Turun Minum Tribe Travel

Di Tengah Kebekuan De Kuip

Sepak bola, seperti hal-hal lain dalam hidup, kadang mengandung ironi. Frustrasi misalnya. Salah satu perasaan paling menyenangkan saat menonton bola di stadion adalah frustrasi. Di Facebook, Darmanto Simaepa pernah menulis: “tulisan sepak bola yang enak dinikmati adalah tulisan yang, kalau tidak ditulis penggemar yang mabuk kepayang, ditulis oleh suporter yang frustrasi.” Coba bayangkan sepak bola tanpa rasa frustrasi yang menggemaskan, tanpa gejolak naik-turun di tribun, tanpa kontradiksi cinta/benci saat tim favorit sedang ketinggalan? Tanpa perasaan-perasaan semacam itu, sepak bola hanya sekadar permainan. Tak lebih.

Tentu saja, orang-orang yang netral sulit merelasikan dirinya dengan frustrasi. Saya misalnya. Kerap saya berdiri di tribun-tribun stadion sebagai penikmat bola netral. Tak memihak tim tuan rumah maupun tim tamu. Rasanya hambar. Maka, kerap pula saya memosisikan diri sebagai seorang suporter, setidaknya selama 90 menit, untuk membuat pengalaman nonton sepak bola terasa lebih gurih. Biasanya, tentu saja, saya akan memihak suporter tuan rumah. Kadang emosi dari suporter tuan rumah mengalir begitu saja, melalui udara, masuk ke sendi-sendi tubuh. Sehingga secara tanpa sadar, saat ‘tim saya’ melepas peluang emas, saya akan memaki-maki. ‘Tilei’, teriak saya di Rotterdam, sore tadi.

Sepak bola Belanda tengah berada di titik nadir. Timnas Belanda gagal lolos ke Piala Eropa 2016 dan Piala Dunia 2018. Sebenarnya itu adalah semacam tragedi, tapi orang-orang seperti sudah terbiasa dengan kesemenjanaan itu. Lalu, Eredivisie. Oh, menonton Liga Belanda, saya rasa, bisa membikin sakit mata. Tapi tetap saja, menonton sepak bola di stadion adalah sesuatu yang berbeda. Di tulisan lain, soal sepak bola Italia, saya pernah mencatat: “Di Italia, anda datang ke stadion tidak untuk banyak gol, atau untuk pemain-pemain yang menari seperti balerina. Anda datang ke stadion untuk gairah purba yang tak bersinonim dengan definisi keindahan pada umumnya, atau matematika tentang dua lebih baik dari satu.” Di Belanda, jelas tak ada balerina atau keindahan. Tapi orang-orang tetap datang ke stadion. Entah untuk apa. Mungkin ada semacam kelegaan yang sederhana dengan berada di tribun pada akhir pekan. Buat saya sendiri, duduk/berdiri di tribun stadion adalah semacam eskapisme dari universitas.

Televisi dan layanan streaming, selama ini, telah memediasi pengalaman kita menonton bola. Sepak bola di dalam stadion dan di dalam televisi (atau komputer) adalah sesuatu yang berbeda. Ada hal-hal yang luput ketika kita menyaksikan sepak bola lewat layar kaca. Gairah misalnya, atau emosi, atau feeling; hal-hal semacam itu tak bisa ditengahi oleh televisi. Melihat secara langsung suporter mencak-mencak, teriak-teriak, kegirangan bukan main, menangis, membuat tanda salib sebelum laga, memukul-mukul dinding pembatas, dan kegilaan-kegilaan lain – serta larut dan terbawa di dalamnya – semua itu begitu melenakan. Kadang seperti candu.

***

Kredit: Penulis

Ketika saya bersiap berangkat ke De Kuip, saya tahu siang ini akan sangat dingin. Temperatur real feel mencatat angka -10 derajat sebelum laga. Menonton sepak bola (di dalam stadion) pada musim dingin itu tidak mudah. Selama lebih dari 90 menit kita akan berada di luar: tanpa heater, tanpa kenyamanan indoor. Bir tak cukup menghangatkan. Sarung tangan mulai terasa tak ada gunanya. Dingin lantas mulai merasuk ke jari-jari kaki. Terlebih, di atas lapangan hijau, keadaan tak begitu membantu. Feyenoord sudah tertinggal 0-2 di babak pertama. Secara keseluruhan, pertandingan berjalan membosankan. Gol-gol PSV begitu mudah. Setelah musim yang menyenangkan tahun lalu, Feyenoord mulai kembali ke habitatnya dalam 20 tahun terakhir. Klub paling payah di antara Die Grote Drie. Suporter mereka seperti sudah tahu diri.

Tetap saja, laga melawan PSV selalu menjadi laga penting. Di tengah kebekuan De Kuip, orang-orang berharap Tonny Vilhena dkk akan bermain dengan gagah. Setidaknya, tidak payah. Harapan itu menjadi tak berbentuk setelah Santiago Arias membuka keunggulan tim tamu di menit 23, lalu Steven Bergwijn menggandakan sembilan menit berselang. Sejak gol kedua PSV, saya perhatikan, senyum-senyum di sekitar saya mulai lenyap. Sebelum laga mereka masih tertawa-tawa, senyum-senyum, meski suhu berada di bawah nol dan angin membikin gigil. Setelah gol Bergwijn, semua itu tak ada lagi. Cuma kebekuan yang total dan bibir yang menekuk ke bawah. Tepat di belakang kami, di tribun atas, orang-orang Eindhoven bernyanyi kegirangan sepanjang laga. Di tengah-tengah kontras euphoria/despair itulah saya berdiri membeku.

Saat jeda, orang-orang berusaha mengusir dingin tanpa sepak bola. Saya lihat kuping-kuping memerah kedinginan. Kaki-kaki gemetar. Di De Kuip, kita semua sama di hadapan musim yang dingin. Kata seorang teman, ini semua karena angin dari Siberia. Minggu depan, konon, akan menjadi salah satu hari-hari terdingin di Belanda dalam beberapa tahun terakhir. Babak kedua berjalan dengan cepat. Orang-orang seperti sudah ingin pulang. Salah satu alasannya tentu saja sepak bola yang masih tak menarik di dalam lapangan. Vilhena sempat membuat asa tuan rumah membuncah. Tapi, Gaston Pereiro langsung membatalkannya dalam tempo lima menit. Ya, lima menit. Suporter Feyenoord cuma punya lima menit harapan di siang itu. Sisanya adalah tragedi. Giovanni van Bronckhorst seperti tak tahu harus berbuat apa. Cuma sekali dia mengganti pemain. Robin Van Persie duduk meringkuk di bench sepanjang laga.

Saat waktu hampir habis, semuanya sudah bercampur menjadi pengalaman sepak bola. Frustrasi, kedinginan, dan kenyataan bahwa besok hari Senin: semuanya telah jadi satu. Saya tak lagi bisa membedakan apakah mereka kesal atau kedinginan. Yang jelas, ketika saya berjalan ke stasiun kereta, orang-orang berjalan cepat untuk mengusir dingin, tapi tanpa senyum di wajahnya. Dari kejauhan, kita bisa mendengar suporter PSV masih bernyanyi-nyanyi di tribun atas. Suporter Feyenoord tak peduli. Mereka ingin segera pulang ke rumah, menghangatkan badan, dan melupakan elegi sepak bola. Tengah pekan ini, mereka mungkin akan kembali ke De Kuip – Feyenoord menjamu Willem II – untuk mendapati elegi dan frustrasi yang sama. Tapi mereka tak peduli. Suporter sepak bola tak akan pernah kapok. Frustrasi adalah bagian kecil dari mencintai permainan ini. Itulah kenapa sepak bola (masih) terasa manusiawi.

Author: Sarani Pitor Pakan
Mengimani sepak bola, sastra, dan perjalanan. Sedang numpang belajar di Belanda.