Sudah menjadi rahasia umum kalau Italia merupakan gudangnya pesepak bola dan juga pelatih hebat. Khusus yang disebut belakangan, Negeri Spaghetti seakan tak pernah kekurangan sumber daya. Mulai dari Vittorio Pozzo, Enzo Bearzot, Giovanni Trapattoni, sampai kini tiba di era Antonio Conte dan Simone Inzaghi.
Di luar nama-nama itu, ada satu peramu taktik yang kondang sebagai figur luar biasa karena pengetahuan taktik jempolannya. Dialah Marcello Lippi, pria berkacamata kelahiran Viareggio.
Semasa aktif bermain, Lippi yang berposisi sebagai pemain belakang menghabiskan mayoritas kariernya bareng Sampdoria. Berseragam biru bergaris vertikal putih-merah-hitam, ia turun di lebih dari 250 partai. Namun sayang, durasi panjang karier sepak bolanya dengan I Blucerchiati tidak membuatnya beroleh banyak titel ataupun masuk ke tim nasional Italia.
Pasalnya, di era 1970-an (di mana Lippi berkarier sebagai pesepak bola aktif), Sampdoria bukanlah tim papan atas yang acapkali bersaing di jalur juara kompetisi-kompetisi domestik.
Di sisi lain, tim nasional Italia juga dipenuhi nama-nama bek mentereng semisal Tarcisio Burgnich, Antonio Cabrini, Giacinto Facchetti, Claudio Gentile, hingga Gaetano Scirea sehingga tak menyediakan tempat untuk sosok ‘sekelas’ Lippi.
Kendati kariernya sebagai pesepak bola tak begitu mengilap, Lippi justru ‘membayarnya dengan lunas’ begitu terjun ke dunia kepelatihan. Sesaat setelah pensiun sebagai pemain (terakhir kali membela Lucchese), pria yang satu ini menjadi allenatore tim junior Sampdoria. Padahal, usia Lippi ketika itu baru mencapai 34 tahun.
Pengabdian Lippi di tim muda I Blucerchiati berlangsung selama tiga musim sebelum akhirnya menimba pengalaman di klub-klub divisi bawah Italia saat itu seperti Pontedera, Siena, Pistoiese, dan Carrarese, tapi dengan status pelatih tim utama.
Momen mengasuh tim Serie A sendiri baru dirasakan Lippi di tahun 1989 bersama Cesena. Usai dua musim mengasuh I Cavallucci Marini, karier kepelatihannya berlanjut di Lucchese dan Atalanta. Meski begitu, nama Lippi baru naik daun sebagai allenatore brilian saat membesut Napoli di musim 1993/1994.
Pasalnya, momen tersebut jadi periode awal di mana I Partenopei mengalami kemerosotan prestasi setelah ditinggal Diego Maradona. Namun berkat tangan dinginnya, Napoli sukses finis di papan atas dan lolos ke Piala UEFA (sekarang Liga Europa) musim berikutnya.
Magis Lippi yang bertuah itu lantas menarik atensi manajemen Juventus. Tanpa tedeng aling-aling, I Bianconeri pun mendapuknya sebagai pelatih per musim 1994/1995. Mengabdi di kota Turin selama lima musim, tangan dingin Lippi menampakkan tuahnya usai beroleh trofi demi trofi, baik kancah domestik, regional, maupun dunia.
Alessandro Del Piero dan kolega saat itu dirinya antar mencaplok tiga Scudetto, dua Piala Super Italia dan masing-masing sebiji Piala Italia, Liga Champions, Piala Super Eropa, dan Piala Interkontinental (kini Piala Dunia Antarklub).
Walau sempat ‘membelot’ ke Internazionale Milano pada musim 1999/2000, Lippi akhirnya balik kucing ke I Bianconeri per musim 2001/2002 setelah dipecat oleh I Nerazzurri pada bulan Oktober 2000. Hebatnya, ia kembali menggamit gelar usai beroleh dua Scudetto bareng Juventus dalam kurun tiga musim.
Walau melewati momen emas bareng I Bianconeri untuk sekali lagi, Lippi akhirnya cabut dari Stadion Delle Alpi (markas lama Juventus) saat tim nasional Italia memanggilnya di pertengahan 2004. Kebetulan, Gli Azzurri baru saja keok secara mengenaskan di Piala Eropa 2004.
Keputusan untuk melatih Italia nyatanya berbuah manis karena di bawah asuhannya, Fabio Cannavaro dan kawan-kawan sukses menambah koleksi trofi Piala Dunia kepunyaan Gli Azzurri menjadi empat buah sehabis memenangi turnamen tersebut pada tahun 2006.
Keberhasilannya itu sendiri membuat nama Lippi sah menjadi pelatih pertama yang sukses mengawinkan gelar Liga Champions dan Piala Dunia (sebelum disamai oleh Vicente del Bosque di tahun 2010).
Pasca habis kontrak dengan Italia seusai Piala Dunia 2006, Lippi tak berkenan untuk memperpanjang masa baktinya. Alhasil, asosiasi sepak bola Italia (FIGC) mendapuk Roberto Donadoni sebagai suksesornya. Namun performa buruk Gli Azzurri di Piala Eropa 2008 memaksa FIGC untuk memecat Donadoni dan kembali mengangkat Lippi sebagai pelatih pada Juni 2008 dengan target main bagus di Piala Dunia 2010.
Ironis, cerita indah di Piala Dunia 2006 gagal ia ulangi saat bertarung di Piala Dunia 2010. Dengan skuat yang dijejali banyak penggawa veteran, Italia rontok pada babak penyisihan grup. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, Lippi mengundurkan diri begitu tiba di Negeri Spaghetti.
Meski demikian, pencapaian-pencapaian yang telah diukir Lippi selama berkarier sebagai pelatih membuat namanya tetap harum. Dua tahun menganggur, pria yang sekarang merayakan ulang tahunnya ke-70 itu sepakat untuk membesut klub Liga Super Cina, Guangzhou Evergrande.
Menandatangani perjanjian kerja selama tiga musim, Lippi sukses mengantar Evergrande merajai Negeri Tirai Bambu dan juga Asia. Dalam rentang 2012 hingga 2014, klub yang berkandang di Stadion Tianhe itu mengisi almari trofinya dengan tiga gelar Liga Super Cina, dan masing-masing satu Piala FA Cina, serta Liga Champions Asia.
Khusus untuk titel yang disebut terakhir, Lippi pun menahbiskan diri jadi manusia pertama yang sanggup memenangi dua kompetisi antarklub tertinggi pada dua benua berbeda yaitu Liga Champions Eropa dan Liga Champions Asia.
Pria yang oleh ESPN ditempatkan sebagai pelatih terbaik sepanjang sejarah nomor 15 di tahun 2013 silam ini lantas ‘naik jabatan’ sebagai direktur teknik Evergrande per Desember 2014 sekaligus pensiun sebagai pelatih.
Akan tetapi, Lippi menjilat ludahnya sendiri akibat tak kuasa menolak tawaran asosiasi sepak bola Cina (CFA) untuk menukangi timnas Cina per Oktober 2016 lalu. Di tengah impian yang menggelegak bahwa sepak bola Cina dapat tampil lebih baik dan prima, baik di kancah Asia maupun dunia, CFA merasa jika Lippi adalah figur yang tepat untuk membangun fondasi kesuksesan itu.
Sayangnya, Lippi belum sanggup memperlihatkan sentuhan midasnya karena Cina kembali gagal lolos ke Piala Dunia 2018 lantaran terseok-seok di babak kualifikasi. Namun beruntung, Dragon’s Team mampu melaju ke putaran final Piala Asia 2019.
Mengingat Cina ingin unjuk gigi sesegera mungkin dan mendobrak dominasi Australia, Iran, Jepang dan Korea Selatan, bukan tidak mungkin kalau CFA membebani Lippi target tinggi di kejuaraan paling akbar di Benua Kuning.