Analisis

Bedah Taktik Marko Simic: Karena Simic Memang Sangat Super

Veni, vidi, vici. Persis seperti yang Julius Caesar lakukan di perang melawan Pharnaces dalam Battle of Zela yang super singkat itu, begitulah yang dilakukan Marko Simic dalam gelaran Piala Presiden 2018 bersama tim barunya, Persija Jakarta.

Bila Caesar, sang Kaisar Agung Romawi itu, hanya butuh lima hari untuk memenangkan pertempuran di Zela, sementara Simic, pejuang Balkan dari Kroasia itu, hanya butuh tujuh laga untuk menggelontorkan sebelas gol di turnamen yang baru saja dijuarai oleh Macan Kemayoran. Hebatnya lagi, tiga dari sebelas gol tercipta dengan cara yang brilian. Satu tendangan jarak jauh kaki kiri ke gawang Borneo FC, satu tendangan bebas kaki kanan dengan akurasi terbaik ke gawang PSMS Medan, dan satu tendangan salto dengan kaki kiri, kaki terlemahnya, ke gawang Bali United di partai final kemarin.

Jadi, sebagus apa sih Marko Simic itu? Apakah ia memang setajam itu? Ataukah ia hanya beruntung saja seperti yang dibicarakan banyak orang terkait kesuksesan Cristian Gonzales menyabet gelar top skor di turnamen yang sama tahun lalu? Mari kita bedah satu per satu:

Kreativitas dan keseimbangan lini tengah Persija

Dari sebelas gol yang ia cetak di Piala Presiden kemarin, 80% di antaranya adalah hasil umpan yang dilepaskan para pemain di belakangnya. Aktor-aktor dari lini kedua ini yang kemudian membuat Marko Simic menjadi predator buas yang mematikan.

Ramdani Lestaluhu memimpin daftar asis untuk Simic dengan tiga asis, disusul kemudian oleh Riko Simanjuntak dan Rohit Chand dengan sumbangsih dua asis. Novri Setiawan dan Rezaldi Hehanussa berbagi catatan yang sama dengan masing-masing satu asis, dan dua gol lain Simic tercipta dari situasi bola mati (satu penalti dan satu tendangan bebas).

Kreatifnya lini tengah Macan Kemayoran ini membuat gelontoran gol eks penyerang Melaka United ini mengalir deras. Simic jelas bukan tipikal Lionel Messi, yang bisa membuat peluang dengan daya  magisnya sendiri dan mengeksekusinya sendiri untuk menciptakan gol. Ia lebih seperti Robert Lewandowski, yang tajam dan klinis di depan gawang lawan.

Lini tengah Persija juga patut diberi apresiasi karena membentuk kesatuan yang solid. Ada peran yang jelas sehingga setiap pemain tahu apa yang harus mereka lakukan. Kedua pemain pelari cepat, Riko dan Novri, sigap menyisir koridor sayap. Rohit dan Ramdani berbagi peran dengan baik tentang siapa harus naik membantu Simic, dan siapa harus sigap turun ke bawah untuk menjaga keseimbangan. Dan satu unsung hero, Sandi Sute, yang memastikan ruang mesin Persija terus bergerak stabil dan seimbang dengan perannya sebagai gelandang bertahan yang berkualitas.

Sisi eksplosif bek sayap

Beruntungnya Persija, mereka kini memiliki dua bek sayap beda usia, yang keduanya piawai melakukan umpan silang dan memiliki sisi eksplosif yang bisa menunjang kemampuan komplet dari Simic.

Satu skema long throw dari Rezaldi di laga kontra Mitra Kukar, misalnya. Bola lemparan ke dalam bek kiri asal Ciputat ini diteruskan oleh Novri Setiawan menjadi asis untuk gol Simic. Setelahnya, di laga puncak, crossing cantik dari Rezaldi juga membuka angka bagi Persija setelah dituntaskan dengan sundulan kepala Simic.

Di sisi berlainan, Ismed Sofyan memang belum menunjukkan kontribusi yang nyata seperti Rezaldi, tapi patut diingat, cukup sering di musim lalu, umpan silang Ismed dan sepak pojok pemain asal Aceh ini berhasil dikonversi oleh William Pacheco atau pemain Persija lain di duel-duel udara.

Hal-hal teknis seperti ini yang biasanya luput dari pengamatan media dan bila dilatih secara berkala di dalam latihan, ini bisa menjadi senjata mematikan bagi Persija karena tak hanya memiliki predator tajam yang haus gol dalam diri Simic, tapi penyerang gempal itu pun sadar, timnya punya skema dan sistem yang pas untuk memaksimalkan insting golnya yang tinggi.

Apakah Marko Simic akan bernasib seperti Cristian Gonzales selepas Piala Presiden?

Ini menjadi perbandingan yang kurang relevan, tapi juga patut menjadi perhatian. Banyak pemain, tak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia, yang tajam saat pra-musim lalu kehilangan ketajamannya di kompetisi resmi. Penyebabnya pun beragam, bongkar-pasang skuat yang dilakukan tim di bursa transfer, hingga kondisi fisik mereka yang menurun.

Di Arema FC musim lalu, saya lebih condong memilih alasan fisik yang menurun. Gonzales memang sukses mencetak sebelas gol, jumlah yang sama dengan yang dicetak Marko Simic, tapi, patut diingat bahwa ia melakukan itu di usianya yang sudah 41 tahun kala itu. Fisiknya sudah kedodoran dan di Liga 1 kemarin, semua terlihat jelas bahwa penyerang naturalisasi dari Uruguay itu sudah saatnya pensiun.

Hal berbeda, mungkin, akan terjadi untuk Simic. Ia tipe penyerang yang komplet, hampir serupa dengan Sylvano Comvalius, top skor Liga 1 musim lalu dari Bali United. Semua bagian badannya bisa menjadi sumber gol. Dari sebelas gol di Piala Presiden, tujuh gol ia cetak dari kaki terlemahnya, kaki kiri, tiga gol ia gelontorkan dari kaki kanan, dan satu gol sisa dari kepala.

Selain itu, Simic ‘baru’ berusia 30 tahun, dengan stamina dan kemampuan yang masih terjaga di level tertinggi sepak bola Asia Tenggara. Plus, ini sisi yang mungkin terlupakan, sebab bila Anda peka, Anda akan sadar bahwa Simic tampaknya tidak diberi tugas oleh Stefano Cugurra untuk aktif dalam proses membangun serangan atau menekan lawan dengan high pressing sejak dari atas.

Sederhananya, sistem yang dibuat coach Teco sejauh ini, hampir tidak melibatkan Marko Simic untuk bekerja terlalu keras dan tugasnya pun hanya satu: mencetak gol.

Kesimpulannya memang kemudian hanya satu: Marko Simic memang sangat super…..sekali.

Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis