Turun Minum Tribe Travel

Sepak Bola dan Kota-Kota yang Jauh

Sejak kecil, saya selalu suka pelajaran geografi. Saya selalu senang menghafal nama-nama ibu kota negara atau menebak-nebak nama kota di peta buta. Bola dunia atau atlas tak pernah berhenti membuat saya terkesima.

Namun, adalah sepak bola yang memberi saya imajinasi tentang kota-kota yang jauh. Dari semua nama kota dan negara di dunia yang saya ketahui, mungkin 80% di antaranya saya ketahui karena sepak bola. Saya ingat di acara Open Day universitas, seorang teman asal Lithuania terkesima karena saya tahu kota tempat tinggalnya, Kaunas.

Katanya, tak banyak orang tahu di mana Lithuania, apalagi Kaunas yang cuma kota kedua terbesar disana. Tentu saja, saya tahu Kaunas karena FK Kaunas yang pernah jadi lawan saya di gim komputer FIFA 2000.

Di lain waktu saya berkunjung ke tempat teman. Di common kitchen-nya, saya bertemu mahasiswa asal Siprus. Dia tinggal di Limassol dan terkejut ketika saya menyebut nama AEL Limassol. Saya menebak itu klub bola favoritnya. Ternyata bukan, dia justru suporter Apollon Limassol yang notabene archrival AEL.

Saya tak tahu-menahu soal AEL atau Limassol, tapi saya pernah membacanya entah di tabloid atau artikel di internet. AEL dan Limassol lantas menempel di kepala saya selamanya. Demikian pula kota-kota dan klub-klub lain di dunia. Mungkin seperti itu cara kerjanya. Sepak bola plus geografi sama dengan ingatan dan imajinasi.

Di Eropa, saya berkesempatan mengunjungi beberapa kota yang sebelumnya saya tahu cuma dari majalah, internet, maupun gim sepak bola. Beberapa benar-benar ingin saya kunjungi karena alasan sepak bola, yang lainnya lebih karena kebetulan sedang ke sana.

La Coruna misalnya. Ketika saya tumbuh remaja, Deportivo La Coruna adalah klub yang lumayan penting di tataran sepak bola Spanyol maupun Eropa. Mereka jadi juara Spanyol di tahun 2000 dan setelahnya tetap rutin menjadi tim yang menyulitkan Real Madrid dan Barcelona. Mereka juga cukup sering bermain di Liga Champions. Kita mungkin ingat perempatfinal Liga Champions 2004/2005.

Di leg pertama, AC Milan unggul telak 4-1 di San Siro. Semua orang yakin Milan sudah menginjakkan kaki di semifinal. Tapi, leg kedua di Riazor menjelma menjadi sejarah penting. Setidaknya buat saya. Deportivo menang 4-0 dan secara agregat unggul 5-4 dari Rossoneri.

Pada liburan Februari lalu, saya pergi ke Spanyol. Bersama teman, saya ke Sevilla dan Madrid. Lantas kami berpisah karena saya ingin liburan yang lebih panjang. Maka, saya melanjutkan perjalanan ke La Coruna. “Kenapa La Coruna?” tanya teman saya. Tentu saja karena Deportivo. Karena imajinasi yang diberikan sepak bola pada saya. Karena Juan Carlos Valeron, Roy Makaay, Walter Pandiani, Albert Luque, atau Javier Irureta. Saya tak pernah menjadi suporter Deportivo. Tapi, La Coruna selalu memberi saya romantisme tersendiri.

Meski terletak di dekat lautan, La Coruna bukan kota yang terlalu nyaman bagi turis asing. Sulit mencari hostel murah di sana. Maka saya menginap di Santiago de Compostela yang lebih populer, sekitar 40 menit perjalanan kereta dari La Coruna. Tentu saja Riazor adalah tempat pertama yang saya cari ketika menginjakkan kaki disana.

Dari stasiun kereta saya berjalan kaki sekitar setengah jam untuk mencapainya. Di Riazor, masa kecil dan remaja seperti berputar ulang di dalam kepala. Malam-malam Liga Champions menguar ke udara. Saya teringat bangun jam 2 pagi hanya demi menonton sepak bola, padahal jam 6 pagi harus berangkat ke sekolah. Di Riazor, saya membaca sepak bola sebagai puisi, tempat kita mencari makna di tengah tengik dan banalnya hidup.

Sayangnya, hari itu tak ada pertandingan. Saya hanya sempat berkunjung ke toko merchandise resmi klub. Memasuki toko, wajah Valeron tampak di meja kasir. Berbagai merchandise terpampang di sana, diselingi gimmick yang berbau sejarah: seperti replika Copa del Rey 1994/1995, pintu kamar pas bertuliskan ‘Bebeto 11’, dan skor pertandingan bersejarah ‘4-0 Deportivo vs AC Milan’.

Setelah itu, saya mengelilingi stadion yang tampak reyot dan tak terurus. Riazor dimiliki pemerintah kota La Coruna, mungkin karena itulah ia terkesan usang. Tapi, setidaknya Riazor terletak di dekat pantai. Setelah puas tenggelam dalam segala imajinasi dan romantisme ala sepak bola, saya berjalan-jalan di pantai dan berusaha mencerna semuanya.

Author: Sarani Pitor Pakan
Mengimani sepak bola, sastra dan perjalanan. Sedang numpang belajar di Belanda.