Cerita

Obituari: Davide Astori yang Berjuang hingga Akhir Hayat

Sebuah tendangan keras jarak jauh menggunakan kaki kiri dilepaskan oleh Cristiano Biraghi pada menit ke-5 pertandingan antara Fiorentina melawan Chievo Verona pada pekan lalu (25/2)di Stadion Artemio Franchi.

Kerasnya tendangan membuat Stefano Sorrentino, kiper gaek Chievo tidak mampu mencegah terjadinya gol. Tetapi Biraghi akan sulit menemukan pijakan yang pas untuk melepas tendangan keras andai tidak menerima umpan matang yang dilepas dengan sederhana oleh sang kapten yang juga rekannya, Davide Astori. Berkat gol tersebut, Fiorentina berhasil mengamankan tiga poin.

Berita kemenangan dari kesebelasan ini tidak terlalu dibesar-besarkan, karena sepintas memang biasa-biasa saja. Poin penuh yang didapat La Viola pun masih belum mengangkat mereka ke posisi yang lebih baik di klasemen sementara kompetisi Serie A Italia musim 2017/2018 ini. Akan tetapi, siapa yang menyangka jika pertandingan dan kemenangan ini menjadi yang terakhir bagi seorang Davide Astori.

Jelang laga tandang menghadapi tuan rumah Udinese, Minggu malam (4/3) waktu Indonesia, sepak bola Italia dikejutkan dengan berita kematian Astori yang begitu mendadak. Belum jelas penyebab kematian yang menimpa bek tengah berusia 31 tahun ini, karena dikabarkan terjadi secara tiba-tiba saat sang pemain tertidur di hotel.

Yang namanya ajal, memang tidak mengenal tempat dan waktu. Sebagai bentuk simpati kepada Fiorentina dan keluarga sang pemain, pengelola liga menunda seluruh pertandingan yang sedianya akan dimainkan pekan ini.

Cinta tak bersemi dengan AC Milan

Sebelum mapan sebagai pemain kunci lini belakang Fiorentina, tentu sudah banyak yang mengetahui bahwa Astori merupakan produk dari akademi sepak bola AC Milan. Perjalanan karier Astori di Milan pun tidak jauh berbeda dengan yang dialami nama-nama semisal Matteo Darmian atau Pierre-Emerick Aubameyang, yaitu gagal menembus tim inti dan kemudian bersinar di klub lain.

Tidak mengherankan, karena pada masa Astori menimba ilmu di Milan, masih bercokol nama-nama para legenda seperti Paolo Maldini, Alessandro Costacurta, Alessandro Nesta, atau Jaap Stam. Tidak usahlah menyebut nama mereka, karena bersaing dengan Kakha Kaladze pun saat itu amat sulit bagi pemain muda seperti Astori. Tidak ada jalan lain baginya selain meninggalkan Milan dan terus berjuang.

Setelah dipinjamkan ke klub-klub yang berada di bawah level Serie A, Astori baru memperoleh kesempatan bermain di Serie A pada tahun 2008 bersama Cagliari melalui perjanjian kepemilikan bersama, atau dikenal dengan istilah comproprieta, sistem yang kini sudah tidak lagi berlaku.

Di klub yang bermarkas di Pulau Sardinia inilah Astori membuktikan diri sebagai bek potensial. Di bawah asuhan Massimiliano Allegri, Astori yang kala itu masih berusia 21 tahun memainkan debutnya di Serie A. Ia bersama Radja Nainggolan, Davide Biondini, Andrea Cossu, juga Alessandro Matri membentuk poros yang solid sehingga mampu mematenkan kesebelasan ini di papan tengah Serie A. Allegri bahkan sempat terpilih sebagai pelatih terbaik Serie A hingga kemudian dipinang Milan pada musim 2010/2011.

Sebagai pemain kesayangan, maka amat wajar jika tercurah harapan untuk kembali ke San Siro sebagai pemain bawaan dari Allegri, sosok yang berjasa mengorbitkannya. Sayangnya, Milan tidak menebusnya meski saat itu masih memiliki setengah dari kepemilikannya.

Ya, di Milan saat itu sudah bercokol Thiago Silva, bek potensial asal Brasil yang sedang digembleng dan diduetkan dengan Nesta. Kepulangan Astori urung terjadi. Tetapi sekali lagi, ia memilih untuk terus melanjutkan perjalanan dan membuktikan diri.

Lalu ketika Milan sebetulnya membutuhkan tenaga Astori saat Thiago Silva diboyong Paris Saint-Germain (PSG) pada musim 2012/2013, sang bek bertinggi 189 sentimeter ini terus berkembang bersama Cagliari dan memilih untuk tinggal. Panggilan tim nasional Italia pun telah digenggamnya, sebagai bukti bahwa standar permainannya terus meningkat. Cintanya telah beralih kepada Rossoblu, bahkan ketika setahun berikutnya datang tawaran dengan nilai yang fantastis dari Inggris melalui Tottenham Hotspur dan Southampton maupun dari Rusia melalui guyuran uang para pemilik kaya baru dari Spartak Moskow dan Rubin Kazan.

Setelah memainkan 174 laga Serie A bersama Cagliari, Astori akhirnya merasakan keinginan bermain di tim yang lebih besar. Keinginan itu terwujud setelah AS Roma meminjamnya pada musim 2014/2015. Meski tidak selalu menjadi pilihan utama, namun Astori turut merasakan atmosfer Liga Champions serta membawa Roma sebagai runner-up Serie A Italia musim tersebut di bawah Juventus.

Panutan bagi skuat Fiorentina

Karier Astori bersama Roma hanya berjalan semusim saja, karena kemudian ia memilih pindah ke Fiorentina pada musim 2015/2016 yang memberinya lebih banyak peran. Bermain sebagai bek tengah kiri bersama Gonzalo Rodriguez dan Nenad Tomovic atau Facundo Roncaglia, Astori membuktikan kapabilitasnya bermain dalam formasi tiga bek.

Selain dikenal kokoh dalam bertahan dan efektif dalam melakukan penjagaan, Astori juga cukup piawai dalam mengumpan. Musim ini, Astori merupakan pengumpan dengan rasio akurasi 87,1% di Serie A. Untuk posisi bek, statistik ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan Stefan De Vrij, Andrea Barzagli, Milan Skriniar, Kalidou Koulibaly, atau Alessio Romagnoli.

Bagi tim nasional Italia pun, Astori merupakan pemain yang dapat diandalkan sebagai pelapis. Meski pertandingan debutnya bersama Gli Azzurri diwarnai insiden kartu merah, namun ia tetap dipanggil karena memang kualitasnya dibutuhkan. Ia hanya kurang beruntung karena berada di bawah bayang-bayang Giorgio Chiellini, Barzagli, ataupun Leonardo Bonucci.

Memasuki musim ketiga bersama Fiorentina yang sepertinya telah menjadi rumah keduanya setelah Cagliari, peran Astori semakin krusial. Memang, kelincahan dan kekuatannya tidak lagi bisa diandalkan seperti saat masih membela Cagliari, namun ada hal berharga yang dapat diberikan Astori yaitu pengalaman dan kepemimpinan.

Sebagai satu dari sedikit pemain senior yang bertahan di Fiorentina usai ”bedol desa” besar-besaran yang terjadi pada awal musim 2017/2018, memang amat wajar apabila Fiorentina mendapuknya sebagai kapten tim, sekaligus menggeser posisinya lebih ke tengah dalam formasi tiga bek.

Perjuangan Astori hingga akhir hayatnya ini setidaknya telah menghilangkan kekhawatiran nasib Fiorentina yang begitu pincang karena ditinggal para pemain andalan seperti Borja Valero, Matias Vecino, Gonzalo Rodriguez, Ciprian Tatarusanu, Josip Ilicic, Nikola Kalinic, hingga Federico Bernardeschi.

Tidak semata soal teknis sepak bola saja yang dapat dikenang dari Astori. Meski berposisi sebagai penjegal lawan di lapangan, namun di luar lapangan Astori dikenal menggemari dunia fashion. Dari profil singkat akun Twitter miliknya yang kurang lebih bercerita tentang kegemarannya terhadap desain pakaian, semua sudah terlihat jelas. Ia juga memiliki pasangan cantik bernama Francesca Fioretti, yang baru melahirkan anaknya dua pekan lalu. Kehidupan yang sebetulnya diidamkan oleh siapa pun.

Banyak sekali klub sepak bola, baik di Italia maupun dari luar Italia yang langsung mengucap kalimat belasungkawa kepada keluarga Astori dan juga klub Fiorentina. Para pemain pun berbondong-bondong mengucapkan rasa kesedihan mereka secara pribadi melalui akun media sosial sembari mengunggah foto kenang-kenangan mereka bersama sang almarhum, yang pada kebanyakan posenya selalu menampakkan senyum dan rasa suka cita. Hal yang semakin menunjukkan bahwa dirinya memang sosok yang dihormati dan disukai oleh sesama rekan seprofesi.

Selamat jalan, Astori! Kompleks akademi Milan, ruang ganti Cagliari, Roma, serta Fiorentina akan menjadi saksi bisu kisah-kisah perjuanganmu.

Author: Aditya Nugroho (@aditchenko)