Ada yang berbeda dengan Febri Hariyadi. Ia tampak tidak eksplosif seperti ketika ia tampil bersama timnas Indonesia. Di pekan-pekan awal Go-Jek Liga 1 2018, potensi besar dari pemain sayap muda ini seakan tidak banyak terlihat. Bahkan di pertandingan ketiga, tempatnya kemudian digantikan oleh Ghozali Siregar. Belakangan memang disebutkan bahwa kondisi tidak terlalu bugar, tetapi perbedaan penampilan Febri di tim nasional dan di klub tentu mengundang tanda tanya besar.
Dalam kesempatan sebelumnya, asisten pelatih Persib Bandung, Herrie “Jose” Setiawan pun melontarkan pertanyaan yang kurang lebih serupa. Jose mengherankan mengapa penampilan pemain yang akrab disapa Bow ini tidak sedahsyat ketika ia membela tim nasional. Masih menurut Jose, logika sederhananya adalah, seorang pemain dipanggil ke timnas karena penampilan apik di level klub.
Ada beberapa kemungkinan yang membuat penampilan Febri tidak moncer ketika ia bermain untuk tim Garuda. Kemungkinan skema dari pelatih Roberto Mario Gomez yang kurang bisa memaksimalkan kemampuan dari seorang Febri, masuk ke dalam salah satunya. Boleh jadim Febri agak kurang nyaman dengan skema Gomez yang memungkinkan para pemain sayap untuk ikut membantu pertahanan.
Melihat dari beberapa pertandingan terakhir, Gomez sepertinya lebih senang para pemain sayapnya melepas umpang lambung lebih cepat. Hal ini tentu agak membuat Febri kesulitan karena ia terkenal gemar membawa bola hingga garis ujung lapangan, baru melepaskan umpan.
Tetapi hal lain yang mesti dipikirkan adalah, bukankah seorang pemain juga mesti menyesuaikan permainan dengan instruksi dari pelatih, karena permainan sepak bola bukan hanya dimainkan oleh satu orang saja. Pelatih sudah menyiapkan sistem permainan yang bisa dimainkan oleh sebelas pemain. Permasalahan justru boleh jadi bukan berada di sistem yang sedang dibangun Mario Gomez di Persib Bandung, melainkan apa yang ada dalam diri seorang Febri Hariyadi sendiri.
Sindrom kebintangan?
Mungkin baru satu pertandingan, tetapi apabila kejadian terus berlanjut, tentu tidak menutup kemungkinan Febri akan benar-benar diparkir oleh Gomez. Karena pelatih asal Argentina tersebut dalam beberapa kesempatan dengan gamblang menyebut bahwa ia hanya akan memberikan tempat para pemain yang mau berjuang untuk tim. Dengan kata lain, pemain yang siap bermain sesuai dengan sistem dan skema tim yang diterapkan Gomez.
Para pemain seumuran Febri memang acapkali terkena sindrom kebintangan. Bagaimana mereka mendapatkan sorotan besar ketika masih berusia begitu muda. Di mana dalam waktu tersebut terkadang beberapa pemain belum siap menerimanya. Boleh jadi ini adalah masalah yang kini dialami oleh Febri dan menghambatnya.
Kualitas Febri kini sudah bukan lagi di level Bandung saja. Ia sudah mendapatkan pujian bahkan di level nasional. Bahkan sudah bukan rahasia lagi apabila pelatih timnas Indonesia, Luis Milla, begitu menyukai Febri. Milla juga sempat menyebut Febri punya kualitas untuk bermain di Eropa. Sorotan, pujian, dan segalanya kini mengarah kepada Febri. Pertanyaan besarnya adalah, apakah ia bisa mengatasinya dengan baik?
Kasus Paul Pogba di Manchester United sebenarnya bisa menjadi pengalaman berharga bagi Febri. Bagaimana pemain termahal kedua di dunia tersebut sempat dibangkucadangkan oleh manajer timnya, Jose Mourinho, karena dianggap tidak bisa mengikuti sistem permainan yang diinginkan pelatih. Bayangkan saja, sebagai pemain dengan harga mahal, ia mesti mendapati dirinya dibangkucadangkan. Bahkan tempatnya sempat diambil oleh pemain yang lebih muda, Scott McTominay.
Pogba kemudian bisa bangkit dan sejauh ini mampu mengatasi situasi yang dialaminya. Keberhasilannya mengatasi situasi sulitnya tersebut bukan saja membuat mental Pogba teruji, tetapi juga membuatnya menjadi pemain yang lebih baik. Yang paling terlihat jelas adalah ketika Pogba menjadi pemain penting ketika United berhasil menunda pesta juara Manchester City melalui sebuah kemenangan dramatis di Etihad Stadium.
Mesti belajar dari para pemain lain
Boleh jadi yang dilakukan Mourinho kepada Pogba, adalah kasus serupa yang dilakukan Gomez kepada Febri. Gomez ingin menguji Febri, apakah ia bisa keluar dari situasi sulit ini atau tidak. Serupa dengan apa yang terjadi dengan Pogba, seandainya Febri bisa mengatasi situasi ini tentu selanjutnya ia akan menjadi pemain yang lebih baik lagi.
Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh ke Eropa. Di depan mata Febri, di kancah sepak bola Indonesia, ada banyak pemain yang gagal memenuhi tantangan dan ekspektasi lalu lebih banyak larut dalam sindrom kebintangan. Di mana yang terjadi selanjutnya adalah kariernya berada di titik yang mengerikan. Bahkan, tahapan itu rasanya masih lebih baik ketimbang fakta banyak pemain potensial yang justru pensiun dini dan banting setir ke bidang lain. Tentu nasib seperti demikian tidak diinginkan oleh Febri.
Contoh kasus terbaru bisa dilihat Febri dari seorang Ambrizal Umanailo. Pemain yang sempat digadang-gadang akan menjadi pasangan Febri di timnas Indonesia, karena kurang bisa mengatasi sindrom kebintangan akibat disorot terlalu dini, karier Umanailo sempat padam beberapa saat. Ia kini berusaha menata kembali kariernya bersama Borneo FC. Umanailo berhasil melakukan perputaran dengan cepat. Ia tersadar dan memperbaiki mental juga sisi psikologisnya. Dan sejauh ini hasil yang didapatkan juga sangat baik.
Febri jelas mesti dengan cepat mengatasi situasi yang terjadi kepada dirinya. Karena apabila tidak, kariernya jelas terancam. Alih-alih akan menjadi bintang tim nasional di masa mendatang, justru karier Febri menuju arah yang tidak diperkirakan sebelumnya. Seperti yang sering diucapkan oleh orang bijak, waktu tak akan pernah bisa diputar kembali. Segala keputusan yang dibuat Febri saat ini, akan berpengaruh di kemudian hari.