sama. Jika dilihat dari tayangan ulang, blunder Rizky Darmawan memang sangat fatal. Gagal menangkap bola tanpa ada gangguan dari lawan. Tapi jika ditinjau lebih lanjut, situasi tersebut berawal dari tidak adanya pengawalan pemain Persija ke pemain Home United yang mengirimkan umpan silang.

Artinya, ada yang lebih dulu menjadi sumber bocornya pertahanan Persija. Tapi yang menanggung kesalahan justru Rizky Darmawan, karena kesalahannya adalah yang paling terlihat. Begitu pula dengan gol penalti Home United. Andai saja Rezaldi Hehanussa tidak gegabah melanggar lawan, mungkin situasinya akan berbeda.

Sama dengan Donnarumma juga di tengah pekan lalu. Blunder di gol ketiga Juventus memang sangat memalukan, tapi jika ditinjau kembali, ketiadaan pemain yang menjaga tiang dekat dan kalahnya Leonardo Bonucci di duel udara melawan Mario Mandžukić menjadi awal petaka gol tersebut.

Tapi yang disalahkan hanya Donnarumma, karena kesalahannya yang paling mudah dilihat. Yang dihujat adalah Donnarumma, karena takdir kiper begitu adanya. Satu kesalahan saja langsung menjadi gol, dan langsung berbuah citra buruk. Berbeda dengan pemain outfield yang punyak lebih banyak kesempatan untuk memperbaiki pamor.

Sepak bola adalah tentang kesatuan tim. Satu kesalahan individu sebaiknya tidak dianggap sebagai biang kekalahan. Lagipula, tidak memiliki kiper kelas satu tidak selalu menghambat peluang sebuah tim meraih prestasi. Coba lihat Liverpool musim ini, mereka bisa ke final Liga Champions bermodalkan Loris Karius dan Simon Mignolet di bawah mistar. Atau Portugal, juara Piala Eropa 2016 dengan Rui Patricio yang hanya bermain di tim sekelas Sporting Lisbon.

Bahkan Carlo Ancelotti saat menangani AC Milan juga pernah berkomentar, “Saya tidak peduli seberapapun buruknya pertahanan, berapa banyak gol yang bersarang ke gawang kami. Asalkan kami mencetak lebih banyak gol, artinya kami yang menang.”