Piawai dalam merekrut pemain antah berantah dengan harga murah, kemudian memolesnya sampai bagus hingga dilego dengan nominal fantastis merupakan metode bisnis yang selama ini lekat dengan salah satu kesebelasan Serie A, Udinese Calcio.
Alexis Sanchez, Oliver Bierhoff, Samir Handanovic, Vincenzo Iaquinta, sampai David Pizarro merupakan contoh nyata dari bisnis hebat yang dijalankan oleh kesebelasan milik Giampaolo Pozzo tersebut.
Tapi membangun sebuah tim yang mampu melakukan itu juga bukan perkara enteng. Pozzo sendiri butuh waktu cukup panjang untuk dapat menjalankan proyeknya itu. Apalagi pada era awal 1990-an, Udinese masih bolak-balik Serie A dan Serie B.
Nasib mereka sedikit berubah sejak naik kasta lagi ke Serie A per musim 1995/1996. Di bawah asuhan Alberto Zaccheroni, I Friuliani tampil cukup apik sehingga finis di papan tengah klasemen. Padahal, skuat yang mereka miliki saat itu ‘cuma’ diisi nama-nama seperti Bierhoff, Alessandro Calori, Giuliano Giannichedda, Thomas Helveg, dan Paolo Poggi.
Namun bersama mereka pula, Udinese berhasil melanjutkan konsistensinya pada musim-musim selanjutnya, termasuk finis di peringkat tiga classifica musim 1997/1998. Sungguh, tak ada satu pun pengamat yang menduga bahwa Zaccheroni mampu membawa tim asuhannya bertengger di atas klub-klub yang lebih mapan seperti AC Milan, AS Roma, dan Fiorentina.
Salah satu elemen krusial dari keberhasilan Zaccheroni mengubah citra Udinese adalah formasi 3-4-3 yang menjadi kesukaannya. Padahal, pakem tersebut cukup jarang dipergunakan oleh klub-klub Italia saat itu.
Valerio Bertotto, Calori, dan Alessandro Pierini menjadi benteng kokoh di depan Luigi Turci yang berdiri di bawah mistar. Sementara empat pemain tengah diisi secara bergantian oleh Stephan Appiah, Jonathan Bachini, Giannichedda, Helveg, Martin Jorgensen, Tomas Locatelli, dan Johan Walem. Sementara lini depan dihuni figur brilian dalam diri Marcio Amoroso, Bierhoff, dan Poggi.
Prestasi gemilang itu pulalah yang membuat pemilik Milan, Silvio Berlusconi, tergoda dengan kemampuan Zaccheroni sehingga melantiknya sebagai allenatore baru I Rossoneri per musim 1998/1999. Kedatangan Zaccheroni ke Stadion San Siro juga diikuti dengan perekrutan Bierhoff dan Helveg.
Perekrutan pria kelahiran Meldola itu sendiri berbuah manis untuk Milan. Dengan pola favoritnya tersebut, Zaccheroni sanggup membawa I Rossoneri beroleh titel Scudetto tepat di perayaan ulang tahun seabad mereka.
Christian Abbiati dijadikan kiper nomor satu menggeser Sebastiano Rossi yang semakin menua. Sementara trio di barisan belakang acapkali ditempati oleh Roberto Ayala, Alessandro Costacurta, dan Paolo Maldini. Di tengah ada Demetrio Albertini, Zvonimir Boban, Andres Guglielminpietro, dan Helveg. Sedangkan lini serang ada trisula maut Bierhoff, Leonardo Araujo, dan George Weah.
Namun di pertengahan musim, pola 3-4-3 yang selalu jadi andalannya dimodifikasi oleh Zaccheroni menjadi 3-4-1-2. Boban yang tadinya menjadi duet Albertini di sektor tengah digeser lebih ke depan untuk berdiri di belakang duo Bierhoff dan Weah. Sementara posisi yang ditinggalkan Boban diisi Massimo Ambrosini.
Akan tetapi, sentuhan ajaib Zaccheroni di Milan cuma terjadi dalam satu musim saja. Pasalnya, pada musim kedua dan ketiganya membesut I Rossoneri, tak ada prestasi apik yang sukses dicaplok. Ia bahkan harus kehilangan jabatannya di musim semi 2001 untuk digantikan Cesare Maldini sebagai caretaker.
Usai membesut Milan, Zaccheroni merapat ke sejumlah klub Serie A lainnya semisal Lazio, Inter dan Torino. Nahasnya, karier lelaki yang sekarang tepat berusia 65 tahun ini selalu berakhir prematur akibat pemecatan.
Salah satu hal yang seringkali dikritik dari Zaccheroni kala menukangi klub-klub itu adalah keengganannya memakai formasi dasar selain 3-4-3. Padahal, materi pemain yang dimilikinya saat itu kurang ideal buat dimainkan dengan formasi tersebut.
Sempat lama menganggur, muncul sebuah kejutan dari Juventus kala mendapuk Zaccheroni sebagai nakhoda anyar di bulan Januari 2010. Saat itu, ia menggantikan posisi Ciro Ferrara yang dipecat.
Diberi mandat untuk mengasuh Alessandro Del Piero dan kolega sampai akhir musim, Zaccheroni kesulitan untuk membuat La Vecchia Signora keluar dari krisis yang dialami saat itu. Alhasil, manajemen Juventus pun tak menawarinya jabatan pelatih buat musim selanjutnya.
Selepas malang melintang di negeri sendiri, Zaccheroni mengejutkan publik sepak bola dunia tatkala menerima pinangan tim nasional Jepang per Agustus 2010. Di bawah arahannya, secara gemilang tim Samurai Biru berhasil mentas di tiga turnamen mayor sekaligus yaitu Piala Asia 2011, Piala Konfederasi 2013, dan Piala Dunia 2014.
Untuk ajang yang disebut pertama, Zaccheroni bahkan mampu mengantar Jepang beroleh status kampiun. Namun, kegagalannya membawa Yuto Nagatomo dan kawan-kawan melaju jauh di turnamen yang disebut paling akhir, membuat ia memilih undur diri sebagai juru strategi Jepang.
Walau petualangannya bersama Negeri Matahari Terbit selesai, Zaccheroni tidak kembali ke Eropa buat meneruskan kariernya. Ia tetap melanjutkan petualangannya di benua Asia dengan menangani klub Liga Super Cina, Beijing Guoan, pada tahun 2016 silam hingga menjabat sebagai pelatih timnas Uni Emirat Arab sejak tahun 2017 kemarin.
Bersama nama terakhir, Zaccheroni dibebani target cukup tinggi yaitu tampil memesona guna menggondol trofi juara Piala Asia 2019 lantaran Uni Emirat Arab mengemban status sebagai tuan rumah. Apalagi di pagelaran Piala Asia 2015 lalu, Uni Emirat Arab menunjukkan aksi gemilang dengan keluar sebagai semifinalis.
Sanggupkah Zaccheroni membuat Omar Abdulrahman dan kolega tampil mengejutkan sekaligus mengukir tinta emas sebagai pelatih Italia perdana yang menjuarai Piala Asia sebanyak dua kali?
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional