Saya bukan penggemar Arsenal. Saya mengatakan ini karena saya kerap kali menulis puja-puji bagi pemain Arsenal, yang tentunya menimbulkan impresi bahwa saya adalah pendukung Arsenal. Namun, saya juga tak bilang bahwa menjadi fans Arsenal adalah salah – banyak kawan saya yang mendukung Arsenal. Kali ini, saya kembali memuji salah satu pemain mereka. Pemain tersebut adalah Gilberto Silva.
Saya benar-benar menyukai Gilberto Silva. Di satu grup atau tim super, biasanya ada satu orang yang tak menonjol – tak ingin menonjolkan dirinya. Satu orang ini biasanya tak memiliki setitik ego pun, tetapi, ketika ia dibutuhkan, ia akan melakukan tugasnya dengan sempurna dan menjadi bukti mengapa ia layak masuk ke tim super tersebut. Figur-figur seperti ini banya muncul tak hanya di olahraga, namun juga di budaya populer. Di basket, ada John Stockton, point guard legendaris milik Utah Jazz yang terlihat begitu membumi hingga disangka sebagai turis di Olimpiade 1992. Di dunia film, ada Philip Seymour Hoffmann, yang tak menonjol namun tampil di banyak film legendaris Hollywood. Di sepak bola, bagi Arsenal era invincible dan Brasil ketika juara dunia di tahun 2002, figur tersebut adalah Gilberto Silva.
Ketika bermain membela negaranya, Gilberto memiliki seorang pendahulu yang benar-benar serupa. Bagi orang-orang yang masih ingat tentang laga final Piala Dunia 1970, kala Brasil menang melawan Italia dengan skor 4-1, ada satu pemain yang terkenang, Clodoaldo. Clodoaldo, yang kala itu bermain sebagai gelandang bertahan, seperti kerasukan arwah Garrincha dan melewati empat pemain Italia untuk mencetak gol keempat Selecao. Di Piala Dunia 2002, Gilberto menginisiasi kejayaan negaranya lewat peran yang lebih terbatas ketimbang Clodoaldo. Rivaldo, Ronaldinho, dan Ronaldo mampu merajalela karena kehadiran Gilberto di belakangnya.
Baca juga: Skuat Brasil yang Memenangi Piala Dunia 2002, di Mana Mereka Sekarang?
Meskipun permainannya terlihat terbatas, Gilberto justru memiliki skill yang luar biasa tinggi. Ia hanya tak memiliki ego untuk memamerkan kemampuannya. Saya masih ingat satu laga ketika ia benar-benar menunjukkan kemampuan olah bolanya, dan laga tersebut tidak ia mainkan untuk Brasil atau Arsenal. Beberapa tahun lalu, saya menjadi panitia dari Street League, sebuah acara amal berbasiskan kompetisi sepak bola. Gilberto kala itu hanya iseng ikut bermain bersama beberapa remaja – yang berpikir bahwa ia hanyalah seorang gelandang bertahan yang tak memiliki skill mumpuni. Di pertandingan coba-coba tersebut, Gilberto mampu menyihir remaja tersebut lewat trik-triknya.
Hal inilah yang benar-benar membuat saya jatuh hati kepada Gilberto, karena biasanya jika satu orang begitu berbakat dalam melakukan sesuatu, orang tersebut akan memamerkan kelebihannya. Namun, Gilberto, anda bisa bayangkan seperti ini. Gilberto tengah mengantri di satu toko, dan orang di belakangnya berteriak bahwa ia mengenalinya, dan sang pemain hanya membantah halus “oh, itu bukan saya.” Si orang tersebut terus menekannya dan bilang “tidak, anda pasti Gilberto, si pemain Brasil itu.: Hingga pada akhirnya, kaleng soda yang dipegang orang tersebut jatuh, dan Gilberto menyelamatkan kaleng tersebut sebelum jatuh ke lantai dengan juggling dari kakinya. Setelah mempertontonkan hal semacam itu, Gilberto hanya tersenyum sambal berlalu. Seperti itulah dirinya, melakukan hal spektakuler tanpa berniat untuk pamer.
Gilberto datang, melihat, dan berjaya. Namun, ia tak pernah mendapatkan plaudit untuk apa yang telah ia perbuat. Namanya mungkin tak akan didendangkan oleh supporter ketimbang pemain-pemain lain yang bermain di depannya. Dan tak ada masalah dari hal tersebut, mengingat tiap pahlawan memiliki kekuatan supernya masing-masing, dan kekuatan Gilberto adalah membuatnya tidak terlihat.
Penerjemah: Ganesha Arif Lesmana