Turun Minum Tribe Travel

Mencari Stefano Lilipaly di Groesbeek

Adalah Stefano Lilipaly, yang membawa saya jauh-jauh ke Groesbeek, kota kecil di dekat Nijmegen. Saat saya mencari kata Groesbeek di mesin pencari online, suggestion pertama adalah Groesbeek Canadian War Cemetery. Konon, lebih dari dua ribu tentara Kanada yang gugur pada Perang Dunia II dikubur di kota ini. Mereka semua sebenarnya gugur di Jerman, namun jasadnya dibawa melintasi Sungai Rhine dan dikubur ulang di Groesbeek.

Namun, saya ke Groesbeek bukan untuk berziarah. Bukan juga untuk melihat seperti apa wajah Groesbeek, kota yang pada Perang Dunia I hancur lebur oleh tentara Amerika Serikat. Saya kesana untuk satu tujuan utama: mencari Lilipaly.

Sejak awal tinggal di Belanda, saya sudah lama ingin melihat langsung Lilipaly bermain. Saya sempat mengintip jadwal tanding SC Telstar yang diperkuat Lilipaly pada paruh pertama musim ini. Namun, hingga Lilipaly pindah klub, saya tak kesampaian menyaksikan kiprah Lilipaly bersama Telstar.

Lalu ketika Lilipaly ke SC Cambuur pada jendela transfer musim dingin, saya kembali menyusun ulang niat untuk melihat aksi pemain kelahiran Arnhem itu. Masalahnya tak gampang merealisasikan niat yang sederhana itu. Markas Cambuur (Leeuwarden) terletak cukup jauh dari kota tempat tinggal saya, Wageningen. Leeuwarden berjarak lebih dari 170 kilometer dari Wageningen.

Alasan kedua, jadwal Jupiler League Eerste Divisie juga kurang bersahabat buat saya. Kebanyakan laga digelar pada Jumat jam delapan malam. Paling hanya sesekali pertandingan dihelat pada Minggu siang. Masalahnya, saya tak terlalu suka keluar rumah pada malam hari di Belanda. Terlebih untuk perjalanan 6 jam (Leeuwarden) pulang pergi. Juga di musim yang tak lagi hangat. Apalagi, menonton bola di Eropa pada musim selain musim panas berarti harus siap menahan dingin selama 2×45 menit. Jadi, begitulah dilematisnya posisi saya.

Maka, saya harus benar-benar mencari waktu yang tepat. Di hari Minggu pertama bulan Maret, dua minggu jelang musim semi dimulai, waktu yang tepat itu akhirnya tiba. Saya melunasi niat menonton Lilipaly di tanah Belanda. Tentu saja, saya tak perlu jauh-jauh ke Leeuwarden dan laga digelar bukan pada malam hari. Saya cukup ke Groesbeek, yang secara jarak cukup terjangkau. Ditambah pula, suhu di Belanda mulai bersahabat jelang akhir musim dingin.

Klub yang bermarkas di Groesbeek adalah Achilles ’29 yang saat ini terpuruk di posisi paling buncit Eerste Divisie. Sportpark de Heikant yang menjadi kandang mereka hanya berkapasitas 4.500 penonton. Cambuur, bagi mereka, adalah klub yang cukup besar. Bahkan, laga ini dianggap sebagai “risk game” oleh Achilles ’29 sehingga saya harus mengontak langsung pihak klub untuk mendapatkan tiket.

Mereka bilang alasannya: “This is because Cambuur from the Eredivisie. We should have no public sale for this contest.” Saya tak tahu apakah mereka lupa atau ini hanya persoalan bahasa. Saya duga mereka menaruh respek pada Cambuur yang dalam tiga musim terakhir berlaga di Eredivisie, sebelum terdegradasi pada musim lalu.

Singkat cerita, saya sukses mendapat tiket dan setelah mengambil tiket di loket saat hari pertandingan tiba, saya memasuki De Heikant dan langsung mencari Lilipaly. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk mendapatinya. Saat itu ia sedang pemanasan dan bermain rondo dengan beberapa pemain Cambuur lain. Mereka melakukan pemanasan terpisah dengan pemain lain, sehingga saya tahu Lilipaly tak akan bermain sejak menit awal. Sejak pindah ke Cambuur, inilah kali pertama Lilipaly tak menjadi starter di Eeerste Divisie.

Para pemain cadangan SC Cambuur saat itu, termasuk Lilipaly. Kredit: Penulis.

Tentu saja, saya sedikit kecewa karena Lilipaly tak bermain sejak awal. Namun, pertandingan berjalan cukup menarik. Ditambah pula cuaca yang amat cerah saat laga dimulai. Meski akhirnya, hujan turun di pertengahan babak pertama dan bertahan sampai akhir laga. Di babak pertama, tanpa Lilipaly di lapangan, Cambuur unggul satu gol dari tuan rumah.

Saat jeda pertandingan, saya tak lihat Lilipaly berlatih bersama para pemain cadangan lain. Saat itu saya yakin dia akan masuk lapangan pada babak kedua. Benar saja, pada menit ke-55, duet pelatih Arne Slot dan Sipke Hulshoff memasukkan Lilipaly. Kehadiran bintang timnas Indonesia di Piala AFF 2016 lalu ini seperti membawa hoki untuk Cambuur. Tak sampai semenit ia di lapangan, Cambuur menambah gol lewat Martijn Barto yang juga mencetak gol di paruh pertama.

Stefano Lilipaly yang masuk pada babak kedua. Kredit: Penulis.

Masuknya Lilipaly membuat laga semakin menarik buat saya, meski hujan semakin deras dan dingin seperti memukul-mukul sekujur tubuh. Selama 35 menit di lapangan, saya mencatat Lilipaly bermain di tiga posisi berbeda. Pertama, sebagai gelandang serang di belakang penyerang. Lalu, ia ditempatkan sebagai pemain depan sejajar dengan Barto dan bermain di sisi kanan. Terakhir, ia tetap berada di depan namun beroperasi di sisi kiri lapangan. Versatility Lilipaly inilah yang agaknya membuat ia tak kesulitan mendapat tempat di tim utama Cambuur.

Di lapangan, pergerakan Lilipaly cukup efektif. Ia tahu betul kapan harus berlari, mengejar bola, mengoper, atau sekadar melakukan pergerakan tanpa bola. Puncaknya terjadi di menit ke-81. Pemain berdarah Maluku itu mencetak gol indah dari luar kotak penalti.

Sebelum gol terjadi, pemain Cambuur lain sempat berteriak padanya untuk meminta bola. “Lili!!,” teriak mereka. Namun, dengan percaya diri Lilipaly melepaskan tendangan jarak jauh melengkung yang menembus gawang Achilles ’29. Itu adalah gol ketiganya untuk Cambuur di Eerste Divisie.

Di sisa laga, Lilipaly sempat mendapatkan peluang emas untuk menambah gol. Kiper Achilles ’29 sudah jauh meninggalkan gawangnya, namun tendangan Lilipaly dari luar kotak masih bisa diselamatkan bek tuan rumah. Ia tampak kecewa, tapi setidaknya ia tersenyum lagi saat wasit meniup peluit tanda laga berakhir. Usai laga, para pemain Cambuur menghampiri suporter mereka yang jauh-jauh datang dari Leeuwarden. Lilipaly menjadi pemain terakhir yang meninggalkan fans. Tampaknya ia mulai mendapat tempat di hati suporter Cambuur.

Author: Sarani Pitor Pakan
Mengimani sepak bola, sastra, dan perjalanan. Sedang numpang belajar di Belanda.