Pada awal Maret 2018 lalu, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT. Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator kompetisi sepak bola Indonesia menetapkan jumlah subsidi menggiurkan bagi klub-klub peserta Liga 1 dan Liga 2. Untuk Liga 1, setiap klub mendapatkan jumlah 7,5 miliar rupiah dan untuk Liga 2, subsidi yang awalnya 500 juta rupiah dinaikkan menjadi 1,5 miliar rupiah.
Beberapa pihak melihat ini sebagai berita gembira, tapi tak sedikit menanggapinya dengan skeptis. Pasalnya, pelaksanaan Liga 1 2018 harus diundur akibat terlambatnya pelunasan dana subsidi. Akibat belum cairnya dana tersebut, alhasil kegiatan operasional beberapa klub terhambat, terutama dalam pembayaran gaji dan aktivitas transfer pemain.
Sejumlah klub pun mengusulkan agar subsidi dibayarkan setiap bulan. Salah satu pengusul adalah PSMS Medan yang berdalih bahwa sistem pembayaran berkala ini akan menyehatkan keuangan klub yang minim dukungan sponsor.
“Kami tidak mau seperti kejadian tahun lalu, di mana subsidi untuk klub-klub Liga 1 dibayarkan pada akhir kompetisi,” kata Julis Raja, manajer PSMS, seperti dikutip Republika. “Tidak semua klub memiliki sponsor yang mencukupi untuk pembiayaan klub dalam mengarungi satu musim kompetisi.”
Miris memang, PT. LIB dan PSSI sampai sekarang memang masih belum transparan dalam berbagai hal, seperti pengelolaan hak siar dan pembagian fee ke klub-klub peserta. Padahal konon, dua sponsor utama Liga 1 musim lalu, Go-Jek dan Traveloka, memberikan dana sebesar 180 miliar rupiah. Ini masih belum termasuk dana dari hak siar televisi dan sponsor-sponsor lainnya.
Padahal, jika melihat contoh di negara-negara lain, subsidi bisa menyelamatkan dan bahkan menentukan arah kemajuan sepak bola suatu negara. Ketika Spanyol dihantam krisis keuangan pada akhir dekade 2000-an lalu, tiga dari empat klub wilayah Valencia, yaitu Valencia CF, Elche, dan Levante nyaris dilanda kebangkutan. Namun, berkat dana subsidi pemerintah wilayah Valencia, sebesar 169 juta euro, ketiga klub tersebut dapat terselamatkan.
Klub dengan kondisi keuangan paling parah, yaitu Levante, bahkan ‘dikawal ketat’ agar tak sampai bangkrut. Klub terbesar kedua kota Valencia ini menjalin kerja sama sponsor dengan Valencia Tourism Agency (Dinas Pariwisata Valencia), sehingga dana sebesar 4,5 juta euro dapat dipergunakan untuk keperluan operasional klub. Sampai sekarang, kita tahu persis semua klub tersebut masih eksis.
Jika Spanyol terlalu jauh untuk dijadikan contoh, mari kita lihat sesama negara Asia. Contohnya Uni Emirat Arab (UEA), di mana kelangsungan hidup klub-klub sepak bola juga sering bergantung pada subsidi federasi sepak bola mereka. Sehingga, kompetisi sepak bola di UEA hingga kini masih dianggap sebagai salah satu yang terbaik di Asia.
Terakhir, salah satu cara alternatif yang bagus dalam memanfatkan subsidi ditunjukkan negara tetangga kita, Filipina. Federasi Sepak Bola Filipina (PFF) menjadi organisasi nasional pertama yang mengajukan proposal subsidi ke FIFA untuk mengembangkan pembinaan grassroot (akar rumput). Sehingga, dana subsidi yang diterima benar-benar dipergunakan untuk tujuan jangka panjang.
Proposal PFF disambut kucuran dana hibah sebesar satu juta dolar yang dibayarkan dalam jangka waktu empat tahun oleh FIFA. Filipina pun menggunakan dana tersebut untuk fokus pada pembinaan anak-anak berusia enam hingga dua belas tahun. Cara ini bisa dibilang brilian, alangkah bagusnya jika ditiru klub-klub Indonesia.
Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’