Tribe Ultah

Hikayat Damien Duff di Tanah Britania

Pada tahun 1986 sampai 1996 yang lalu, Republik Irlandia menjalani sebuah periode yang cukup gemilang di kancah sepak bola. Dengan Jack Charlton mengisi bangku pelatih dan John Aldridge, Packie Bonner, serta Tony Cascarino sebagai pemain pilar, Irlandia berhasil lolos ke Piala Eropa 1988 dan Piala Dunia 1990 plus 1994.

Catatan itu jelas menggembirakan untuk negara yang beribu kota Dublin tersebut karena sebelumnya mereka belum pernah mentas di sepasang turnamen sepak bola kelas wahid itu akibat rontok di fase kualifikasi. Namun selepas Charlton meletakkan jabatannya lantaran gagal membawa The Boys in Green tampil di Piala Eropa 1996, sinar terang Irlandia seketika meredup.

Beruntung, kebangkitan yang disasar oleh FAI bisa didapat dalam tempo yang cukup singkat. Di era 2000-an, Irlandia yang dimanajeri oleh Mick McCarthy kembali sukses menembus putaran final Piala Dunia 2002 yang diselenggarakan di Jepang dan Korea Selatan. Terlebih, di kejuaraan itu The Boys in Green juga menembus fase perdelapan-final sebelum dikandaskan oleh Spanyol via adu penalti.

Pemain-pemain senior macam Gary Breen, Matt Holland, Roy Keane, Niall Quinn, dan Steve Staunton disebut sebagai kepingan utama keberhasilan Irlandia pada momen itu. Akan tetapi, sejumlah penggawa belia macam Damien Duff, Ian Harte, dan Robbie Keane juga dipuji karena punya andil besar.

Untuk barisan pemain muda yang disebut pertama, momen gemilang Irlandia kala itu juga semakin mengerek namanya sebagai pemain dengan prospek amat cerah.

Mengawali karier bersama tim-tim asli Irlandia seperti Leicester Celtic, Lourdes Celtic dan St. Kevin’s Boys, peruntungan Duff untuk menjadi pemain profesional menemui titik terang tatkala klub yang tengah bermain di Liga Primer Inggris, Blackburn Rovers, merekrutnya medio 1996 silam. Di Negeri Ratu Elizabeth juga, Duff mengukir berbagai cerita indah di dalam karier sepak bolanya.

Peluang menimba ilmu bersama The Rovers dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Duff. Performa apik yang ia suguhkan sebagai pemain muda membuat pelatih tim senior klub yang menjadi kampiun Liga Primer Inggris 1994/1995 itu, Tony Parkes, memberinya kesempatan debut di laga pamungkas musim 1996/1997 kontra Leicester City.

Semenjak saat itu, Duff pun menjadi idola baru di Stadion Ewood Park. Kesetiaan pemain kelahiran Ballyboden ini juga dibuktikannya saat memilih untuk tetap mengenakan kostum Blackburn kendati tim yang ia perkuat terdegradasi ke Divisi Satu (sekarang Championship) per musim 1997/1998.

Kegemilangan Duff semakin terlihat di musim-musim selanjutnya. Termasuk saat membawa The Rovers naik kasta kembali ke Liga Primer Inggris usai meraih tiket promosi otomatis di musim 2000/2001.

Hebatnya, pada musim pertama kembali ke Liga Primer Inggris (2001/2002), Duff juga berhasil mengantar Blackburn menggamit trofi Piala Liga perdana mereka sepanjang sejarah usai menaklukkan Tottenham Hotspur di partai final lewat skor 2-1.

Duff (memegang trofi) merayakan keberhasilan bersama rekan-rekannya.

Penampilan menterang Duff selama berseragam biru-putih itu pula yang menarik atensi Roman Abramovich, pemilik baru Chelsea asal Rusia. Kocek senilai 17 juta paun mesti digelontorkan buat memboyong Duff ke London Barat jelang bergulirnya musim 2003/2004.

Di Stadion Stamford Bridge, nama Duff semakin melambung di belantara Liga Primer Inggris. Ia senantiasa tampil eksepsional dan konsisten guna membantu Chelsea tampil bagus, baik saat ditukangi Claudio Ranieri maupun Jose Mourinho.

Khusus di bawah arahan Mourinho, Duff berperan masif terhadap pencapaian gemilang Chelsea yang beroleh sepasang gelar Liga Primer Inggris hingga masing-masing satu Piala Liga dan Community Shield. Duetnya bersama Arjen Robben sebagai winger andalan sang pelatih pun dikenal sangat mengerikan kala itu.

Walau keberadaannya penting di tubuh skuat, tapi The Blues sepakat untuk melego Duff ke Newcastle United pada musim 2006/2007 via mahar senilai 5 juta paun saja. Meski jadi pemain andalan, Duff gagal menduplikasi kehebatannya selama di Blackburn maupun Chelsea.

Mujur bagi Duff, di saat kariernya berjalan stagnan di Stadion St. James’ Park, ada Fulham yang datang untuk merekrutnya. Tim papan bawah yang bermukim di London Barat itu bersedia mengeluarkan biaya sebesar 4 juta paun demi mendapatkan tenaga Duff.

Kendati tak pernah mampu membawa The Cottagers finis di papan atas, lima musim kebersamaan Duff bersama Fulham berjalan cukup menyenangkan. Selain terus menjadi pilar utama, dirinya pun menjadi kesayangan publik Stadion Craven Cottage.

Di musim 2009/2010 atau musim perdananya, Duff secara sensasional membawa Fulham lolos ke final Liga Europa. Nahas, cita-cita The Cottagers untuk meraih gelar pertama mereka di ajang antarklub Eropa saat itu digagalkan oleh Atletico Madrid.

Usai lima musim membela Fulham, sosok yang mengoleksi 100 caps dan 8 gol bagi timnas Irlandia tersebut melanjutkan petualangannya di Australia guna memperkuat Melbourne City. Namun ia cuma bertahan semusim di sana sebelum mudik ke Irlandia dan membela Shamrock Rovers. Bareng klub yang disebut terakhir ini pula, Duff mengakhiri karier sepak bolanya.

Meski sudah pensiun, nyatanya Duff tak bisa jauh-jauh dari sepak bola. Sekarang ia menjabat sebagai first team coach di Shamrock Rovers dalam rezim kepelatihan Stephen Bradley.

Bukan tidak mungkin, dalam jangka waktu beberapa musim ke depan, para penikmat sepak bola akan mendengar nama Duff kembali menyeruak di belantara Liga Primer Inggris tapi dengan status pelatih.

Lá breithe shona duit, Damien.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional