Membicarakan sepak bola Indonesia itu terkadang mirip dengan sepak bola di Eropa, tidak lain karena sama-sama tiada habisnya. Cuma, yang membedakan yakni sepak bola Eropa tiada habis ditelaah karena pencapaian hebatnya. Sedangkan di Indonesia, ketiadaan pencapaian hebat yang tak akan pernah habis didedah.
Kalau berbicara pengelolaan sepak bola di Indonesia, mau apalagi yang ingin dicermati dan dikaji. Semuanya sudah jelas. Kalau mau menyalahkan, tidak benar, toh semua elemen sepak bola di negeri ini ikut bertanggung jawab. Ada banyak sebab dengan sepak bola kita mengapa tidak pernah maju, cenderung stagnasi, atau justru dapat disebut degresi. Ya, memang itu salah semua kita bersama. Tetapi soal seberapa besar porsi “salah” itu sendiri, tentu berbeda takarannya.
Sebagai corong utama sepak bola Indonesia, PSSI secara moril maupun materiil, menjadi pihak yang paling besar porsinya, jika ada ketidakberesan terjadi di sepak bola Indonesia. Mereka sebagai imam dalam elemen sepak bola kita. Kalau PSSI adalah sang imam, maka elemen lain sebagai makmum-nya harus tunduk dan patuh? Iya, tentu saja, tetapi tunggu dulu. Yang namanya imam juga manusia dan manusia juga bisa salah. Contohnya, ketika sedang salat dan imam salah melafal doa, maka makmum akan menertibkannya dengan mengucap lafal yang benar. Maka ketika PSSI sang imam ada kesalahan, kita semua sebagai makmum tentu punya hak untuk menegur dan mengingatkan, bukan begitu?
Sudah berkali-kali berbagai elemen di Indonesia menyuarakan ketidakberesan yang ada. Tetapi apa hasilnya? Ya kita tahu sendiri. Imam sepak bola kita masih saja mbalelo. Kita paham, bahwa memikirkan dan mengelola sepak bola untuk negeri luas dan majemuk seperti Indonesia ini tak semudah beretorika.
Maka, respek juga harus diberikan pada PSSI kita, atas segala tenaga dan pikiran yang mereka kerahkan untuk mengelola sepak bola Indonesia selama ini.
Seperti apa kata Pramoedya Ananta Toer, adilah sejak dalam pikiran. Dengan begitu, kita akan objektif dan menghindari subjektifitas dalam memandang sesuatu. Selama ini, jika kita berbicara PSSI, kita sering subjektif terlebih dahulu. Cap jelek selalu melekat pada mereka, padahal belum tentu mereka itu jelek sejelek-jeleknya. Maka dari itu, ketika ketua PSSI kita marah karena pemain timnas Indonesia hijrah ke Liga Malaysia dengan mengatakan bahwa mereka tidak nasionalis, ya kita jangan subjektif terlebih dahulu. Ada baiknya kita memahami dengan kaya makna dan dari berbagai sudut pandang, terkait pernyataan orang tertinggi di sepak bola kita tersebut.
Baca juga: Tentang Karier di Luar Negeri dan Sesat Pikir Nasionalisme
Pertama, kemarahan beliau bisa jadi adalah refleksi jiwa yang nasionalistik dan cinta Tanah Air. Barangkali beliau mengajak pemain timnas Indonesia dan seluruh elemen bangsa untuk lebih mencintai sepak bola di dalam negeri sendiri daripada sepak bola asing. Tentu, jika maksudnya begitu, siapapun setuju.
Tetapi, yang harus dipahami kenapa baru sekarang dan dalam kasus ini (Evan Dimas dan Ilham Udin Armayn ke Malaysia), ketua PSSI kita berbicara demikian? Lagipula, mereka yang ke sana bukan untuk menjual kebanggaan beseragam Merah-Putih, lalu digantikan seragam kuning hitam Harimau Malaya.
Kepergian mereka murni untuk alasan profesional. Pekerjaan membawa mereka ke sana, bukan alasan nasionalisme atau tidak. Meski mereka bermain di Spanyol sekalipun, ketika panggilan bela timnas Indonesia berkumandang, mereka pasti akan datang pulang juga dengan rasa bangga di dada.
Kedua, beliau mungkin merasa bahwa sehijau apapun rumput tetangga, rumput milik kita sendiri tetap masih jauh lebih baik. Misal dalam konteks bangsa, negara, politik atau kebudayaan, tentu orang Indonesia akan lebih menghargai kepunyaan sendiri daripada milik bangsa lain. Tetapi jika berkaitan ranah profesional kerja di sepak bola, hal itu belum tentu bisa diterapkan. Contohnya, apakah ketika pemuda-pemuda Brasil hijrah ke Eropa, lalu Presiden CBF (federasi sepakbola Brasil) marah?
Membela timnas adalah tujuan setiap pesepak bola Indonesia. Tetapi untuk mendapatkan pendapatan layak dan pengalaman bermain di luar negeri, itu juga merupakan pilihan hidup mereka. Justru timnas kita akan diuntungkan ketika melawan Malaysia, karena ‘spionase’ dari pemain-pemain timnas Indonesia disana.
Ketiga, mungkin beliau tersentak, spontan menunjukkan kegeramannya atau itu sebatas opini pribadi. Untuk hal ini, mari sebisa mungkin kita memahami, toh spontanitas itu sangat manusiawi sekali. Tetapi, dalam konteksnya sebagai pimpinan sebuah lembaga publik, etika berkomunikasi di hadapan masyarakat umum juga harus diperhatikan. Kemudian, ucapan dari pejabat publik seperti ketua PSSI (meski hanya opini pribadi) harusnya didasari pada asas atau kaidah hukum yang berlaku.
Bahwa asas kebebasan berkontrak tidak hanya berlaku pada sektor ekonomi atau sektor lain, bagi pesepak bola berlaku pula. Bagi pesepak bola, bermain di luar negeri bukanlah masalah, asalkan mereka melakukannya dengan tetap taat pada hukum yang berlaku. Lagipula kalau ada upaya menghalangi perpindahan (kebebasan berkontrak) itu, hukum yang akan dihadapi, baik itu secara hukum nasional, maupun peraturan olahraga dari tingkat federasi negara hingga internasional.
Terakhir, kita memang harus berlaku adil sejak dalam pikiran. Kalau kita sudah berlaku demikian kepada PSSI, tetapi kenapa selalu saja kontroversi yang muncul di sepak bola Indonesia, daripada prestasinya? Lalu kita merenung sejenak saja. Kenapa ya, kita sulit mengerti maksud dan apa yang PSSI inginkan dengan jelas?
Jangan-jangan bukan karena kita yang tak berlaku adil sejak dalam pikiran, tetapi karena PSSI yang tak pernah jelas sejak dalam pikiran.
Author: Haris Chaebar (@chaebar_haris)