Kolom

AS Roma yang Lebih dari Sekadar Klub ‘Supermarket’

Ramon Rodriguez Verdejo, atau yang lebih dikenal sebagai Monchi, tiba di AS Roma bulan Mei tahun lalu setelah menghabiskan 16 tahun masa baktinya sebagai direktur sepak bola Sevilla. Monchi datang dengan reputasi yang mentereng setelah mampu membawa klub asal Spanyol tersebut meraih banyak trofi.

Ketika ia tiba di Roma, ia langsung mengumumkan bahwa legenda tim, Francesco Totti, akan pensiun. Sebulan setelah Totti pensiun, sang manajer, Luciano Spalletti, juga hengkang setelah ia membawa klub ke rekor poin tertinggi dengan 87 poin.

Tak hanya itu, ketika jendela transfer dibuka, pemain-pemain terbaik I Giallorossi dibajak oleh klub-klub lain. Wojciech Szczesny bergabung dengan rival mereka, Juventus, Antonio Rüdiger dan Leandro Paredes pindah ke Inggris dan Rusia untuk bermain di bawah asuhan manajer asal Italia lainnya, dan tentunya, sang bintang, Mohamed Salah yang ingin membuktikan diri untuk kedua kalinya di Inggris.

Kepergian Spaletti dan beberapa pemain utama ditambal dengan tibanya manajer serta delapan pemain baru. Dari hal ini, muncul ejekan yang membuat Monchi harus berkomentar bahwa Roma bukanlah sebuah supermarket, bahkan suporter tim yang paling optimistis pun mengatakan bahwa periode ini adalah periode transisi, mengingat Roma juga diasuh oleh Eusebio Di Francesco yang belum berpengalaman.

Meskipun begitu, mantan manajer Sassuolo tersebut berhasil beradaptasi dengan baik dengan skuatnya. Ia mampu membawa klubnya ke posisi tiga di Serie A, dan yang lebih impresif lagi, ia membawa Radja Nainggolan dan kolega lolos ke perempat-final Liga Champions setelah 10 tahun. Sejauh ini, ia membuktikan bahwa ia bukanlah opsi kelas dua yang dipilih oleh Monchi untuk memimpin Roma.

Ada satu belang dari kepemimpinan Monchi dan Di Francesco. Selain Aleksandar Kolarov, yang boleh dikatakan sebagai pembelian murah (bargain) terbaik di Serie A, rekrutan lain yang dibawa Monchi tak membuat suporter I Lupi melupakan pemain-pemainnya yang hengkang di awal musim. Meskipun begitu, Di Francesco berhasil menanamkan filosofi yang sudah begitu lama dinanti pendukung Roma.

Kepercayaan Di Francesco terhadap Alisson Becker terbayar dengan manis. Kiper asal Brasil tersebut tampil sensasional sejauh ini, dengan satu catatan impresif yaitu membuat 27 penyelamatan lebih banyak ketimbang kiper lainnya yang bermain di Liga Champions saat ini. Lebih dari penampilan kipernya, Di Francesco juga mampu mentransformasi pertahanan Roma menjadi lebih solid, dan membawa timnya menciptakan empat clean sheets di semua laga kandang yang mereka jalani di Liga Champions.

Roma yang sebelumnya dikenal dengan tim ofensif namun memiliki lini pertahanan yang lemah, berubah menjadi tim yang merepresentasikan sepak bola Italia dengan baik. Dalam laga melawan Shakhtar Donetsk di Olimpico, wakil dari Ukraina tersebut tak sekalipun mampu melepas tendangan mengarah ke gawang.

Lebih dari itu, kualitas yang mereka miliki di lini depan membuat Roma mendapatkan hasil yang mereka impikan. Cengiz Under, Stephan El Shaarawy, dan Diego Perotti adalah pemain-pemain yang mampu membuat bek lawan kocar-kacir. Namun, Edin Dzeko yang semakin matang kemudian yang menjadi andalan utama Di Francesco.

Di awal musim ini, penyerang asal Bosnia & Herzegovina tersebut sempat ngambek karena dipisahkan dengan Salah. Namun, Di Francesco perlahan berhasil mendapat kepercayaannya dan mempertahankan status Dzeko menjadi seorang mesin gol.

Dzeko sendiri sejauh ini belum mampu mencapai setengah dari rekor golnya musim lalu. Namun, saat ini ia mampu mencatatkan key passes yang lebih tinggi kepada rekan-rekannya. Ia juga menjadi pemain yang menyetop kemenangan beruntun Napoli, dan membobol gawang Chelsea dan Shakhtar di Liga Champions.

Tentunya, Di Francesco berhak untuk menerima aplaus berkat sepak bola indah yang awalnya diekspektasikan untuk menjadi sebuah bencana, bukan?

Author: Ramez Nathan
Penerjemah: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)